Cabai. Seakan tak ada habisnya tatkala
menyoal tanaman perdu yang satu ini. Meskipun rasanya pedas membara, cabai
tetaplah disuka. Saat hidangan sudah tersaji, ia selalu saja dicari-cari. Bahkan
ketika harganya membumbung tinggi, sayuran yang satu ini masih saja dibeli. Benar, tidak?
Padahal, jika kita membaca data, harga bahan
baku sambal tersebut sebenarnya mirip-mirip dengan roller coaster. Bila kemarin masih terjangkau, besok-besok sudah
melambung tinggi. Eh, tak disangka-sangka, bulan depan kembali melorot tajam. Jika dijajarkan
dalam bentuk grafik, maka hasilnya akan seperti di bawah ini.
Sayangnya, bila harga cabai naik, ternyata
harga barang dan jasa lainnya juga ikut-ikutan naik. Kondisi ini kemudian kita
kenal dengan istilah inflasi.
Sederhananya begini. Jikalau harga cabai
naik, maka harga makanan yang mengandung cabai juga akan semakin mahal. Mulai
dari gorengan, nasi bungkus, siomay, hingga pecel ayam. Nah, saat semua harga pangan
meroket, maka ongkos produksi barang nonpangan juga ikut-ikutan terkerek.
Analogi tadi sesungguhnya benar dan tak
terbantahkan. Karena BPS mencatat, komoditas penyumbang inflasi tertinggi pada bulan
Oktober 2018 adalah cabai merah. Bahkan, andil cabai mengalahkan beras, yang
notabene adalah bahan makanan pokok.
Budaya
Makan Cabai Mengalahkan Hukum Ekonomi
Sebentar. Bukankah hukum ekonomi mengatakan
hal sebaliknya? Jikalau harga naik, maka pembeli akan mencari barang
penggantinya? Merica, misalnya. Terlebih, cabai bukanlah makanan pokok. Pedasnya
hanya untuk menambah kenikmatan sajian, bukan menuntaskan lapar.
“Tidak semudah itu, Ferguso,” mungkin
demikian generasi milenial mengamsalkan.
Bagi penduduk Indonesia, menepikan cabai bukanlah
perkara sederhana. Di Manado, misalnya. Tiga tahun bermukim di sana membuat
saya sedikit mengerti mengapa cabai bisa mematahkan hukum ekonomi.
Suku Minahasa memang gemar sekali mengonsumsi
rica—sebutan lokal untuk cabai. Tiada
hari tanpa makan rica. Apa pun
santapannya, dabu-dabu dan sambal roa harus tersedia di meja. Mulai dari ikan bakar, tinutuan, nasi kuning, hingga pisang goreng sekali pun, semua
dilahapnya dengan cocolan sambal.
Tunggu dulu. Mungkin kita tak perlu jauh-jauh
pergi ke Sulawesi Utara. Sebab, daerah lainnya sama saja. Bila tak percaya, mampirlah
ke Restoran Padang yang setiap menunya mengandung olahan cabai. Mulai
dari rendang, dendeng balado, sampai ayam gulai.
Sambal matah yang sekarang sedang hits itu juga asalnya dari Bali. Bahkan,
Abang-abang pecel lele, mie ayam, atau ketoprak yang kerap mangkal di pinggir jalan juga selalu menanyakan hal yang sama saat kita
memesan, “Pakai sambal, ga?”
Kebiasaan yang telah mendarah daging inilah yang membuat cabai selalu menjadi primadona. Kita kemudian menyebutnya dengan
budaya.
Tantangan
Budidaya Cabai
Meski tak pernah sepi permintaan, bukan
berarti budidaya cabai nihil tantangan. Menjaga stok cabai tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan. Ada beberapa faktor yang sering kali memicu
terjadinya kelangkaan “si merah” di pasaran.
Pertama, cabai
memiliki sifat perishable atau mudah
busuk.
Layaknya produk pertanian lainnya, cabai harus dikonsumsi dalam jangka waktu
yang tidak terlalu lama sejak dipanen. Dengan teknik pengeringan sekali pun,
normalnya cabai hanya mampu bertahan selama satu bulan.
Kedua, serangan
hama dan virus. Dilansir dari Sipindo, ada tiga musuh utama bagi petani cabai, yakni
kutu kebul, patek, dan virus kuning. Kombinasi ketiganya sangat merugikan,
karena bukan hanya menyerang tanaman cabai, tetapi juga tanaman lain di sekitarnya.
Ketiga, faktor
cuaca. Pasokan air dan sinar matahari yang cukup, sangat krusial
bagi kesuksesan budidaya cabai. Pada musim hujan, biasanya
pasokan cabai menukik tajam, karena lebih cepat busuk dan rawan terserang
hama. Kondisi inilah yang membuat petani cabai merugi dan harga cabai melambung
tinggi.
Terakhir, keterbatasan
lahan. Dalam
laporan bertajuk Statistik Tanaman Sayuran dan Buah-buahan Semusim Indonesia
2017, BPS mencatat luas area panen cabai cenderung stagnan. Padahal,
cabai tak pernah sepi peminat. Semakin sempitnya lahan tanam, menyebabkan
produksi cabai juga tertahan.
Menilik
Manfaat Cabai
Sekarang, mari kita berandai-andai. Anggap
saja kita mampu menahan nafsu memakan sambal. Dengan sekian banyak tantangan yang mesti dihadapi, apakah
sudah saatnya kita meninggalkan cabai?
Nanti dulu, jangan buru-buru. Sebelum
menjawab pertanyaan tadi, mari kita tilik manfaat cabai satu per satu.
Di balik rasa pedasnya, ternyata cabai
memiliki kandungan gizi yang sangat kaya. Beberapa di antaranya baik bagi
kesehatan tubuh, yakni vitamin A, B6, C, E, K, serta zat besi, kalium, fosfor,
dan energi. Oleh karena itu, tak heran apabila cabai berkhasiat untuk mencegah sembilan
serangan penyakit berbahaya.
Pertama, menjaga
kesehatan jantung. Cabai dapat membuka dan memperlancar aliran darah di dalam arteri jantung,
sehingga mencegah terjadinya risiko serangan jantung.
Kedua, menangkal
stroke. Cabai memiliki kemampuan untuk
membuang kolesterol jahat dari dalam tubuh. Aliran darah di dalam tubuh akan
lancar, sehingga mengurangi risiko terjadinya stroke.
Ketiga, mencegah
kanker. Zat capcaisin yang dikandung dalam cabai
dapat menghambat perkembangan sel kanker. Oleh karenanya, cabai dapat membantu
mencegah terjadinya kanker, terutama kanker paru-paru dan pankreas.
Keempat, meredakan
sakit kepala. Ketika makan pedas, sering kali kita berkeringat. Nah, kondisi inilah
yang bisa meredakan sakit kepala, karena rasa pedas dapat memicu otak untuk
menghilangkan rasa nyeri di kepala.
Kelima,
melancarkan pencernaan. Cabai dapat menstimulasi sistem
pencernaan agar memproduksi enzim dan asam lambung. Sehingga, proses asimiliasi
dan eliminasi makanan di dalam tubuh akan semakin lancar.
Keenam, zat anti
inflamasi. Cabai merupakan obat herbal anti
inflamasi yang baik bagi penderita penyakit gula darah, arthritis, psoriasis, dan
kerusakan syaraf.
Ketujuh, melawan
jamur. Kandungan zat capcaisin yang dimiliki oleh cabai, diketahui dapat membantu
mengurangi jamur pada kulit. Oleh karena itu, cabai sangat baik dikonsumsi bagi
penderita penyakit gatal-gatal kulit.
Kedelapan,
menurunkan berat badan. Keringat yang kita keluarkan tatkala mengonsumsi makanan
pedas, ternyata mengandung lemak. Ini berkat zat capcaisin yang bertugas membakar lemak dari dalam tubuh. Alhasil, berat badan tubuh akan berkurang.
Terakhir,
mempercepat pertumbuhan rambut. Kebotakan salah satunya ditimbulkan
akibat sirkulasi udara yang kurang baik di kulit kepala. Dengan mengonsumsi
cabai, maka sirkulasi udara di kulit kepala menjadi lancar, sehingga dapat
mempercepat pertumbuhan rambut dan mencegah terjadinya kebotakan.
Bukan hanya bermanfaat untuk kesehatan, cabai
juga memiliki andil yang cukup besar dalam perekonomian. Seperti dilansir BPS, nilai
ekspor cabai sepanjang tahun 2017 mencapai 630,29 ribu Dollar AS. Jumlah
tersebut meningkat 6,24 persen dibandingkan dengan tahun 2016, yang tercatat
sebesar 593,26 ribu Dollar AS.
Membaca data di atas, tentu kita merasa berbesar
diri. Cabai lokal bukan hanya sanggup memenuhi kebutuhan konsumsi
dalam negeri, tetapi juga menjadi komoditi kebanggaan bangsa yang mampu menghasilkan pundi-pundi devisa.
Tidak berhenti sampai di sana, produk olahan
cabai juga menjadi warisan budaya. Untuk yang satu ini, kita patut
berbangga. Karena hingga detik ini, kita telah memiliki lebih dari 322 jenis sambal
tradisional yang tersebar di seluruh Nusantara. Tidak ada satu pun olahan bahan
pangan di dunia ini yang memiliki varian sebanyak cabai. Hebat, kan?
Sekarang, mari kita kembali ke pertanyaan
semula. Jika baik untuk kesehatan, dahsyat untuk perekonomian, dan menjadi
produk yang paling membanggakan, sudikah kita meninggalkan cabai sebagai bahan
pangan?
Kisah
Inspiratif Atasi Masalah Cabai
Setiap masalah pasti ada solusi. Begitu pula
dengan permasalahan cabai yang mendera dua sisi, baik pembeli maupun petani. Oleh
karena itu, ada baiknya kita tengok kisah inspiratif dari seorang wanita
bernama Mahariah.
Ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai
pegiat lingkungan ini, bermukim di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Tinggal di
daerah lepas pantai sering kali membuatnya kesulitan dalam memperoleh buah dan
sayuran, termasuk cabai.
Jikalau ada, harganya pun terbilang luar
biasa. Ongkos angkutlah yang menjadi kausanya. Sebab, para pedagang harus
mendatangkannya langsung dari Jakarta. Melawan deru ombak selama 3 jam, hanya dengan
menggunakan perahu kayu sederhana.
Kondisi demikian tidak membuat Mahariah
kehilangan akal. Bersama ibu-ibu lainnya yang tergabung dalam komunitas Rumah
Hijau, mereka kemudian menginisiasi gerakan menanam buah dan sayuran dengan metode
hidroponik di pekarangan rumah sejak tahun 2015.
Bukan hanya cabai, berbagai jenis buah dan
sayuran lainnya juga ditanam secara hidroponik. Beberapa di antaranya adalah
pakcoy, kangkung, terong, jeruk, kelengkeng, dan lengkuas.
Mahariah berharap, gerakan ini dapat menjadikan
warga di Pulau Seribu bisa memenuhi kebutuhan gizi sayur dan buahnya secara
mandiri. Tidak lagi bergantung pada suplai dari Jakarta yang kerap membebani
ongkos belanja.
Hingga saat ini, metode tanam hidropronik
yang dimotori oleh Rumah Hijau sudah diikuti oleh lebih dari 40 kepala
keluarga. Tidak hanya dari Pulau Pramuka saja, tetapi juga pulau-pulau di
sekitarnya.
Cap
Panah Merah Membawa Banyak Berkah
Bila kisah Mahariah dapat memecahkan masalah
cabai dari sisi pembeli, maka kita pun harus memiliki solusi untuk para petani.
Untuk menjaga kontinuitas produksi cabai, setidaknya ada dua hal yang harus
diperhatikan.
Pertama, penggunaan
benih unggul. Mengingat cabai merupakan tanaman yang rentan
terserang hama dan virus, maka benih unggul haruslah menjadi modal utama bagi
petani cabai.
Oleh karena itu, petani dapat memilih benih
cabai keriting hibrida varietas LABA F1 yang diproduksi oleh Cap Panah
Merah. Benih
jenis ini tahan terhadap serangan jamur dan bakteri penyebab penyakit. Di
antaranya adalah jamur Phytopthora
capsici penyebab busuk akar dan bakteri Ralstonia
solanacearum penyebab layu bakteri.
Penyakit layu pada tanaman cabai sendiri,
dikenal sebagai momok paling menakutkan di kalangan petani. Sebab, tingkat
kematian tanaman cabai akibat jenis penyakit ini sangat tinggi, yakni mencapai
70 persen.
Selain memiliki daya tahan yang tinggi
terhadap serangan penyakit, keunggulan benih LABA F1 buatan Cap Panah
Merah lainnya adalah tahan terhadap cuaca kering. Meski ditanam pada musim panas berkepanjangan,
tanaman cabai masih mampu berproduksi secara optimal.
Selain benih cabai kering varietas LABA F1,
produk dagang milik PT East West Seed Indonesia (Ewindo) ini juga menyediakan 23 jenis benih
cabai F1 berkualitas lainnya. Mulai dari LENTUR, BAJA, KRIDA, MONCER, PILAR,
hingga DEWATA.
Masing-masing benih memiliki karakteristik
sendiri. Sehingga memberi keleluasaan bagi para petani dalam memilih benih yang
cocok, sesuai dengan waktu penanaman dan kondisi lahannya. Dengan
demikian, pasokan cabai di pasaran akan tetap terjaga sepanjang waktu.
O ya, ada satu lagi. Perusahaan benih terpadu
pertama di Indonesia ini juga menyediakan benih sayuran unggul lainnya. Di
antaranya adalah bayam, wortel, kubis, jagung, caisim, kangkung, selada, dan
lain-lain. Untuk lebih lengkapnya, kalian dapat melihat gambar di bawah ini.
Kedua, mengatasi
kesenjangan informasi. Sudah menjadi stigma sejak dahulu bahwa akses petani terhadap informasi
sangatlah terbatas. Baik informasi teknik budidaya yang baik, maupun informasi
harga jual di pasaran.
Nah, untuk memerangi kesenjangan informasi
tersebut, Ewindo telah meluncurkan aplikasi Sistem Informasi Pertanian
Indonesia, atau Sipindo. Berbagai informasi tentang sayur dan buah dapat diakses petani hanya dengan sentuhan jari.
Untuk meningkatkan kualitas teknik budidaya
petani sayur, Sipindo memiliki tiga fitur, yakni artikel seputar pertanian,
tips urban farming, dan cara bercocok
tanam yang baik. Dari menu-menu tadi, para petani cabai dapat mempelajari cara
menanam cabai dan mengendalikan hama. Contohnya seperti infografik cara
budidaya cabai rawit di bawah ini.
Sipindo juga memiliki berbagai fitur yang
dapat mengatasi kesenjangan harga jual sayuran di pasaran. Ini dapat ditemui
pada menu rencana penanaman, jual beli sayuran, hingga cek harga jual sayuran
di pasar.
Fitur harga jual sayuran misalnya, dapat
disesuaikan dengan lokasi tanam petani. Dengan memanfaatkan fitur ini, petani
dapat mengendalikan biaya produksi untuk mengoptimalkan harga jual di pasaran.
Alhasil, suplai cabai terjaga, petani pun makin sejahtera.
Kesimpulan
Pedas lagi nikmat. Seperti rasanya, begitulah
dua sisi kondisi cabai di Indonesia. Pedas, sebab bila salah takar, cabai bisa
membuat petani terjepit rugi dan konsumen menjerit karena harga melambung
tinggi.
Sebaliknya bila takarannya pas, cabai bisa
membawa banyak kenikmatan. Tidak hanya baik bagi kesehatan, akan tetapi juga
mampu menggerakkan roda pekonomian dan melestarikan warisan budaya
kuliner lokal.
Namun sepedas-pedasnya rasa cabai, kita harus
tetap optimis. Kisah Mahariah sebagai konsumen cerdas dan upaya Ewindo dalam
memajukan petani, dapat dijadikan contoh bagi kita untuk memadamkan pedasnya
cabai.
Karena biar bagaimana pun, bukankah kita
tetap rindu akan cabai rawit saat menggigit gorengan? Bukankah kita tetap
mencari sesendok sambal saat memesan mie ayam? Dan, bukankah kita juga masih
ingin mencocol saus tatkala menyantap ayam goreng di restoran?
Lantas, apa jawaban saya untuk judul artikel
ini? Tanpa ragu saya pasti menjawab: mengonsumsi cabai sangatlah penting untuk mewujudkan
kehidupan yang lebih baik. Jadi, yuk kita makan cabai ramai-ramai!
***
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Blog “Berbagi
Informasi Nutrisi (BION)” yang diselenggarakan oleh Cap Panah Merah.
Sumber Referensi:
No.
|
Judul/Perihal
|
Sumber/Tautan
|
1.
|
Wow, Ternyata Ada 322
Jenis Sambal di Indonesia
|
https://www.viva.co.id/gaya-hidup/kuliner/1034315-wow-ternyata-ada-322-jenis-sambal-di-indonesia
|
2.
|
Analisis Perkembangan Harga Bahan
Pangan Pokok di Pasar Domestik dan Internasional edisi Oktober 2018
|
http://bppp.kemendag.go.id/analisis_perkembangan_harga
|
3.
|
Statistik Tanaman
Sayuran dan Buah‐buahan Semusim Indonesia 2017
|
https://www.bps.go.id/publication/2018/10/05/bbd90b867a6ee372e7f51c43/statistik-tanaman-sayuran-dan-buah---buahan-semusim-indonesia-2017.html
|
4.
|
Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai (Cabe)
|
http://informasitips.com/kandungan-gizi-dan-manfaat-cabai-cabe
|
5.
|
Di Balik Pedasnya
Cabai Rawit
|
Artikel dari Aplikasi
Sipindo
|
6.
|
Cap Panah Merah Luncurkan Varietas
Cabai Tahan Kekeringan
|
http://www.panahmerah.id/news/cap-panah-merah-luncurkan-varietas-cabai-tahan-kekeringan
|
Kereen kak �� saya termasuk penyuka cabe, kalau di kampung sih namanya cobek-cobek. Emang kalau makan cabe kan nafsu makan meningkat ��
ReplyDeleteBener banget, Mba. Kalau makan pakai sambal, rasanya tambah bergairah meski keringat sering kali membuncah. Haha. Terima kasih sudah mampir, Mba. Salam hangat.
Deletebuat ane "No Cabe, No enak makan" hehehe... apa jadinya kalau nggak ada cabe, nggak bakal enak makan :D :D
ReplyDeletenais info sob
Sama Bro. Cabai memang penyedap rasa paling disukai Indonesia. Hehe. Terima kasih sudah mampir, Bro. Salam hangat.
DeleteKalau saya suka sekali makan cabe, karena saya suka pedas hihihi. Sukses Mas buat lombanya :)
ReplyDeleteNah, satu lagi yang suka pedas. Terima kasih sudah mampir Mas Amir. Salam hangat.
DeleteWah, bisa meredakan sakit kepala ya? Pantas saja kalau lagi mumet suka kepengen makan yang pedas-pedas, hehehe. Aku suka suka makan cabai kalau lagi sembelit, terutama sebagai perempuan pas lagi PMS cabai membantu sekali :D Aku sih siasatinya dengan menanam cabai sendiri saja deh di rumah :)
ReplyDeleteBener, Mba. Menurut literatur yang kubaca cabai bisa meredakan sakit kepala. Wah, mantap sudah menanam cabai di pekarangan rumah. Terima kasih sudah berkenan mampir ya, Mba. Salam hangat.
DeleteSaya asli keturunan Minangkabau dari Ayah dan Ibu, dan pastinya pecinta makanan pedas. Hehe. Sebagai pecinta makanan berbahan cabai, senang juga bisa membaca dan mengetahui berbagai macam manfaat dari si cabai ini. Yang pasti bagi saya, kalo makan tanpa sambal cabai, makan tidak akan pernah nikmat dan meriah. Wkwkwkwk.
ReplyDeleteBy the way kayaknya hasil foto2nya makin ciamik nih Bang Nodi, sepertinya kamera mirrorlessnya sudah di tangan ya? Mantaappp betul. :D
Nah, ini nih yang katanya disebut dengan budaya. Cabai tak bisa terganti meski ada banyak substitusinya. Saya pernah bekerja di Bukittinggi selama kurang lebih 3 bulan, Mas. Memang di sana tiada hari tanpa makan cabai.
DeleteBelum dikirim, Mas mirrorless-nya, hehe. Foto di artikel ini masih pakai kamera sewaan. Semoga cepat sampai, deh. Hehe.
Terima kasih sudah berkenan mampir ya, Mas Firman. Salam hangat.
Saya juga suka makan sambal mas, kalo gak ada sambal, rasanya ada yang kurang. Sukses buat lombanya mas
ReplyDeleteSama, Mas. Saya juga suka makan sambal, hehe. Terima kasih sudah mampir ya, Mas. Salam hangat.
DeleteAku suka cabai tp nggak terlalu pedas bang hahhaa aku mah org jatim KW kayaknya ini deh
ReplyDelete"Sambelnya dikit aja, Bang."
DeletePasti kalau mesen mie ayam bilangnya gitu ya, Bang? Hehe.
Terima kasih sudah mampir, Bang. Salam hangat.
Cabai memamg favorit semua orang. Dari artikel ini jadi belajar banyak. Dari data tentang cabai. Cabai mantaplah. Suka sekali kalau sama Ayam Geprek.
ReplyDelete