Pro
dan kontra mewarnai diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau mulai 1 Juli 2018.
Regulasi tersebut mengatur kewajiban tarif cukai bagi produk Hasil Pengolahan
Tembakau Lainnya (HPTL) sebesar 57% dari harga jual eceran yang diajukan oleh
pengusaha pabrik hasil tembakau atau importir.
Pengusaha
vape wajib tunduk pada aturan tersebut, mengingat bahan bakunya berasal dari
likuid vape yang termasuk salah satu jenis HPTL. Sebelumnya, tarif cukai tidak
dikenakan bagi produk likuid vape.
Bisnis
vape di Indonesia berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Prospek
bisnis vape juga semakin menjanjikan seiring dengan meningkatnya pengguna vape.
Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) mencatat bahwa jumlah toko vape di
dalam negeri mencapai tidak kurang dari 3.500 toko.
Di
Jakarta saja, diperkirakan ada lebih dari 40.000 pengguna vape, dengan tingkat konsumsi
likuid vape sebanyak 40.000 botol per bulan. Bisnis vape juga memiliki dampak
positif terhadap perekonomian, karena membuka lapangan kerja baru bagi lebih
dari 10.000 tenaga kerja.
Di
sisi lain, penetapan tarif cukai akan berdampak pada meningkatnya harga jual
vape secara signifikan. Tekanan paling tinggi diprediksi akan dialami oleh pengusaha
vape skala kecil, mengingat adanya keterbatasan modal untuk menjaga kontinuitas
produksinya.
Hal
ini dikhawatirkan akan membuat bisnis vape menjadi layu sebelum berkembang, dan
berdampak kontradiktif terhadap pengembangan ekonomi Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM).
Pemerintah,
melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), berkewajiban untuk memastikan
pengendalian konsumsi barang kena cukai, disamping harus menjaga iklim ekonomi yang
kondusif dan berkeadilan.
Oleh
karena itu, timbul satu pertanyaan penting yang perlu segera dijawab. Bagaimana
peran DJBC dalam menyeimbangkan antara kelangsungan industri dan pengendalian
konsumsi vape pasca diberlakukannya penetapan tarif cukai HPTL, guna menjadikan
Indonesia semakin baik?
Antara Bahaya dan Manfaat
Secara
filosofis, cukai merupakan salah satu instrumen pemerintah dalam rangka
membatasi konsumsi suatu barang tertentu di suatu negara. Sifat dan
karakteristik barang kena cukai biasanya berdampak merugikan bila dikonsumsi
oleh masyarakat luas, sehingga peredarannya perlu dibatasi. Sebagaimana UU
No.15 Tahun 1995 tentang Cukai, ada tiga jenis barang kena cukai yang diatur
oleh pemerintah, yaitu etanol, minuman beralkohol, dan hasil tembakau.
Pembatasan
konsumsi vape oleh pemerintah sejatinya memang diperlukan. Sama seperti produk
tembakau lainnya, likuid vape juga memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan. Hasil
penelitian University of North Carolina
menunjukkan bahwa kandungan nikotin yang dimiliki likuid vape akan memberikan
dampak buruk bagi paru-paru.
Bahkan,
National Institute of Public Health
Jepang telah membuktikan bahwa kandungan formalin dan asetaldehida dalam uap
yang dihasilkan likuid vape, lebih berbahaya dibandingkan rokok biasa.
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2013 telah merilis rekomendasi terkait konsumsi
vape, yang intinya membatasi penggunaan, penjualan, dan promosi vape, serta
melarang penyebutan vape lebih sehat dibandingkan dengan rokok.
Sejalan
dengan rekomendasi tersebut, berbagai negara di dunia seperti Rusia, Portugal,
Italia, Latvia, Irlandia Utara, Korea Selatan, Skotlandia, dan Wales mulai
menetapkan pajak terhadap konsumsi vape.
Di
lain sisi, pemerintah tidak bisa menafikan kenyataan bahwa bisnis vape memang
tengah berkembang dengan sangat pesat. Research
and Market (2017) dalam laporannya memproyeksikan tingkat pertumbuhan penjualan
rata-rata vape per tahun di seluruh dunia akan berkisar di angka 20,8% per
tahun, hingga mencapai 61,4 juta Dolar AS pada tahun 2025.
Tidak
terkecuali di Indonesia, geliat bisnis vape juga tumbuh subur, terutama didorong
oleh tingginya minat kaum millennial dalam mengonsumsi vape.
Dengan
memperhatikan berbagai fakta tersebut, kebijakan penetapan tarif cukai likuid
vape akhirnya diambil sebagai jalan tengah oleh pemerintah. Ini menegaskan
langkah nyata pemerintah bahwa bisnis vape harus tetap berjalan, namun
memerlukan pengaturan yang lebih ketat agar risiko kesehatan masyarakat dapat
diminimalkan.
Peran
DJBC selaku otoritas cukai, menjadi sangat penting guna memastikan agar kebijakan
tersebut mampu diimplementasikan sesuai dengan tujuannya.
Menjaga Keseimbangan
Sejumlah
langkah lanjutan telah ditempuh DJBC untuk memastikan kebijakan penetapan tarif
cukai vape, mampu memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh pihak. Tidak
hanya bagi pelaku bisnis vape, namun juga bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Pertama, DJBC
telah memberikan pemahaman kepada pelaku bisnis vape, bahwa penetapan tarif
cukai sebesar 57%, dilakukan berdasarkan empat parameter, yaitu aspek
kesehatan, industri, daya beli masyarakat, serta potensi menjadi barang ilegal.
Artinya, penentuan tarif telah dilakukan dengan pertimbangan yang lengkap dan komprehensif.
Jika
dibandingkan dengan negara lain, tarif cukai likuid vape di Indonesia relatif
lebih rendah. Misalnya Rusia dengan tarif sebesar 81,17% atau Portugal dengan tarif
sebesar 62,92%. Selain itu, tarif cukai vape telah mempertimbangkan tarif cukai
produk tembakau lainnya seperti sigaret mesin yang dipatok sebesar 54%-56%.
Besaran
tarif cukai vape yang sedikit lebih tinggi dibanding sigaret mesin, ditetapkan
dengan pertimbangan bahwa sebagian besar konsumen vape merupakan kelas
menengah. Dengan demikian, besaran tarif cukai vape diharapkan mampu menjadi
titik keseimbangan yang adil antara kelangsungan industri vape dengan kesehatan
masyarakat.
Kedua, DJBC
memberikan relaksasi bagi pabrikan likuid vape berupa perpanjangan waktu
pengenaan tarif cukai likuid vape hingga 1 Oktober 2018 mendatang. Langkah ini
ditempuh agar tidak terjadi market shock.
Serta
memberikan waktu bagi pabrikan vape untuk melakukan penyesuaian guna mematuhi aturan
tarif cukai baru. Setelah masa relaksasi berakhir, maka seluruh likuid vape
yang mengandung tembakau sudah dijual dengan kemasan yang berpita cukai.
Ketiga,
DJBC melakukan langkah ‘jemput bola’ dengan memberikan izin perdana berupa Nomor
Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) kepada sejumlah pengusaha pabrik
likuid vape pada 18 Juli 2018. Ini merupakan sinyal yang jelas bagi pelaku
usaha likuid vape, bahwa peredaran vape kini telah diatur oleh pemerintah
berdasarkan ketentuan hukum.
Langkah
ini diapresiasi oleh industri vape. Dalam keterangan pers yang dikutip dari
laman resmi DJBC, asosiasi vape seperti Asosiasi Pengusaha e-Liquid Mikro
(APeM) dan APVI menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi kepada DJBC.
Dengan
adanya izin NPPBKC, keberadaan industri vape kini telah diakui. Mereka
memandang optimis prospek bisnis vape di Indonesia, serta siap menyukseskan
program pemerintah.
Pemberian
izin perdana bagi pemilik pabrik likuid vape merupakan puncak dari sebuah gunung
es. Sebelumnya, DJBC telah melakukan upaya sosialisasi ketentuan penetapan
tarif cukai likuid vape secara intensif. DJBC juga membimbing pelaku usaha agar
mengetahui dan mematuhi setiap persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan
NPPBKC. Inisiatif DJBC tersebut akhirnya berbuah manis.
Keempat, penetapan
tarif cukai likuid vape yang dilakukan DJBC memberikan jaminan perlindungan bagi
masyarakat dari konsumsi barang yang berdampak buruk bagi kesehatan. Langkah
penetapan tarif cukai likuid vape menegaskan bahwa DJBC akan selalu ada untuk
melindungi masyarakat dari bahaya likuid vape.
Terutama
bagi kaum millennial yang berperan sebagai generasi penerus bangsa. Masa depan
bangsa Indonesia berada di pundak mereka, sehingga perlu terus dijaga demi masa
depan Indonesia yang lebih baik.
Terakhir, penetapan
cukai likuid vape yang dilakukan DJBC merupakan sumber penerimaan negara baru. Dalam
keterangannya kepada media, DJBC menjelaskan bahwa potensi penerimaan cukai
likuid vape cukup besar, yaitu mencapai Rp2 triliun per tahun.
Penerimaan
negara ini dapat digunakan untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Seperti
pembangunan infrastruktur yang kini sedang menjadi prioritas utama. Sebagai
contoh, anggaran sebesar Rp2 triliun mampu digunakan untuk membangun Bandar
Udara Internasional Jawa Barat di Kertajati yang baru diresmikan bulan Juni
2018 lalu.
Artinya,
dengan tambahan sumber penerimaan negara yang berasal dari cukai likuid vape, pemerintah
memiliki ruang gerak yang lebih longgar untuk memastikan berjalannya
pembangunan ekonomi demi kemajuan rakyat Indonesia.
Kebijakan
penetapan tarif cukai likuid vape merupakan wujud nyata DJBC untuk menjadikan
Indonesia lebih baik. Melalui berbagai langkah lanjutan yang telah ditempuh, DJBC
memberikan keyakinan bahwa penetapan cukai likuid vape, mampu menjadi titik
tengah yang seimbang antara kontinuitas bisnis likuid vape, kesehatan
masyarakat, sumber penerimaan negara baru, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Akhir
kata, sudah sepantasnya kita patut mengapresiasi dan mendukung upaya DJBC untuk
mewujudkan Indonesia makin baik.
***
Artikel
ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Esai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
2018 serta berhasil meraih Juara 1. Artikel ini juga ditayangkan dalam laman
Kompasiana penulis.
2 komentar: