Memasuki penghujung tahun, cuaca di belahan
bumi Eropa terasa semakin jauh dari kata bersahabat. Tidak terkecuali di
Katowice, sebuah kota metropolitan di bagian selatan Polandia. Suhu udara kala
itu mencapai titik nadirnya, minus 2 derajat Celcius.
Meski hawa dingin terus menderu, namun suasana
di Paviliun E Spodek Arena—stadion kebanggaan warga Katowice—seketika berubah
menjadi hangat tatkala Dr. Tukul Rameyo Adi tampil memukau di atas panggung. Staf
Ahli Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman itu menyampaikan sebuah pesan
penting dari Indonesia.
“We
proudly present to you, Pulauku Nol
Sampah. A community-based innovation
movement to manage waste on the island,” tuturnya berbahasa Inggris seraya membuka
sesi presentasi pada gelaran akbar bertajuk Konferensi Perubahan Iklim PBB
ke-24 (COP24), Selasa (11/12).
Dalam paparannya, ia menceritakan bagaimana sebuah gerakan komunitas dapat mengatasi masalah sampah plastik. Sebuah isu lingkungan yang akhir-akhir ini kembali mengemuka, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara di dunia.
Dalam paparannya, ia menceritakan bagaimana sebuah gerakan komunitas dapat mengatasi masalah sampah plastik. Sebuah isu lingkungan yang akhir-akhir ini kembali mengemuka, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara di dunia.
Decak kagum terpancar dari raut wajah para pemerhati
lingkungan yang memenuhi aula. Ratusan pasang mata yang datang dari berbagai penjuru
dunia berhasil dibuatnya terpukau. Tepuk tangan sontak terdengar riuh saat Dr.
Tukul merampungkan materinya.
Ketakjuban peserta dalam pertemuan tahunan
lingkungan hidup sedunia itu bukanlah tanpa alasan. Sebab solusi sampah plastik
yang dinanti dunia, kini tersaji utuh di depan mata. Uniknya, solusi tadi
bukanlah berasal dari kota, teknologi terkini, maupun kajian akademisi. Melainkan
letupan semangat dan aksi sederhana warga dari Kampung Berseri Astra (KBA) Pulau
Pramuka.
Mahariah
yang Pantang Menyerah
Tidak seperti di Katowice, cuaca di Pulau
Pramuka terasa sangat terik. Aroma asin air laut khas pesisir pantai seketika menghujam
batang hidung saya, saat kapal cepat yang bertolak dari Pelabuhan Marina Ancol merapat
di dermaga.
Rasa mual akibat terjangan ombak di sepanjang
perjalanan seketika sirna, tatkala melihat senyum seorang wanita paruh baya yang
menyambut kedatangan saya di KBA Pulau Pramuka. Sambil menyusuri tepian pantai,
kami pun mulai berdiskusi.
“Enam puluh persen sampah di Kepulauan Seribu berasal dari Jakarta, Mas. Biasanya datang saat musim hujan karena terbawa arus air laut. Hampir seluruhnya berupa sampah plastik,” ujar Mahariah. Tutur katanya lembut, namun tetap tidak bisa menutupi semangat kuat yang muncul dari dalam dirinya.
“Enam puluh persen sampah di Kepulauan Seribu berasal dari Jakarta, Mas. Biasanya datang saat musim hujan karena terbawa arus air laut. Hampir seluruhnya berupa sampah plastik,” ujar Mahariah. Tutur katanya lembut, namun tetap tidak bisa menutupi semangat kuat yang muncul dari dalam dirinya.
Mahariah (49) adalah pendiri Rumah Hijau,
sebuah komunitas lingkungan hidup yang bermarkas di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. Dari komunitas inilah lahir gerakan Pulauku Nol Sampah yang dipresentasikan Dr. Tukul di Polandia. Gerakan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran warga tentang pentingnya menjaga
kelestarian alam dan lingkungan melalui upaya pengelolaan sampah yang baik.
Seperti kata pepatah, pengalaman merupakan guru yang terbaik. Jauh sebelum Rumah Hijau didirikan, Mahariah menjadi saksi bagaimana sampah plastik meluluhlantahkan kelestarian lingkungannya. Tahun 2009, saat banjir besar melanda Jakarta, sebagian besar tanaman bakau di Pulau Pramuka mati akibat terjangan sampah plastik kiriman.
Akibatnya, abrasi pantai tak bisa terhindarkan.
Terumbu karang mati, biota laut kehilangan nutrisi. Para nelayan kesulitan
mencari ikan, pariwisata daerah kehilangan minat wisatawan. Pada akhirnya,
kesejahteraan warga Pulau Pramuka yang menjadi taruhan.
“Kejadian itulah yang menggerakkan hati saya,
Mas. Sejak saat itu, kami mulai mengajak warga untuk mendaur ulang sampah
plastik dan melakukan reboisasi tanaman bakau di sepanjang pesisir pantai,” ucap
Mahariah. Kali ini nada bicaranya terdengar sendu, seakan menyembunyikan kekecewaan
yang telah lalu.
Menyadarkan warga untuk melestarikan lingkungan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Banyak tantangan yang mesti dilewati. Segudang tentangan pun harus dihadapi.
Mulai dari keengganan warga untuk memilah
sampah, penolakan warga untuk mengikuti pelatihan daur ulang, program budidaya
bakau yang tak mendapat sambutan, hingga tuduhan bahwa aksi yang dilakukan
Mahariah semata-mata hanya untuk mendapat bayaran.
Namun, segala ujian tadi sama sekali tidak
melunturkan semangatnya. Sebagai seorang guru Madrasah Ibtidaiyah, ia sudah
terbiasa mendidik santrinya dengan penuh kesabaran. Mengajarkan kebaikan dengan
penuh kesantunan, membalas gunjingan dengan seuntai senyuman.
“Saya nikmati semua prosesnya, Mas Adhi. Jikalau
saya hanya berorientasi pada hasil, mungkin saya sudah menyerah sejak dulu,”
cakapnya pasti.
Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Kegigihan
Mahariah pelan-pelan membuahkan hasil. Tahun 2014, ia mendapat suntikan tenaga dari
Variabel Bebas, sebuah komunitas anak muda yang peduli terhadap kelestarian
lingkungan pesisir pantai.
Aksi peduli lingkungan yang lebih variatif lantas
digencarkan. Mulai dari pengolahan sampah plastik menjadi kerajinan tangan yang
bernilai jual, penanaman bibit bakau dan terumbu karang, hingga penerapan pola
tanam hidroponik untuk memanfaatkan pekarangan.
Tidak hanya itu, mereka juga menawarkan paket
wisata edukasi konservasi. Pelancong yang berlibur ke Pulau Pramuka diajarkan
cara mendaur ulang sampah plastik, serta menanam bakau dan terumbu karang. Tujuannya
agar para wisatawan juga memiliki kepedulian terhadap kelestarian alam dan lingkungan.
“Dari sana, akhirnya banyak warga yang tertarik ikut serta aksi peduli lingkungan. Karena selain melestarikan alam, warga juga memiliki kesempatan untuk mendapat tambahan penghasilan dari daur ulang sampah dan pariwisata daerah,” kata Mahariah. Matanya kini berbinar penuh kebahagiaan.
“Dari sana, akhirnya banyak warga yang tertarik ikut serta aksi peduli lingkungan. Karena selain melestarikan alam, warga juga memiliki kesempatan untuk mendapat tambahan penghasilan dari daur ulang sampah dan pariwisata daerah,” kata Mahariah. Matanya kini berbinar penuh kebahagiaan.
Seiring meningkatnya kesadaran warga terhadap
isu lingkungan, pada tahun 2015 Mahariah bersama sekelompok ibu-ibu di Pulau
Pramuka dan sekitarnya mendirikan komunitas Rumah Hijau. Anggotanya kala itu
masih sangat terbatas, hanya 9 keluarga saja.
Namun, keterbatasan tadi tidak menyurutkan
langkah mereka untuk terus mengampanyekan gerakan Pulauku Nol Sampah. Saat waktu luang dan akhir pekan, mereka rutin
melakukan aksi peduli lingkungan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan warga
sekitar, khususnya terhadap bahaya sampah plastik.
Berkat daya juangnya yang tak pernah padam, Mahariah dianugerahi Kalpataru Tingkat Nasional pada tahun 2017. Sebuah penghargaan tertinggi di negeri ini bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Apresiasi itu ia terima langsung dari tangan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Alih-alih jemawa, Mahariah malah semakin
bersahaja. Baginya, prestasi pribadi bukanlah tolok ukur keberhasilannya. “Yang
terpenting adalah apa yang saya lakukan bisa mengubah pola pikir warga untuk
lebih peduli terhadap lingkungan. Karena lingkungan yang asri akan memberi
banyak manfaat bagi warga,” tuturnya sederhana.
Apa yang dikatakan Mahariah memang benar. Ikhtiarnya
terus dilakukan tanpa henti. Pelan tapi pasti, anggota Rumah Hijau pun mulai
bertambah. Kini, sudah ada sekitar 40 keluarga yang aktif terlibat dalam berbagai
kegiatan pelestarian lingkungan.
Sejumlah komunitas lingkungan hidup dari berbagai daerah pun mulai berdatangan untuk melakukan studi banding. Terutama komunitas yang fokus terhadap pengelolaan sampah dan pelestarian ekosistem pesisir pantai. Karena hingga saat ini, belum ada literatur mengenai sistem pengelolaan sampah untuk daerah kepulauan seperti di Pulau Pramuka.
Sejumlah komunitas lingkungan hidup dari berbagai daerah pun mulai berdatangan untuk melakukan studi banding. Terutama komunitas yang fokus terhadap pengelolaan sampah dan pelestarian ekosistem pesisir pantai. Karena hingga saat ini, belum ada literatur mengenai sistem pengelolaan sampah untuk daerah kepulauan seperti di Pulau Pramuka.
Bak bola salju yang bergulir, Pulauku Nol Sampah mendapat atensi
positif dari warga. Tidak hanya sekadar aksi nyata, gerakan ini lambat laun
mulai mengubah kebiasaan dan perilaku warga. Dari yang semula acuh tak acuh,
menjadi saling merengkuh. Alhasil, kampung Pulau Seribu kini mulai berseri
kembali.
Memilah
Sampah Mulai dari Rumah
Kami melanjutkan diskusi sambil menelusuri
lorong kampung yang nampak sangat asri. Lubang resapan biopori saya temui
setiap melangkahkan kaki sejauh 2 hingga 3 meter. Dua kantong sampah—organik
dan anorganik—tertata rapi menghiasi pagar rumah-rumah warga. Lengkap dengan
tanda pemilah sampah unik yang terbuat dari kaleng bekas berwarna-warni.
“Sengaja kami buat menarik, supaya warga jadi
tertarik. Karena pemilahan sampah merupakan langkah pertama dari upaya
pelestarian lingkungan. Kami ingin warga terbiasa memilah sampah mulai dari
rumahnya,” jawab Mahariah menuntaskan rasa penasaran saya.
Ia kemudian mengantar saya ke “hutan”, sebutan akrab untuk sekretariat Rumah Hijau. Kebetulan hari itu memang bertepatan dengan agenda rapat Rumah Hijau. Persis seperti namanya, sekretariat Rumah Hijau merupakan sebuah tempat terbuka beralas tanah yang dikelilingi pepohonan rindang.
Ia kemudian mengantar saya ke “hutan”, sebutan akrab untuk sekretariat Rumah Hijau. Kebetulan hari itu memang bertepatan dengan agenda rapat Rumah Hijau. Persis seperti namanya, sekretariat Rumah Hijau merupakan sebuah tempat terbuka beralas tanah yang dikelilingi pepohonan rindang.
Tak jauh dari sana, saya bisa melihat deretan
pot berisi aneka ragam sayuran hidroponik. Di atasnya tersedia alat penadah air
hujan yang berfungsi untuk irigasi tanaman saat kemarau datang. Tepat di belakang,
kandang kelinci seukuran rumah tipe 21 nampak berdiri tegak menjulang.
Ada pula hutan yang difungsikan sebagai kawasan edukasi konservasi. Suasana pendidikan alam memang terasa sangat kental. Sebab, deretan pesan menarik berwarna-warni yang diukir di atas papan kayu menghiasi pelataran. Lafalnya pun tedengar sangat unik dan menyegarkan, seperti “Less Waste is Better” dan “Pulauku Cantik Tanpa Kantong Plastik”.
Berdekatan dengan kawasan hutan konservasi, ratusan bibit bakau siap tanam tersusun dengan rapi. Bibit ini memang sengaja disiapkan untuk paket edutrip. Dalam paket ini, para pelancong yang berwisata ke Pulau Pramuka akan diajarkan cara menamam bakau di sepanjang pesisir pantai.
“Di sini kami juga memiliki bank sampah, Mas Adhi. Warga yang telah memilah sampah plastik dari rumahnya, bisa menyetornya ke mari,” kata Mahariah seraya menunjukkan mesin pencacah sampah plastik yang tersimpan di bagian belakang.
Nilai tabungan sampah plastik pun bervariasi,
tergantung jenisnya. Untuk botol plastik dihargai Rp4.000 per kilogram, sedangkan
gelas plastik dinilai Rp6.000 per kilogram. Meski dinilai dengan satuan uang, warga
tidak bisa mengambil tabungannya begitu saja.
“Hanya dengan alasan tertentu, barulah warga dibolehkan
mengambil uang tabungannya. Seperti membeli beras, membayar biaya sekolah,
membeli buku dan seragam sekolah, atau berobat,” ujar Mahariah melanjutkan.
“Tujuannya agar tabungan sampah ini benar-benar digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pokok warga.”
Sampah plastik yang disetor warga, kemudian dikeringkan dan dicacah dengan menggunakan mesin pencacah sampah plastik. Nantinya, cacahan plastik tersebut dijual oleh Rumah Hijau kepada para penadah di Muara Angke. Keuntungannya digunakan untuk melakukan aksi pelestarian lingkungan lainnya.
Sampah plastik yang disetor warga, kemudian dikeringkan dan dicacah dengan menggunakan mesin pencacah sampah plastik. Nantinya, cacahan plastik tersebut dijual oleh Rumah Hijau kepada para penadah di Muara Angke. Keuntungannya digunakan untuk melakukan aksi pelestarian lingkungan lainnya.
Untuk mengolah sampah plastik jenis lainnya
seperti kantong plastik, bungkus mi instan, dan sedotan, Rumah Hijau menerapkan
dua jenis metode. Pertama, mendaur ulang sampah plastik menjadi berbagai macam
kerajinan tangan, mulai dari bunga buatan, gantungan kunci, hingga tas tangan.
Kedua, membuat bata ramah lingkungan, atau
yang dikenal dengan istilah ecobrick.
Dengan metode ini, botol plastik diisi dengan berbagai macam sampah plastik
yang telah dipotong kecil-kecil hingga padat. Ecobrick kemudian direkatkan dan dibentuk menjadi berbagai
peralatan rumah tangga seperti kursi, meja, serta hiasan dinding.
Dengan berbagai upaya tadi, Mahariah berharap
agar sampah plastik tidak lagi mencemari lingkungan Pulau Pramuka, sehingga
membuat warganya hidup lebih nyaman.
Dukungan
Astra
“Sejak pertama kali Rumah Hijau didirikan,
Astra memang sudah hadir mendukung kami,” jawab Mahariah tatkala saya
menanyakan dukungan PT Astra International Tbk untuk Pulau Pramuka. Melalui
program KBA, Astra bersama Rumah Hijau bahu membahu untuk mewujudkan lingkungan
Pulau Pramuka yang bersih, sehat, cerdas, dan produktif.
Dukungan Astra terbagi menjadi empat pilar,
yakni lingkungan, kewirausahaan, pendidikan, dan kesehatan. Pada pilar
lingkungan, Astra memfasilitasi upaya pengolahan sampah organik yang dilakukan oleh
warga. Saya mencatat, setidaknya ada dua kegiatan yang dilakukan.
Pertama, pemanfaatan alat pembuat kompos dari sampah, atau komposter. Astra mendonasi sejumlah komposter untuk dimanfaatkan warga secara langsung di rumahnya. Dengan alat ini, sampah organik akan diurai oleh bakteri sehingga menjadi pupuk kompos. Pupuk ini kemudian bisa dimanfaatkan kembali oleh warga untuk bercocok tanam.
Kedua, pemanfaatan biodigester. Alat ini berfungsi untuk mengubah sampah organik
menjadi energi alternatif yang ramah lingkungan, yakni biogas. Layaknya gas LPG,
biogas dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk keperluan memasak.
Mahyudin Hafsah, seorang warga yang
memanfaatkan biodigester di rumahnya,
mengakui bahwa biogas tidak berbau meski terbuat dari sampah organik. Selain
itu, kalori yang dihasilkan juga lebih besar dibandingkan dengan gas LPG, sehingga
membuat masakan lebih cepat matang.
“Kegiatan lainnya yang digagas Astra bersama
Rumah Hijau adalah Rumah Berseri Astra. Jadi, setiap warga di Pulau Pramuka, diajari
cara menanam di pekarangan rumah yang relatif terbatas,” ujar Mahariah
bersemangat.
Contoh penerapan Rumah Berseri Astra dapat ditemui di kediaman Hastuti. Suasana hijau nan asri langsung terasa ketika kami berkunjung ke rumah Ibu dua anak itu. Berbagai macam vegetasi ada di rumahnya, mulai dari tanaman obat keluarga, hias, sayuran, hingga buah-buahan.
Sebagian besar tanaman, terutama sayuran, ditanam
secara hidroponik. Metode tanam ini sangat cocok diterapkan di pekarangan rumah
yang terbatas, karena tidak membutuhkan media tanah. Beberapa jenis sayuran
yang ditanam secara hidroponik adalah pakcoy, kangkung, terung, jeruk,
kelengkeng, cabai, dan lengkuas.
Sebagai daerah kepulauan, salinitas tanah
Pulau Pramuka memang tinggi. Sehingga tidak banyak bahan pangan yang dapat
tumbuh di atasnya. Oleh karenanya, pasokan bahan pangan harus dipenuhi dari
Jakarta, sehingga biayanya menjadi lebih mahal.
Dengan metode tanam hidroponik, Hastuti
mengakui bahwa kebutuhan nutrisi buah dan sayuran keluarga bisa terpenuhi secara
mandiri. Alhasil, biaya dapur dan kebutuhan rumah tangga juga dapat ditekan.
Sebagai upaya meningkatkan produktivitas dan pendapatan
warga Pulau Pramuka, Astra juga menerapkan pilar kewirausahaan. Pada pilar ini,
dukungan Astra diwujudkan dalam bentuk pelatihan produk pangan olahan, salah
satunya adalah keripik sukun.
Selain itu, ada pula jepa—penganan khas daerah kepulauan. Kudapan ini terbuat dari buah alkesah, nama lain dari sawo mentega. Di
tangan ibu-ibu Rumah Hijau, kreasi jepa
ala Pulau Pramuka berhasil meraih Juara 1 Lomba Olahan Buah Langka antar KBA
yang diselenggarakan oleh Astra pada awal tahun ini.
Dari pilar kesehatan, Astra memberikan pelatihan kepada para bidan yang melayani posyandu Pulau Pramuka. Dengan pelatihan ini, keterampilan para bidan dalam melayani warga Pulau Pramuka semakin meningkat. Harapannya, kesehatan warga akan lebih terjaga.
Dari pilar kesehatan, Astra memberikan pelatihan kepada para bidan yang melayani posyandu Pulau Pramuka. Dengan pelatihan ini, keterampilan para bidan dalam melayani warga Pulau Pramuka semakin meningkat. Harapannya, kesehatan warga akan lebih terjaga.
Pada pilar terakhir, yakni pendidikan, Astra memberikan
pendampingan sekolah adiwiyata, dan beasiswa bagi siswa SD, SMP, dan SMA.
Selain itu, Astra juga mengembangkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan
memanfaatkan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Tanjung Elang Berseri. Lokasinya berada di bibir pantai, tidak jauh dari pelabuhan.
Di sini, ada berbagai sarana edukasi yang
bisa dimanfaatkan orangtua dalam mendidik anaknya, seperti taman membaca dan papan
penunjuk jalan dengan desain yang kekinian. Anak-anak juga bisa belajar menanam
sejak dini dengan alat peraga tanaman vertikultur.
Berada di RPTRA Tanjung Elang Berseri, saya seperti melintasi lorong waktu dan kembali ke masa lalu. Ada ayunan dan jungkat-jungkit yang kerap saya mainkan sewaktu TK dahulu. Dari kejauhan, tampak senyum cerah dari wajah polos anak-anak yang berlarian. Saya yakin, kebahagiaan mereka adalah jaminan cerahnya masa depan Pulau Pramuka.
Bernostalgia di RPTRA membuat waktu seakan
cepat bergulir. Tak terasa, arloji sudah menunjukkan pukul 14.30. Saya pun harus
bergegas ke pelabuhan untuk kembali ke peraduan.
“Terima kasih, Bu. Saya pamit dulu,” ujar
saya kepada Mahariah seraya membenarkan posisi ransel di punggung.
Banyak inspirasi yang bisa dipetik dari
kunjungan saya ke KBA Pulau Pramuka kali ini. Namun di antara itu semua, ada
satu yang paling melekat di hati. Yaitu semangat Mahariah dalam menjaga lingkungan
kampungnya agar tetap berseri.
Bersama Astra, semangat itu kemudian ia
tularkan dengan sabar kepada setiap warga. Hingga akhirnya timbul tiga kata mulia:
Pulauku Nol Sampah. Untaian kata
yang bukan hanya membangkitkan gelora warga Pulau Pramuka, tetapi juga menjadi asa
yang terus dilantaskan demi kebaikan Indonesia dan dunia.
***
Artikel ini diikutsertakan dalam Anugerah
Pewarta Astra 2018
keren, sudah bisa menerapkan zero waste,,,
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir ke mari, Mas. Salam hangat.
DeleteMasyarakat yang dibina sejatinya akan mandiri dengan hasil kerja keras mereka ya, Mas!
ReplyDeleteSepakat, Mas! Jika yang dibina bisa mandiri, maka salutlah dengan yang membina. Terima kasih sudah berkenan mampir, Mas. Sal hangat.
DeleteDibutuhkan lebih banyak lagi insan berjiwa seperti Bu Mahariah. Betapa keteladanan itu tidak mudah. Contoh nyata hanya akan bisa menggerakkan masyarakat dari yang semula apatis jadi lebih tergerak. Butuh dukungan dari pihak luar juga. Semoag Astra kian memperluas programnya ke banyak wilayah. Masih banyak daerah lain yang butuh teladan dan dukungan.
ReplyDeleteKita harusnya berdoa dan berusaha, agar apa yang dilakukan Mahariah bisa ditiru. Dimulai dari diri sendiri. Apapun yang kita kerjakan, semoga menjadi inspirasi buat banyak orang.
DeleteTerima kasih sudah berkenan mampir, Mba. Salam hangat.
Terlihat sekali semangat untuk menjaga kelestarian alam melalui penanaman bibit bakaunya, semoga Pulai ini makin asri kedepanya, amin
ReplyDeleteAmin Ya Rabb. Terima kasih sudah mampir Mas Amir. Salam hangat.
DeleteSalut bang sama Bu Mahariah, keren yah semangatnya luar biasaaaaaa. Pastinya dukungan Astra jg turut membantu pulau tsb menjadi nol sampah.
ReplyDeleteIya, Bang. Salut sama beliau. Astra menjadi pelengkap semangatnya. Terima kasih sudah mampir, Bang. Salam hangat.
DeleteSemoga aksinya ini bisa ditiru sama yang lainnya. Kalo saja setiap daerah menerapkan ini, pasti lingkungannya sehat terus dan terlihat indah banget dah. Tapi kembali lagi, pertama yang harus dibina adalah kedisiplinan diri dan kesadaran terhadap lingkungan... Mantap ulasannya... Good luck
ReplyDeleteBenar, Mas Hendra. Berbagai KBA di Indonesia juga menerapkan hal yang sama. Terima kasih sudah mampir, Mas. Salam hangat.
Deletenice. pengelolaan sampah yang membuat warga juga mandiri.
ReplyDeleteSepakat, Koh. Terima kasih sudah repot-repot mampir ya, Koh. Salam hangat.
DeleteDari jargon pulaunya saja sudah benar2 terlihat betapa Pulau Pramuka ini begitu menginspirasi. Semangat Ibu Mahariah yang didukung oleh bantuan Astra patut diacungi jempol. Senangnya melihat Kampung2 Berseri Astra yang tersebar di seluruh Indonesia, semuanya memiliki keunikan cerita dan latar belakang masing-masing. :)
ReplyDeleteSetuju, Mas Firman. Kampung Berseri Astra di seluruh Indonesia memang unik dan menginspirasi. Terima kasih sudah mampir, Mas. Salam hangat.
DeleteWeww kereeenn, pulauku nol sampah, semoga bisa diduplikasi di seluruh wilayah indonesia, hatipun lapang meliaht alam saat nol sampah
ReplyDeleteSepakat, Ito. Hati tenteram kalau melihat sampah menghilang. Terima kasih sudah mampir, To. Salam hangat.
DeleteWah, salut buat Ibu Mahariah ini. Semoga semakin banyak yang peduli dengan lingkungan. Aku sih masih jauh dari zero waste. Tapi dicoba sedikit-sedikit, at least dengan beli sayur tanpa kemasan (segar, bawa keranjang sendiri ke pasar) 😊
ReplyDeleteWah, ide yang menarik, Mba. Patut ditiru. Terima kasih sudah mampir ke mari. Salam hangat.
DeleteSemoga ada banyak jiwa-jiwa lain seperti ibu mahariah, yang semangat dalam menjaga kelestarian lingkungan khususnya di daerah kepulauan. Dan tak lupa pula peran astra dalam membantu daerah-daerah kepulauan dalam melestarikan lingkungan. Sehingga bisa menjadi Pulauku Indonesia Nol Sampah.
ReplyDeleteAmin Yaa Rabb. Terima kasih sudah mampir ke mari, Mas. Salam hangat.
DeleteAkupun pernah ke pulau ini... dan benar2 asri lagi indah...
ReplyDeleteJargonnya menginspirasi, penyampaian ulasannya menarik dan menginspirasi...
Mantab Suhu....
Setuju, Mas. Pulau Pramuka memang semakin asri. Terima kasih, Suhu Adhi, sudah repot-repot mampir ke mari. Hehe.
DeleteTulisan ini sangat berguna untuk lebih banyak menginspirasi daerah lainnya.
ReplyDeleteLanjutkan...
Amin Yaa Rabb. Semoga menginspirasi daerah kepulauan lainnya. Terima kasih sudah mampir ke mari, Mas. Salam hangat.
DeleteBaca tulisan ini dan lihat foto-fotonya, saya jadi ngiler pengen main ke P. Pramuka ini. Ingin melihat langsung suasana disana.
ReplyDeleteJalan setapaknya keren banget dengan lantainya terbuat dari paving block, baik sekali untuk resapan air hujan. Ini mengingatkan gang kecil di dekat rumah orang tua saya di Sukabumi yang baru-baru ini di renovasi dan diganti dengan paving block oleh pemerintah setempat.
Salam dari saya di Sukabumi.
Benar, Kang. Jalan setapaknya sederhana, adem, dan lestari. Terima kasih sudah mampir ke mari ya, Kang. Salam hangat dari Jakarta.
DeleteMantabbb mas masuk 30besar
ReplyDeleteAlhamdulillah. Terima kasih, Kak. Salam hangat.
Delete