Setengah
menggigil, ia mengisi daftar hadir lewat layar sentuh yang terpasang tepat di
depan gerbang perpustakaan. Rambutnya basah, jaketnya kuyup. Bekas lumpur di
ujung celana panjangnya pun tampak belum mengering.
Hujan deras
yang mengguyur Jakarta sejak tadi pagi, tidak membuat langkahnya terhenti.
Meski sepanjang jalan penuh aral melintang, senyumnya tetap berseri. Begitu
saya tanya alasannya datang kemari, jawabannya sungguh menggetarkan hati,
“Saya hanya
ingin belajar ekonomi,” tuturnya pasti.
***
Namanya Budi. Ia memperkenalkan
diri sebagai mahasiswa tingkat tiga dari salah satu universitas swasta di
Bekasi. Rambutnya ikal, berat badannya tidak sampai lima puluh kilogram. Kulitnya
hitam legam, berbanding terbalik dengan giginya yang putih bersih bak model
iklan pasta gigi.
Adalah tugas kantor yang
mempertemukan saya dengannya siang itu. Di kantor saya, Bank Indonesia, memang
terdapat sebuah perpustakaan. Letaknya di lantai dua, Menara Sjafruddin
Prawiranegara. Umumnya digunakan oleh karyawan yang mencari bahan referensi
untuk laporan, seperti saya. Namun tidak jarang pula dikunjungi oleh mahasiswa
yang hendak berburu literatur ekonomi, seperti Budi.
Hari itu, Budi datang
seorang diri. Hanya bermodalkan ransel berisi dua buku catatan dan beberapa
lembar fotokopian. Sambil menggigit roti yang baru saja dibelinya, ia memulai
cerita.
“Kampus kami memang tidak
punya taman baca, Pak. Jadi, saya harus datang kemari setiap kali menjelang
ujian, atau saat diberi tugas oleh dosen. Kebetulan, perpustakaan Bapak memang
lengkap. Pustaka acuannya melimpah. Plus, ada komputernya juga.”
“Temanmu mana? Kok, datang
sendirian?” tanyaku penasaran.
“Yah, itulah, Pak. Teman
saya rata-rata anak orang berada. Mereka bisa membeli buku, sedangkan saya harus
mengandalkan fotokopian. Mereka juga punya laptop,
kalau saya masih nabung sedikit demi
sedikit,” cakapnya sederhana.
Meski kisahnya memilukan,
namun suaranya tidak terdengar getir sama sekali. Saya yang mendengarnya jadi malu
sendiri. Karena tiba-tiba merasa digurui oleh keteguhan dan ketegaran sikapnya.
“Tapi saya tidak mau kalah
dari mereka, Pak. Makanya saya rajin datang ke sini. Saya harus bisa jadi
sarjana ekonomi dalam tiga setengah tahun. Setelah itu, saya mau jadi pegawai
negeri di Cilacap, kampung halaman saya, sambil ngurusi Ibu yang sedang sakit seorang diri.”
Kalimat terakhirnya sontak membuat
hati saya menangis. Batin saya teriris-iris. Rasa iba seketika memenuhi rongga
dada. Saya pun tak kuasa berkata apa-apa, selain memberinya kesempatan bergumul
dengan Advanced Financial Accounting
karya Ted Christensen.
Sambil berlalu, diam-diam
saya memanjatkan doa untuknya. Semoga
semua yang dicita-citakannya lekas terlaksana.
Perpustakaan memang identik
dengan buku. Keduanya saling berhubungan dan tidak bisa dilepaskan. Tidak ada
perpustakaan tanpa buku. Sebaliknya, buku hanyalah komoditas profit jikalau
tidak ada perpustakaan yang menyajikannya secara cuma-cuma.
Maka, tidak salah bila timbul
argumen bahwa kualitas literasi suatu bangsa ditentukan oleh keberadaan
perpustakaan. Semakin banyak perpustakaan, maka semakin terbuka pula kesempatan
anak bangsa untuk bisa membaca dan memperoleh ilmu. Pada akhirnya, hanya dengan
ilmulah kita bisa menjadi bangsa yang maju.
Hanya saja, sepertinya
minat membaca masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Studi Central
Connecticut State University bertajuk The World’s Most Literate Nations 2016, menempatkan
Indonesia pada peringkat ke-60 dari total 61 negara yang diteliti. Nomor dua
dari bawah setelah Botswana. Sedih!
Bila dikupas lebih dalam, terdapat
5 kriteria yang menjadi ukuran dalam studi tersebut. Ada komputer (computers), input sistem pendidikan (education
systems-input), output pendidikan
(education-test scores), koran (newspapers), dan tentu saja perpustakaan
(libraries).
Uniknya, dari lima kriteria
tersebut, peringkat perpustakaan kita cukup lumayan. Ia berada pada peringkat
ke-36, lebih baik dibandingkan dengan keempat kriteria lainnya, yakni komputer
(peringkat ke-60), koran (55), input
sistem pendidikan (54), dan kualitas pendidikan (45).
Oleh karena itu, bisa
dibayangkan apabila perpustakaan tidak menjadi kriteria penilaian. Sudah barang
tentu, Indonesia akan berada pada urutan paling buncit. Aih, jangan! Mari kita
berdoa, supaya hal itu tidak benar-benar terjadi.
Berkaca dari hal tersebut,
maka keberadaan perpustakaan tidak boleh diremehkan. Ia tidak hanya sekadar tempat
berbagai buku diatur dan ditata, melainkan sebuah kawah candradimuka yang akan
membawa sumber daya manusia Indonesia semakin berjaya di kancah dunia.
Seperti Budi, misalnya.
Baginya, perpustakaan tidak ubahnya dengan sebuah tabir untuk melampaui harapan.
Keterbatasan ilmu,
dilawannya dengan gigih membaca buku. Ketiadaan perangkat teknologi, ia akali
dengan memanfaatkan komputer dan akses internet berkecepatan tinggi. Seluruhnya
dilakukannya dari balik sekat perpustakaan. Dalam benaknya, hanya ada satu
impian: menjadi seorang ASN dan kembali ke pelukan Ibunda di kampung halaman.
Seperti Budi, saya pribadi
juga membutuhkan perpustakaan. Sebagai seorang analis ekonomi, data adalah
raja. Tanpanya, analisis yang saya buat akan terasa hambar. Persis seperti
sayur tanpa garam.
Nah, di perpustakaan saya
bisa menemukan banyak data dan referensi, Oleh karenanya, perpustakaan menjadi
tempat yang kerap saya kunjungi tatkala diminta menyiapkan laporan atau kajian oleh
atasan.
Selain untuk kepentingan
pekerjaan, ada lima kausa mengapa perpustakaan menjadi salah satu tempat
favorit bagi saya. Bagi kalian yang masih enggan ke perpustakaan, semoga alasan
ini bisa dijadikan alat untuk menguatkan niat kalian. Tanpa berpanjang lebar, yuk,
kita tilik satu per satu.
Berbagai aktivitas harian yang
kita lakukan, kadang kala membuat kita terjebak dalam rutinitas belaka.
Celakanya, hal ini bisa menyebabkan kita lupa dengan impian dan cita-cita.
Hanya melalui hari demi hari, tanpa adanya hasrat untuk meraih prestasi atau
menjadi lebih baik lagi.
Agar tidak demikian, maka
kita harus berhenti sejenak. Melihat kembali, apakah yang kita kerjakan sudah
sesuai dengan harapan. Apakah sikap kita selama ini telah memiliki nilai-nilai
kebaikan. Singkatnya, mundur selangkah, untuk kemudian melesat jauh ke depan.
Inilah esensi dari sebuah refleksi diri.
Nah, suasana hening yang
menyelimuti perpustakaan, memberikan kesempatan bagi kita untuk mengintrospeksi
diri. Hanya ada kita, buku, dan ketenangan jiwa. Bila hati sedang suntuk,
bacalah buku-buku motivasi. Tatkala lapar inspirasi, lahaplah pustaka sarat gizi.
Atau saat memerlukan hiburan, temukanlah novel yang laris di pasaran.
Hati tenang, jiwa kenyang,
inspirasi pun datang. Asyik, kan?
Perpustakaan bukan sekadar
gudang buku yang ditata asal-asalan. Perpustakaan adalah ruang di mana buku
ditata dengan teratur, sistematis, dan penuh perhitungan. Ada alasan mengapa
tidak sembarang orang bisa menjadi pustakawan.
Dengan berkunjung ke
perpustakaan, maka kita akan diajari cara berpikir sistematis. Tatkala mencari
sebuah buku, mau tidak mau, kita akan mempelajari denah perpustakaan terlebih
dahulu. Katakanlah kita ingin melahap Inferno
karya Dan Brown. Maka sudah tentu, kita akan mencarinya pada seksi buku populer atau novel, alih-alih pada rak yang berisi buku kesehatan.
Selain itu, perpustakaan
juga mengajarkan kita untuk belajar tanggung jawab. Kala meminjam buku, kita
wajib mengembalikannya dengan baik, utuh, dan tepat waktu. Sama halnya ketika
membaca buku di tempat. Buku yang sudah selesai dibaca, wajib dikembalikan ke
tempat semula.
Memang, sih, ada beberapa
perpustakaan yang membolehkan kalian menaruh buku bekas baca di atas meja.
Namun demikian, apa salahnya bila kita sedikit membantu tugas pustakawan? Toh,
hitung-hitung beramal. Tentu tidak sulit, bukan?
Kita pasti sepakat bahwa
perpustakaan adalah gudangnya ilmu. Akan tetapi, menurut saya, perpustakaan
lebih dari itu. Tidak melulu soal pelajaran yang terkadang menjemukan,
perpustakaan adalah tempat di mana kita bisa menggali potensi diri. Apapun
cita-cita yang kalian langitkan, maka perpustakaan bisa menjadi tempat yang paling
tepat untuk mulai mewujudkan.
Seorang yang ingin memulai
bisnis, misalnya. Ia bisa datang ke perpustakaan untuk membaca 33 Cara Kaya Ala Bob Sadino karya Astrid
Savitri atau The Seven Habits karya
Stephen Covey.
Pun demikian halnya dengan
seorang penulis atau narablog. Ketika membutuhkan tambahan diksi, ia bisa
melahap Sepatu Dahlan anggitan
Khrisna Pabichara. Atau ia juga bisa memelototi untaian kata dari novel international best seller berjudul Laskar Pelangi, buah pikir Andrea
Hirata.
Bagi kalian generasi
milenial yang ingin mencari pundi-pundi dari YouTube, maka Berlomba Jadi Populer di YouTube ciptaan Alfa Hartoko, menjadi
kitab yang patut dibaca. Jadi, sudah siap menggali potensi diri ke
perpustakaan?
Kalau kalian berpikir
perpustakaan hanyalah tempat untuk membaca buku, maka mohon maaf, kalian salah
besar. Suasana tenteram di perpustakaan, justru memberikan kita ruang untuk
saling berinteraksi dan berkomunikasi. Kok, bisa? Caranya? Rapat salah satunya.
Coba kita berpikir sejenak.
Daripada menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya untuk rapat di hotel berbintang,
restoran unggulan, atau kafe kekinian, mengapa tidak kunjungi perpustakaan saja?
Saya yakin, ada meja besar dan kursi memadai yang bisa kita gunakan untuk
menggelar sesi diskusi.
Karena perpustakaan memaksa
kita untuk tidak berisik, maka rapat pun akan menjadi lebih efektif. Pendapat
yang diumbar, niscaya lebih tepat sasaran. Saran yang diajukan, otomatis lebih
mudah dicerna. Alhasil, solusi dan kesepakatan atas topik atau permasalahan
yang dibahas dalam rapat, akan muncul dengan lebih cepat.
Tidak melulu harus serius.
Perpustakaan juga bisa kita gunakan sebagai ruang rekreasi agar otak lebih
segar dan hati kembali adem.
Beberapa perpustakaan
besar, seperti di kantor saya, telah menyediakan beragam fasilitas yang bisa
kita manfaatkan. Seperti kopi dan teh gratis, serta akses internet secara cuma-cuma.
Segala fasilitas ini bisa kalian manfaatkan sebagai sarana rekreasi.
Oleh karena itu, tatkala
jam istirahat, saya kerap memanfaatkan perpustakaan untuk menyegarkan kembali
pikiran yang sudah berkabut. Segelas teh manis akan menghangatkan kembali tubuh
yang kedinginan akibat terpaan penyejuk ruangan. Akses internet, saya
manfaatkan untuk menonton YouTube, atau membaca artikel hiburan yang diumbar
oleh media daring tiap menit.
Selepas berkunjung ke perpustakaan
selama setengah jam, hati pun menjadi senang, dan siap kembali memulai
aktivitas hingga larut malam.
Sekarang, kalian sudah
tahu, ternyata perpustakaan lebih dari sekadar gudang buku. Sebaliknya,
perpustakaan memiliki banyak kebaikan yang bisa kita manfaatkan untuk berbagai
kebutuhan hidup. Entah itu mencari ilmu, menggali potensi, tempat berinteraksi,
atau bahkan sarana rekreasi. Setuju?
Oleh karena itu, ada satu
pertanyaan yang perlu kalian jawab. Sudahkah kalian memetakan perpustakaan mana
saja yang ada di daerah kalian? Jangan bingung. Apalagi sampai garuk-garuk
kepala. Sebab Perpustakaan Nasional (Perpusnas) telah menyajikan datanya.
Dalam laman resminya, Perpusnas membabarkan bahwa saat ini
terdapat sekitar 3.019 perpustakaan di seluruh Indonesia. Bila diperinci, maka ada
1.191 unit perpustakaan umum, 516 unit perpustakaan khusus, 39 perpustakaan
unit perguruan tinggi, dan 1.273 unit perpustakan sekolah.
Pada laman yang sama,
kalian juga bisa mengetahui alamat masing-masing perpustakaan, lengkap dengan
titik koordinat lokasinya di Google Map. Canggih, bukan? Jadi, tidak alasan
bagi kalian untuk bingung mencari perpustakaan, ya!
Nah, bagi kalian yang
berdomisili di Banda Aceh dan sekitarnya, ada sebuah kabar gembira. Dari
delapan perpustakaan yang ada di sana (menurut data Perpusnas), ada salah satu
perpustakaan yang sayang bila dilewatkan. Orang Aceh pasti sudah tahu. Ya,
apalagi kalau bukan Perpustakaan Universitas Syiah Kuala?
Perpustakaan Universitas
Syiah Kuala, atau akrab dikenal dengan Perpustakaan Unsyiah,
adalah salah satu perpustakaan perguruan tinggi yang ada di Banda Aceh.
Lokasinya berada tepat di Jalan T. Nyak Arief, Kampus Unsyiah,
Darussalam, Banda Aceh.
Perpustakaan Unsyiah
memiliki sejarah yang cukup panjang. Sejak pertama didirikan pada 1970,
perpustakaan ini telah beberapa kali pindah lokasi. Awalnya, perpustakaan ini
“hanya” menggunakan gedung Fakultas Ekonomi. Seiring dengan semakin tingginya
minat baca dan kebutuhan para mahasiswa akan perpustakaan, maka sejak 1994,
perpustakaan Unsyiah telah memiliki gedung sendiri. Lokasinya kini berdampingan
dengan Kantor Pusat Administrasi (KPA) Unsyiah.
Perpustakaan Unsyiah
memiliki beragam koleksi pustaka yang dapat kalian jadikan acuan dan sumber
ilmu pengetahuan. Setidaknya, ada 75.114 judul koleksi, yang terdiri dari
berbagai jenis pustaka. Mulai dari buku, jurnal, laporan akhir, skripsi, tesis,
disertasi, majalah, referensi, laporan penelitian, CD-ROM, hingga dokumentasi. Wah,
lengkap, ya?
Memang demikian adanya.
Sebab perpustakaan yang dikelola oleh UPT. Perpustakaan Unsyiah ini memiliki
sebuah visi yang tidak bisa dianggap sepele. Yakni, menjadi pusat informasi ilmiah terkemuka dan berdaya saing di Asia
Tenggara.
Visi tadi kemudian
diwujudkan melalui capaian sertifikasi. Tahun lalu, Perpustakaan Unsyiah
mendapat sertifikasi ISO 27001 pada bidang Keamanan Informasi Sistem
Perpustakaan dengan aplikasi Online
Public Access Catalog (OPAC), Open
Educational Resources (EOR), dan Room
Booking. Hingga saat ini, Perpustakaan Unsyiah adalah satu-satunya
perpustakaan perguruan tinggi yang memegang ISO 27001.
Mungkin kalian bertanya, sertifikasi
ISO 27001 itu konkretnya seperti apa, sih? Mudahnya, dengan OPAC, maka kalian bisa
mencari buku secara mandiri hanya dengan mengakses portal melalui komputer.
Jadi, kalian tidak memerlukan bantuan pustakawan lagi. Canggih, bukan? Untuk lebih
jelasnya, silakan tonton video berikut ini.
Jika itu saja belum cukup,
tenang saja. Sebab ada satu lagi. Tahun 2017, Perpustakaan Unsyiah menerima
penghargaan dari Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Pidie Jaya. Prestasi
ini diperoleh oleh Perpustakaan Unsyiah atas keterlibatannya dalam membantu
proses reaktivasi perpustakaan di Pidie Jaya, pasca gempa bumi pada Desember
2016. Hebat, bukan?
Nah, bagi kalian mahasiswa Unsyiah
dan sekitarnya, ada lima alasan mengapa kalian harus berkunjung ke Perpustakaan
Unsyiah, baik secara langsung, ataupun melalui website. Yuk, mari kita ulas satu per satu.
Daftar Referensi
Selain puluhan ribu judul
pustaka seperti yang sudah disinggung di atas, Perpustakaan Unsyiah juga
memiliki pustaka elektronik yang sangat lengkap. Mulai dari tesis, disertasi,
hingga ragam pustaka elektronik lainnya seperti e-book dan e-journal yang
dapat kalian akses dari website Perpustakaan
Unsyiah.
Perpustakaan Unsyiah juga
telah menerbitkan majalah sendiri yang diberi nama Majalah Librisyiana. Majalah yang terbit setiap triwulan ini,
berisi tentang informasi seputar kegiatan dan kehidupan kampus di Unsyiah. Nah,
bagi mahasiswa Unsyiah sendiri, majalah ini merupakan santapan wajib supaya
tidak kudet (kurang update). Setuju?
Sebagai bentuk apresiasi
kepada civitas akademika Unsyiah yang telah berkontribusi dalam memajukan
literasi, setiap tahunnya Perpustakaan Unsyiah mengadakan Library Award. Tahun lalu saja, ada tiga kategori pemenang, yakni
dosen teraktif dalam kelas literasi, pemustaka paling sering berkunjung ke
perpustakaan, dan peminjam buku terbanyak.
Nah, bila kalian mau
terpilih jadi Pemenang Library Award
selanjutnya, makanya, sering-sering berkunjung ke Perpustakaan Unsyiah, ya!
Serupa dengan Library Award, Perpustakaan Unsyiah juga
memberikan kesempatan bagi mahasiswa Unsyiah untuk menjadi duta baca Unsyiah.
Caranya? Tentu saja, kalian harus gemar membaca, dan memiliki segudang prestasi
di bidang literasi.
Setiap tahun, Perpustakaan Unsyiah
membuka pendaftaran duta baca Unsyiah. Nantinya, seluruh pendaftar yang
memenuhi syarat, akan diseleksi secara ketat oleh Dewan Juri yang berkompeten
di bidangnya. Alhasil, ada seorang mahasiswa dan satu orang mahasiswi yang
berhak dinobatkan sebagai duta baca Unsyiah.
Bagaimana? Tertantang menjadi
seperti Nadya Tiffany dan Furqan?
Nah, ini yang paling
menarik. Sebagai ajang untuk mengapresiasi segala bentuk literasi, Perpustakaan
Unsyiah kembali mengadakan Unsyiah Library Fiesta. Pada Unsyiah Library Fiesta 2019 kali ini, ada empat
kategori lomba yang diadakan.
Pertama, ada lomba baca
puisi yang dapat diikuti oleh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan mahasiswa.
Ada juga lomba debat bahasa Indonesia yang juga dilakoni oleh siswa SMA dan
mahasiswa.
Di bidang seni musik, Unsyiah
Library Fiesta 2019 juga menyelenggarakan lomba akustik yang dapat diikuti oleh
peserta dari kalangan umum. Dan tentu saja, seperti artikel yang sedang kalian
baca ini, ada blog competition bagi blogger yang gemar menulis dan mengikuti
kompetisi.
Nah, tinggal dipilih, deh.
Mana yang akan kalian ikuti sesuai dengan bakat kalian? Pokoknya, jangan sampai
ga ikutan, ya!
Keberadaan perpustakaan
memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Di sudut sana, banyak saudara kita
yang menggantungkan harapan dari bilik-bilik perpustakaan. Seperti Budi yang
tengah berjuang melawan segala keterbatasan dari balik ruang baca. Cita-cita
mulia, ia langitkan bersama jutaan aksara yang menghiasi kedua matanya.
Sama halnya dengan
Perpustakaan Unsyiah yang selalu menebar inspirasi dan motivasi. Perpustakaan
ini membuktikan, bahwa jarak tidak menjadi penghalang bagi pembaca untuk
berkunjung ke perpustakaan. Dari website-nya,
kita bisa mengakses ribuan karya untuk mewujudkan berbagai asa. Melalui Unsyiah
Library Fiesta 2019, kita juga bisa berkompetisi, sambil mengasah potensi
sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Terakhir, ada satu kalimat
dari Norman Cousins, advokat perdamaian dunia asal Amerika Serikat, yang saya
yakin kalian sependapat.
A library is the delivery room for the birth of ideas, a place where history comes to life.
Ya. Ide-ide yang brilian
sejatinya lahir dari rahim perpustakaan. Ide besar yang akan kekal dalam
lintasan sejarah. Ide mulia yang akan membimbing pencetusnya untuk melampaui
batas-batas harapan.
Jadi, kapan kita ke
perpustakaan?[]
***
Artikel ini diikutsertakan
dalam Blog Competition Unsyiah Library Festival 2019 yang
diselenggarakan oleh Perpustakaan Universitas Syiah Kuala. Informasi mengenai
lomba ini telah disebarkan melalui akun Instagram
pribadi milik penulis.
Foto, Ikon, vektor, dan
grafis bersumber dari koleksi pribadi, website
Perpustakaan Universitas Syiah Kuala, dan situs langganan berbayar Envato
Market, di mana penulis terdaftar sebagai anggotanya dan memiliki hak untuk
menggunakannya. Sedangkan video, diambil dari YouTube channel milik UPT. Perpustakaan Unsyiah.
Setiap gambar yang
ditampilkan dalam artikel ini diolah secara mandiri oleh penulis. Masing-masing
sumber telah dicantumkan pada setiap gambar.
Daftar Referensi
Central Connecticut State
University. 2017. World’s Most Literate Nations 2016, [daring] (http://www.ccsu.edu/wmln/rank.html,
diakses tanggal 5 Maret 2019).
Perpustakaan Nasional. 2019. Pemetaan
Perpustakaan Berbasis Wilayah, [daring] (http://pemetaan.perpusnas.go.id/,
diakses tanggal 5 Maret 2019).
Perpustakaan Unsyiah. 2017. Sekda Pidie Jaya
Serahkan Piagam Penghargaan Untuk UPT. Perpustakaan Unsyiah, [daring] (http://library.unsyiah.ac.id/sekda-pidie-jaya-serahkan-piagam-penghargaan-untuk-upt-perpustakaan-unsyiah/,
diakses tanggal 5 Maret 2019).
Serambinews. 2018. Perpustakaan
Unsyiah Lulus Sertifikasi ISO 27001, Satu-satunya PTN di Indonesia, [daring] (http://aceh.tribunnews.com/2018/08/15/perpustakaan-unsyiah-lulus-sertifikasi-iso-27001-satu-satunya-ptn-di-indonesia,
diakses tanggal 5 Maret 2019).
Infografisnya makin kereeeeeennnn, bang. Btw klo mau nyari aku saat semester akhir, jawabannya hanya satu. Perpustakaan kampus sebelah hahaha, soalnya millenial bgt. Astaga Indonesia urutan ke-60, sedih yah, bang.
ReplyDeleteWahaha. Merpus mulu, yak, waktu zaman skripsian. Sama, Bang. Hehehe.
DeleteTerima kasih sudah mampir kemari, Bang. Salam hangat.
Tulisannya bagus mas adi. Sy yakin ini akan menjadi prestasi ke-26 anda. Semoga amiin...
ReplyDeleteAmin Yaa Rabb. Terima kasih untuk doanya, Kak. Saya senang Kakak sudah meluangkan waktu untuk berkunjung kemari.
DeleteSalam hangat.
Saya terharu membaca kisah Budi. Semoga apa yang di cita-citakan lekas tercapai, amin
ReplyDeleteAmin Yaa Rabb. Terima kasih sudah mampir kemari, Mas Amir. Salam hangat.
DeleteSemenjak pindah ke kampung halaman, tempat favorit kami untuk kongko sekeluarga atau bareng teman ya perpustakaan, Bang. Walau tak selengkap di kota besar, Perpustakaan Daerah lumayan nyaman dan bisa jadi solusi tempat menulis dan cari bahan. Kalau ada perpustakaan kayak Unsyiah, keren banget tuh. Tiap hari saya bawa bantal sekalian deh, plus selimut haha soalnya bakal betah. Moga saja Budi bisa mencapai cita-citanya ya. Perpustakaan banyak banget manfaatnya.
ReplyDeleteWah, senangnya bertamasya ke perpustakaan bersama keluarga. Saya yakin putra Mas Rudi nanti ada yang meneruskan jejak Ayahnya menjadi penulis handal. Amin.
DeleteTerima kasih sudah mampir kemari ya, Mas. Salam hangat untuk keluarga di Lamongan.
Woww mantap, sekali mas tulisannya lengkap aktual dan mengalir bak air mengalir di sungai yang jernih
ReplyDeleteWah. Itu, sih, sangat hiperbola. Hehe.
DeleteSemakin keren saja perpustakaan Unsyiah ya.
ReplyDeleteBenar, Kak. Terima kasih sudah berkunjung kemari. Salam hangat.
Delete