Unbanked People : Sebuah
Tantangan untuk Indonesia
Tantangan terbesar
bagi setiap industri keuangan adalah menjangkau unbanked people, atau kelompok masyarakat yang belum tersentuh
layanan perbankan. Tugas utama industri keuangan sejatinya adalah bertindak
sebagai lembaga intermediasi yang menghubungkan antara kelompok masyarakat yang
memiliki likuiditas berlebih (excess
liquidity) dengan kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan
likuiditas. Tantangan tersebut semakin berat, mengingat Indonesia merupakan
Negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau, lebih dari 300 etnis dan
suku yang beragam, serta lebih dari 250 juta penduduk. Faktanya, menurut survey
World Bank terhadap penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun (2014),
hanya sebesar 36% yang memiliki rekening di Lembaga Keuangan Formal. Lebih
lanjut, hanya 27% yang memiliki tabungan, dan hanya sebesar 13% yang meminjam
di Lembaga Keuangan Formal!
Unbanked people Indonesia yang umumnya berada di daerah pedesaan
terpencil, masih menyimpan Uang Tunainya di bawah bantal, celengan, maupun di laci lemarinya. Metode pinjam meminjam secara tradisional
seperti arisan dan patungan menjadi produk unggulan bagi mereka
dalam bersosialisasi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pembayaran tagihan
rumah tangga seperti listrik dan air dilakukan dengan mendatangi loket
pembayaran yang jaraknya jauh dari rumah. Layanan lembaga keuangan formal tidak
lagi mampu menjangkau mereka karena keterbatasan modal, sumber daya manusia,
infrastruktur, dan rumitnya prosedur dalam mendirikan Kantor Cabang. Belum lagi
jika dikaitkan dengan hitung-hitungan cost
and benefit yang nyata-nyata akan memberikan kerugian bagi lembaga keuangan.
Cara tradisional seperti ini diyakini sudah mentok
dan tidak bisa menjangkau unbanked people
yang bankable di Indonesia.
Solusi : Smartphone
sebagai Sarana Digital Outreach
Teknologi mobile
phone berkembang sangat masif dalam 20 tahun terakhir di Indonesia. Data
terakhir menunjukan bahwa pengguna aktif mobile
phone di Indonesia telah mencapai angka 282 juta pengguna. Artinya, rata-rata
setiap individu memiliki lebih dari 1 unit mobile
phone. Dengan lebih besarnya jumlah pengguna mobile phone dibandingkan dengan pemilik rekening di Lembaga
Keuangan, maka satu-satunya cara dalam menjangkau unbanked people adalah penggunaan mobile phone sebagai sarana Digital
Outreach. Potensi ini diperkuat dengan data hasil survey e-Marketer, yang
menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-7 Negara dengan pengguna smartphone terbanyak di dunia pada Tahun
2016, yaitu sebanyak 69,4 juta pengguna. Bahkan diprediksi Indonesia akan menempati
peringkat ke-4 dunia di tahun 2018.
Rasanya kita sepakat
bahwa prediksi tersebut mungkin saja terjadi. Layanan finansial berbasis
teknologi, termasuk teknologi smartphone
(Financial Technology) kini banyak menjamur
di Indonesia. Bank Indonesia mencatat bahwa setidaknya saat ini terdapat 96
perusahaan Financial Technology yang
berkembang di Indonesia. Sebagian besar perusahaan tersebut merupakan pemain
baru (start-up company) yang berkembang
sejak 5 tahun terakhir. GOJEK merupakan salah satu contoh sukses perusahaan Financial Technology di Indonesia. Bisnis
GOJEK bermula dari jasa penghubung antara pengguna ojek dengan tukang ojek. Pola
bisnis tersebut kemudian terus berkembang menjadi jasa penyedia “segalanya”, mulai dari makanan, mobil, antar
barang, belanja, tiket bioskop, hingga pijat dan salon! Suksesnya GOJEK juga
tidak terlepas dari tagline kampanye promosi
yang mengusung tema “Karya Anak Bangsa”. Selain GOJEK, contoh perusahaan Financial Technology lainnya yang
diyakini akan akrab di telinga kita adalah Finpay, Finnet, dompetku, t-cash,
kaspay, uangteman, dan masih banyak lagi.
Lantas, bagaimana kaitannya
dengan fungsi intermediasi lembaga keuangan?
Metode tradisional seperti
arisan dan patungan kini bisa dilakukan secara virtual. Beberapa perusahaan Financial Technology seperti uangteman,
pinjam, modalku, kitabisa, dan taralite menyediakan fasilitas pinjam meminjam. Investor
dengan mudah bisa memilih perusahaan mana yang akan dibiayai. Peminjam juga
dengan mudah mengajukan fasilitas pinjaman secara on-line. Untuk memastikan kredibilitas si peminjam, perusahaan Financial Technology akan melakukan proses
screening terhadap calon peminjam
dengan melakukan asesmen, verifikasi, hingga pemeringkatan (credit rating) yang akan menentukan tingkat
suku bunga pinjaman. Semakin baik nilai credit
rating dari calon peminjam, maka tingkat suku bunga pinjaman akan semakin ringan.
Cukup dengan klik, maka kebutuhan pembiayaan dengan mudah akan terpenuhi.
Metode ini merupakan
sebuah terobosan baru dalam menjalankan fungsi intermediasi lembaga keuangan. Kemudahan
yang diberikan akan mengalahkan metode konvensional. Setidaknya ada 5
keunggulan utama dari Financial
Technology, yaitu murah, cepat, dapat diakses di mana saja, dapat diakses
kapan saja, dan dapat diakses melalui media apa saja, baik komputer, tab, maupun smartphone.
Dari sisi biaya dan
kecepatan, Financial Tecnology tentu
akan lebih murah dan cepat. Lembaga Keuangan tidak perlu membuka Kantor Cabang
di daerah yang akan menyedot anggaran operasional dan investasi, yang justru pada
akhirnya justru akan merugikan. Investor juga tidak perlu repot mendatangi
Kantor Cabang Bank untuk menyimpan excess
liquidity dan mengisi aplikasi formulir pembukaan rekening simpanan yang membingungkan.
Sedangkan peminjam, tidak perlu mengisi aplikasi kredit yang ribet dan menunggu kepastian kapan terbitnya
Surat Keputusan Kredit.
Konsep ini diyakini
akan menjadi bagian dari rencana bisnis ke depan dari lembaga keuangan formal
seperti perbankan untuk menggapai unbanked
people di Indonesia. Sebagai contoh, CEO DBS, Piyush Gupta, menegaskan kepada
Financial Times bahwa agar tetap eksis di peta persaingan bisnis jasa keuangan,
setiap bank wajib melakukan transformasi dengan memfokuskan diri terhadap layanan
digital dalam 5 tahun ke depan. Gupta
akan memimpin DBS dalam merubah total pola bisnis konvensional menjadi bisnis digital dalam beberapa tahun ke depan.
Hal yang sama diungkapkan oleh strategi HSBC ke depan dengan tagline “network of business connecting the world”. Sebagai penduduk
Indonesia, tentunya kita bangga bahwa BRI telah meluncurkan satelit perbankan
pertama di dunia yang diberi nama BRISat pada 19 Juni 2016. Tujuannya tidak
lain untuk menggapai unbanked people
di seluruh pelosok Indonesia melalui pengembangan layanan perbankan secara digital. Satelit ini diyakini akan
menghemat biaya operasional BRI hingga mencapai 40%.
Tantangan Bagi Regulator : Iklim Yang
Kondusif dan Perlindungan Konsumen
Regulator Jasa
Keuangan dan Komunikasi di Indonesia, seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika
perlu bekerja ekstra keras dalam menyikapi fenomena ini. Perkembangan Financial Technology adalah sebuah
peluang emas dalam memajukan ekonomi Indonesia, bukan sebaliknya. Kita tidak
ingin start-up company tidak mampu
berkembang di Indonesia karena sulitnya regulasi dan tekanan persaingan tidak
sehat dari conventional company yang
sudah lebih dahulu mengakar di Indonesia. Aksi demonstrasi menjurus anarkis sejumlah
perusahaan taksi yang menolak berkembangnya sebuah perusahaan Financial Tecnology di Indonesia pada beberapa
waktu yang lalu, harus menjadi pelajaran bagi kita bersama.
Regulator perlu
menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dengan menciptakan regulasi yang
adil, transparan, tidak memihak, dan mendukung kebutuhan masyarakat Indonesia. Semakin
banyak start-up company asli buatan
Indonesia tentu akan memperkuat fondasi dan stabilitas perekonomian Indonesia.
Manfaat yang ditimbulkan sangat banyak, mulai dari penyerapan tenaga kerja, peningkatan
kapabilitas dan intelektual kaum muda penerus bangsa, mendorong timbulnya UMKM
baru secara masif, dan diversifikasi struktur risiko keuangan. Di sisi lain, aspek
perlindungan konsumen agar pengguna Financial
Technology merasa aman dan nyaman juga menjadi sebuah agenda penting yang
harus dipikirkan bersama oleh seluruh Regulator.
Bukankah menghitung dengan Kalkulator akan lebih cepat dibandingkan dengan jari tangan?
Bukankah menghitung dengan Kalkulator akan lebih cepat dibandingkan dengan jari tangan?
0 komentar: