Belajar
dari Brexit
Berita Bristish
Exit (brexit) beberapa waktu lalu
menggemparkan dunia. Setelah melakukan jajak pendapat dengan rakyatnya,
pemerintah Inggris harus memutuskan untuk keluar dari kongsi ekonomi Uni Eropa.
Skor hasil jajak pendapat mencatatkan kemenangan tipis kaum brexit atas kaum British Remain (bremain) :
51,8% berbanding 48,2%. Hasil ini dinilai cukup mengkhawatirkan. Bagaimana
tidak? Masyarakat Inggris terpecah menjadi dua kubu yang saling berbeda
pandangan. Kriminalitas dan SARA, meski tidak menjurus ke tindakan anarkis, menjadi
tamparan sosial baru bagi Inggris pasca brexit.
Perdana Menteri Inggris, David Cameroon yang mendukung agar Inggris tetap
berada dalam pelukan Uni Eropa, langsung mengundurkan diri sehari setelah hasil
jajak pendapat dirilis, digantikan dengan juniornya dari Partai Konservatif,
Theresa May yang ironisnya, juga mendukung bremain.
Negara-negara di Uni Eropa langsung menggelar
rapat untuk menindaklanjuti hasil brexit.
Bisa dibayangkan bagaimana kecewanya para pemimpin Benua Biru yang harus
merelakan Inggris mengucapkan selamat tinggal setelah kurang lebih 40 tahun
bersama. Hubungan perdagangan, tenaga kerja, dan imigrasi antara Negara Uni
Eropa dengan Inggris yang selama ini simple,
kini menjadi sebuah tantangan besar bagi Uni Eropa. Semboyan unifikasi yang didambakan
oleh Uni Eropa menjadi retak. Isu ekonomi pasca brexit menjadi perhatian utama seluruh Bank Sentral di dunia,
termasuk Bank Indonesia. Para central
bankers beramai-ramai mencari jalan terbaik agar efek negatif brexit dapat diminimalisir.
Well, pilihan
masyarakat haruslah tetap menjadi yang utama. Presiden Amerika Serikat ke-32,
Franklin D. Roosevelt, mengatakan bahwa “The
ultimate rulers of our democracy are not a President, but the voters of this
country”. Ya, penguasa tertinggi dalam sebuah tatanan demokrasi bukanlah
seorang Presiden, tetapi suara masyarakat. Hal itu yang terjadi di Inggris
ketika brexit menjadi pilihan utama
(meskipun hanya unggul tipis) masyarakatnya.
Beralih ke sisi positif, menurut Saya ada satu
hal yang perlu digarisbawahi dalam fenomena tersebut. Rasa nasionalis yang
dimiliki oleh masyarakat Inggris dan Pemerintahnya sangat kuat. Pemerintah
tidak melakukan protes terhadap hasil jajak pendapat, meskipun sudah jelas
Panglimanya memilih untuk tetap berada di Uni Eropa. David Cameroon dengan
besar hati memilih untuk meletakkan jabatannya. Simaklah statement dari suksesornya, Theresa May yang mengatakan bahwa, “Kita
tidak mungkin merubah keputusan ini. Yang harus dilakukan adalah bagaimana
mendapatkan manfaat maksimal dengan berada di luar Uni Eropa”. Ini menumbuhkan
semangat baru bagi masyarakat Inggris. Sebuah teori dasar ekonomi mengatakan
bahwa, yang dibutuhkan untuk mendapatkan peluang kerja yang banyak dan gaji
yang tinggi adalah sebuah persaingan ekonomi yang kompetitif. Ya, nantinya Negara
Uni Eropa akan menjadi lawan tanding ekonomi bagi Inggris. Dengan skala ekonomi
terbesar kedua setelah Jerman, produk Inggris tentunya akan memiliki bargaining position yang sulit
ditandingi lawannya.
National Payment Gateway : Semangat Nasionalisme Yang Menyatukan
Nusantara
Mencoba mengaitkan sisi positif yang bisa
diterapkan di Negara Indonesia, rasa nasionalisme tentunya menjadi faktor utama
yang sangat penting. Pemerintah Inggris yang mementingkan pilihan rakyat di
atas segalanya harus ditiru. Smart initiatives
yang diletakkan atas kepentingan rakyat menjadi mutlak diperlukan bagi pengambil
kebijakan di Indonesia, termasuk Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik
Indonesia. Perannya sebagai motor kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan
makroprudensial memegang kunci penting bagi perekonomian Indonesia.
Bicara mengenai sistem pembayaran, kita
sepakat bahwa penggunaan kartu ATM, kartu debit, kartu kredit, uang elektronik,
dan Smart Card memudahkan kita untuk melakukan
transaksi pembayaran. Cukup digesek ke alat pemindai kartu (card reader) maka segala transaksi dapat
kita lakukan. Mulai dari membeli kebutuhan rumah tangga di pasar swalayan,
membayar pesawat tiket secara on-line,
bahkan membayar angkutan umum. Semua menjadi sangat mudah!
Tapi dibalik semua itu, tahukah Anda bahwa ada
salah satu sisi negatif dari smart
transaction tadi, terutama yang menggunakan kartu kredit. Pastinya logo
MasterCard atau Visa menjadi top of mind
masyarakat Indonesia bila ditanya mengenai kartu kredit. Ya, MasterCard dan
Visa merupakan prinsipal (penerbit) yang berasal dari Negara asing. Indonesia saat
ini hanya memiliki satu prinsipal kartu kredit yakni PT. Rintis Sejahtera
(Prima). Dalam skemanya, transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu
MasterCard dan Visa akan melibatkan beberapa pihak, yaitu Bank pemegang kartu (cardholder’s bank), Bank penyedia barang
(merchant’s bank), dan Bank
penyelesai transaksi (settlement’s bank)
di dalam suatu jaringan yang dinamakan MasterCard / Visa network. Dari sisi perbankan, setelah dilakukan penyelesaian
transaksi, settlement’s bank akan menalangi
sejumlah dana yang kita belanjakan kepada merchant’s
bank. Dana talangan tersebut kemudian akan digantikan oleh cardholder’s bank kepada settlement’s bank. Sedangkan dari sisi
pelaku ekonomi, pemegang kartu akan mendapatkan tagihan dari cardholder’s bank, dan penyedia barang
akan mendapatkan dana hasil penjualan melalui merchant’s bank. Rangkaian proses ini tidak gratis dan biasanya membutuhkan
waktu 2 (dua) hari karena dilakukan di luar negeri.
Setidaknya ada 3 (tiga) efek negatif dari
transaksi ini. Pertama, adanya biaya tambahan transaksi berupa processing fee yang harus dibayar Bank
kepada MasterCard dan Visa. Sebagai gambaran setiap tahunnya rata-rata
perbankan harus membayar processing fee
sebesar USD 217 Juta. Kedua, merchant’s
bank akan menanggung biaya cost of
fund selama 2 (dua) hari akibat penyelesaian transaksi yang dilakukan di
luar Negeri. Terakhir, dana segar akan terbang ke luar negeri bersama transaksi
tersebut. Tentunya, dana yang keluar akan memperburuk kinerja perekonomian,
seiring meningkatnya hutang luar negeri pada potret transaksi berjalan.
Bank Indonesia tentu tidak tinggal diam melihat
efek negatif dari penggunaan transaksi kartu kredit prinsipal asing. Ada sebuah
solusi yang sekaligus membuncahkan semangat nasionalisme seperti fenomena brexit. Sejak tahun 2012, Bank Indonesia
bercita-cita untuk membentuk sebuah National
Payment Gateway (NPG), sebuah skema penyelesaian transaksi kartu kredit yang
dilakukan di tanah air. Indonesia akan memiliki satu gerbang settlement yang dapat menyelesaikan sendiri
seluruh transaksi kartu kreditnya tanpa harus bergantung pada MasterCard maupun
Visa. Berbagai efek positif dapat diraih apabila penyelesaian transaksi kartu
kredit dapat dilakukan di Indonesia. Penyelesaian transaksi akan lebih cepat, dana
segar tidak akan terbang ke luar negeri, dan tentunya biaya yang dikeluarkan
untuk penggunaan kartu kredit akan lebih efisien. Percayalah, bahwa NPG akan mendorong
perekonomian nasional ke arah yang lebih baik, menyatukan Nusantara, dan menjadikan
Indonesia sebagai Smart Nation! Smart
Central Bank for Smart Nation!
0 komentar: