“Yorick, penyelam ulung, yang akan muncul ke permukaan setelah mutiara laut berada dalam genggaman.” ~ Yorick, halaman 290.
***
Kesuksesan hanya bisa
diraih dengan kegigihan. Lagi-lagi, petuah klasik itu terbukti benar lewat
untaian kata yang tersaji dalam Novel Yorick, anggitan
Kirana Kejora.
Bukan sekadar teori, sebab lakon
yang dituturkan dalam novel ini sejatinya diangkat dari kisah nyata. Cerita tentang
kerasnya perjuangan hidup Yorick, seorang lelaki asal Panjalu, yang akan
membuat pembacanya kehabisan tisu lantaran derai air mata yang tak kunjung
berlalu, meski telah menutup buku.
Pembaca akan diajak
menyelam di lautan kepedihan yang tergurat rapi di setiap halaman. Cobaan demi
cobaan telah menerpa Yorick sejak dini. Semenjak membuka mata, Yorick tidak
mengenal sosok ayah dan ibu. Satu-satunya figur sentral yang memberinya kasih
sayang, perhatian, dan tuntunan kehidupan adalah Nenek Encum, neneknya sendiri.
Tinggal berdua di gubuk
derita nan sederhana, Yorick kecil diajarkan neneknya untuk selalu bersabar dan
tidak mengeluh. Yorick mesti menerima guratan nasib bahwa neneknya bukanlah
orang berada.
Saat kawan sebayanya bermain
mobil-mobilan, Yorick berulang kali mesti menelan harapan. Tatkala murid-murid lainnya
berseragam lengkap, Yorick harus mengenakan seragam lusuh tanpa kancing satu,
dan sepatu bolong kebesaran lengkap dengan sumpalan kertas koran.
Yorick adalah ‘alien’ di
kampung halamannya. Lantaran tampilan fisiknya yang berbeda, Yorick seringkali menerima
cemoohan dan perundungan dari teman sekolahnya. Alhasil, Yorick kerap menghindar.
Berlari melintasi hamparan sawah dan hutan adalah satu-satunya hiburan baginya.
Kesendirian dan kesunyian terpaksa menjadi kawan sejatinya.
Didikan tegas Nenek Encum
membuat Yorick mampu bertahan di tengah cobaan. Lisan Nenek Encum bak mutiara
yang tidak pernah kehabisan kata-kata. Mengajari Yorick bersabar dengan sikap
dan tingkah laku yang sederhana. Mendidik Yorick agar tidak pernah alpa mengaji
dan selalu percaya dengan keadilan Sang Pemberi Rezeki.
Emosi pembaca diaduk-aduk,
ketika kisah mesra di antara Yorick dan Nenek Encum tidak berlangsung lama.
Yorick harus berpisah dengan Nenek Encum yang jatuh sakit dan harus mendapat
perawatan di kota. Yorick pun terpaksa tinggal di rumah kerabat jauh sembari
bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Bukannya lebih baik, Yorick
kerap mendapat siksaan yang lebih memilukan dari para kerabatnya. Deretan
perlakuan negatif harus rela diterimanya. Berulang kali pula Yorick harus
mengelus dada. Alasannya hanya dua: patuh terhadap pesan neneknya dan
melanjutkan sekolahnya.
Hingga pada satu titik,
Yorick kecil tidak sanggup lagi menahan derita. Ia minggat dan memilih hidup luntang-lantung
di jalan. Akan tetapi, justru kehidupan baru ini memberikannya segudang
pelajaran kehidupan.
Meski keras dan penuh
tempaan, ia bisa berkenalan dan belajar dari banyak orang. Kehidupan jalanan
pula yang mempertemukannya dengan para sahabat sejati, yang setia menunggu
walaupun dirinya sempat nyaris mati.
Api semangat Yorick untuk
terus belajar tidak pernah padam meski serba kekurangan. Kecintaan dan
kegigihannya belajar ilmu komputer membuat ia sanggup bertahan hidup secara
mandiri. Ia percaya, hanya dengan ilmulah ia bisa menaklukan dunia.
Mengawali karier sebagai
pekerja servis komputer serabutan, Yorick bertransformasi menjadi pemrogram IT andal. Keberaniannya dalam mengambil berbagai keputusan penting—meski terkadang
tanpa disertai pertimbangan matang—menjadikannya seorang pebisnis jempolan.
Niatnya untuk menaklukan
dunia tetap teguh sejak dulu. Yorick tidak pernah menyerah meski bisnisnya
pernah merugi 320 ribu Dollar AS lantaran sistem yang dibuatnya untuk klien,
sukses dibobol peretas. Ia tetap tabah, bertanggung jawab, dan gigih mencari
akal agar bisnisnya tetap berjalan dan impiannya tidak pupus di tengah jalan.
Jiwa pemenang tercipta
ketika bangkit dari ribuan kekalahan. Pesan inilah yang tersaji nyata pada
novel ini, khususnya ketika pembaca telah merampungkan tiga per empat bagian
buku.
Cerita kepedihan yang
awalnya sangat pekat, lambat laun berubah menjadi rentetan kemenangan yang
melegakan. Manisnya rasa ini kemudian berlangsung hingga titik terakhir kelar
ditaja.
Menurut opini saya pribadi,
ada lima alasan mengapa Yorick
patut menambah deretan koleksi novel kalian. Silakan cermati infografis berikut
ini.
Pertama, Yorick adalah novel yang dilematis
sekaligus inspiratif. Kisahnya akan melekat erat di hati pembaca
novel bergenre mellow, sekaligus
menjadi pemantik api semangat bagi yang gemar mencari motivasi lewat sajian
literasi.
Dalam novel ini, banyak momen
yang akan menumpahkan air mata pembaca. Beberapa di antaranya adalah saat
Yorick menjadi petugas upacara, perjuangan Yorick kecil menjadi asisten rumah
tangga, kematian Jaung, hingga tentu saja, kepergian Sang Nenek tercinta.
Sebaliknya, pembaca juga
akan terinspirasi dengan kisah sukses Yorick dalam menaklukan dunia. Misalnya,
kesuksesan melanjutkan sekolah seorang diri, keberhasilan mendapatkan BMW E36
keluaran tahun 1993, hingga puncaknya, kemenangannya dalam menciptakan coding cryptocurrency untuk klien Rusia.
Alhasil, pembaca Yorick akan larut dalam lintasan emosi
yang bertumpu pada dua fondasi rasa berbeda: kesedihan dan semangat. Untungnya,
Kirana pintar dalam menyatukan keduanya.
Kedua, alur cerita yang bikin penasaran. Kirana
dengan cerdas menggunakan alur flashback.
Pembaca akan diseret maju-mundur di antara dua negara dan masa, yakni Saint
Petersburg di Rusia untuk masa kini, serta Ciamis dan Bandung di Indonesia
untuk masa lalu.
Sejak membuka halaman
pertama, saya langsung enggan menutup buku lantaran selalu diusik dengan rasa
penasaran dan ingin tahu. Ringan, cepat, dan tidak basa-basi. Saya berani
menjamin, pembaca akan sanggup menyelesaikan Yorick setebal 336 halaman dalam waktu singkat tanpa takut merasa
tersiksa atau terbebani.
Ketiga, teknik pelataran yang apik. Pembaca
akan menikmati keindahan Saint Petersburg yang tergambar jelas dalam deretan
kata. Sebaliknya, pembaca pun akan bergidik tatkala membayangkan betapa
kerasnya perempatan jalan di bilangan Bandung Utara. Setelah rampung membaca, saya
berani bertaruh, pembaca juga pasti tertarik untuk mencari letak Panjalu lewat
Google Map.
Dari sisi suasana, budaya Sunda
sangat kental mewarnai novel ini. Banyak pepatah Sunda tempo dulu yang
dihidupkan kembali oleh sosok Nenek Encum. Kebodoran
(kejenakaan) dialog berbahasa Sunda antara Yorick dan kawan-kawannya, tidak
jarang mengundang gelak tawa.
Namun demikian, bukan
berarti novel ini tidak bisa dinikmati oleh pembaca non-Sunda. Tanpa terkesan
menggurui, dengan cergas Kirana menuturkan makna dari setiap aksara berbahasa
Sunda, langsung pada alinea selanjutnya.
Keempat, kaya kata-kata mutiara. Bagi pembaca
yang suka mengumpulkan kata-kata mutiara, Yorick
adalah salah satu novel yang patut dimiliki. Berbagai petuah Sunda khas lisan Nenek
Encum bisa dijadikan rujukan sekaligus panutan untuk menumbuhkan motivasi di
dalam diri.
Selain itu, Kirana juga
membungkus Yorick dengan balutan kata-kata
puitis. Umumnya ditampilkan sebagai pengantar pada awal bab. Tidak jarang,
Kirana juga menampilkan kalimat puitis sebagai penarik kesimpulan pada akhir
bab. Menurut saya, ini yang menjadikan cecap Yorick terasa begitu melekat di hati pembaca.
Kalau tidak percaya, simak
kepandaian Kirana dalam menggambarkan sosok Nenek Encum lewat untaian kata-kata
berikut.
“Atas nama cinta-Nya, utuh dan penuh memberi, ia setia ada, menyiapkan kedua bahunya untuk melindungi Yorick yang dianggap sebagian orang sebagai anak bungsunya.” ~ Yorick, halaman 105.
Terakhir, diangkat dari kisah nyata. Jujur
saja, buku ini sebenarnya biografi yang dikemas dengan cara yang unik: novel. Sosok
Yorick benar-benar ada di antara kita, seperti halnya Nevsky Prospekt yang bisa
kita temui di dunia nyata. Fakta ini tentunya semakin menyentuh hati pembaca,
sebab kisah yang ditera bukanlah fiksi belaka.
Pada bagian akhir novel, terdapat
opini yang ditulis oleh enam orang terdekat Yorick. Mereka bercerita mengenai
sosok Yorick dari kacamata mereka. Alhasil, pembaca pun jadi ingin tahu, siapa
figur Yorick yang sebenarnya? Ketiadaan foto atau gambar Yorick di novel ini
dipastikan akan membuat pembaca semakin penasaran.
Tiada gading yang tak
retak. Begitu pula dengan Yorick.
Meski kisahnya sungguh apik dan inspiratif, di mata saya, ada tiga kelemahan mendasar
yang berpotensi membuat pembaca merasa tidak nyaman.
Pertama, penokohan peran pendukung yang terasa
dangkal. Beberapa tokoh pendukung, yang menurut saya
penting, hanya diulas sepintas lalu.
Pak Harna dan Bu Harna,
misalnya. Tidak jelas, mengapa mereka begitu membenci dan tega menyiksa Yorick.
Padahal, Yorick menjalani tugasnya sebagai asisten rumah tangga dengan baik.
Meskipun kerap melakukan kesalahan kecil, tetap saja Yorick tidak pantas
diganjar hukuman “diikat di pohon cemara”. Pasti ada penyebabnya.
Menurut saya, Pak Harna dan
Bu Harna adalah figur yang cukup sentral. Sebab Yorick menghabiskan tiga tahun
di kediaman keluarga Harna. Saya menduga, di rumah ini pula Yorick melewati
masa akil balig. Pasalnya, Yorick berhasil melanjutkan studinya dari SD ke SMP sewaktu tinggal bersama keluarga Harna.
Akil balig adalah salah
satu momen penting dalam tumbuh kembang anak. Apa yang dirasakannya pada saat
itu, sudah pasti akan membentuk karakter dan kepribadiannya di masa depan.
Maka, interaksi Yorick dan
keluarga Harna tidak bisa dipandang sebelah mata. Andai saja Kirana lebih gigih
mengurai karakter keluarga Harna, pastilah pembaca akan mendapat kisah yang
lebih utuh dan mendalam.
Contoh figur sentral lainnya
yang ‘kurang’ mendapat perhatian lebih adalah Tia. Alasannya jelas, Tia pernah
menjadi kekasih Yorick. Kisah cinta mereka tak berlanjut karena Tia memutuskan Yorick
secara sepihak, lantas menikah dengan pria lain. Batin siapa pun yang berada di
posisi Yorick, pasti terguncang.
Sayang, sosok Tia tidak
digambarkan dengan lugas. Ia diperkenalkan Kirana sebagai seorang agamis dari
keluarga sederhana. Itu saja. Padahal saya yakin, apabila digali lebih dalam,
kisah cintanya dengan Yorick pastilah akan menjadi bumbu-bumbu drama, yang niscaya
menjadikan novel ini lebih menarik.
Kedua, momen krusial yang terkesan datar. Ada
dua momen krusial dalam novel ini yang diuraikan ala kadarnya. Pertama, pertemuan Yorick dengan kedua orangtua
kandungnya. Dua kali Yorick dikisahkan bertemu dengan orangtuanya. Dua kali
pula Kirana menuturkan dengan cara yang biasa-biasa saja.
Pertemuan pertama dengan
Papanya yang berlangsung di rumah Pak Jaya, hanya mendapat tempat satu setengah
halaman (156—157)! Saya sengaja mengakhiri kalimat terakhir dengan tanda seru
(!) lantaran benar-benar terkejut. Ini harusnya bisa menjadi momen klimaks di
tengah perjalanan cerita. Bagaimana mungkin hanya satu setengah halaman?
Baiklah. Bagaimana dengan
pertemuan kedua, yang kali ini dihadiri pula oleh Mama Yorick? Jawabannya, sama
saja. Kirana menggambarkan momen kunci itu sebanyak dua halaman saja (177—178).
Tidak lebih. Dan ini membuat saya benar-benar kecewa.
Tadinya saya berpikir, pertemuan
Yorick dengan orangtuanya bisa menjelaskan asal-usul Yorick. Mengapa ia
dititipkan pada Nenek Encum sejak berumur satu tahun? Apa alasan orangtua Yorick
berpisah? Tapi sudahlah. Toh, kita tidak akan pernah menemukan jawabannya.
Kedua,
kepergian Nenek Encum. Sang Nenek adalah cinta sejati Yorick. Berkat
kasih sayang, tuntunan, dan nasihatnya, Yorick tumbuh menjadi pribadi yang
gigih dan pantang menyerah. Namun ketika sampai pada bab Kepergian Nenek, lagi-lagi saya kecewa.
Betapa tidak, kepergian
orang nomor satu di hati Yorick itu hanya mendapat tempat 4 halaman saja
(237—240). Bandingkan dengan bab terakhir yang mendapat tempat hingga 15
halaman, padahal ‘hanya’ berisi percakapan antara Yorick dan para sahabatnya.
Jauh, Mba Kirana!
Alih-alih merasa sedih dan
menderita, Yorick malah lebih terlihat terkejut dan menyesal ketika mendengar
kematian Nenek Encum. Jujur saja, saya lebih merasa sedih ketika membaca Yorick
memakan paha Jaung tanpa sengaja, dibandingkan dengan narasi kematian Nenek
Encum. Sayang sekali.
Sebenarnya, tutur cerita
yang tampil pada bagian-bagian awal novel terasa lebih menyentuh. Temponya
lebih pelan dan kiasannya lebih dalam. Penggunaan alur maju-mundur (flashback) pun terasa sangat pas dan
mengena.
Entah mengapa, saya merasa
Kirana terburu-buru saat menyelesaikan paruh terakhir novel. Sehingga polesan
pada dua momen krusial di atas terasa sangat kurang. Seperti baru menyelesaikan
draft, kemudian langsung tayang tanpa
dilakukan swasunting terlebih dahulu. Apakah karena diburu tenggat waktu?
Terakhir, kaidah berbahasa Indonesia yang
masih kurang. Selain untuk Mba Kirana, kritik yang terakhir
saya tujukan pula kepada Key Almira selaku editor.
Meski terlihat sederhana,
kesalahan yang terjadi, menurut saya, adalah buah dari seringnya menyepelekan
kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Novel adalah salah satu media
bagi pembaca untuk belajar bahasa Indonesia. Bila sampai ditiru dan dianggap
benar, maka akibatnya sangatlah fatal.
Seharusnya, kesalahan ini
bisa direduksi dengan rajin membaca KBBI. Terutama bagi editor yang tugasnya
menyaring naskah hingga matang sebelum naik cetak. Oke. Supaya lebih jelas,
izinkan saya mengurainya dalam bentuk poin-poin.
a.
Penggunaan
kata yang keliru:
- Menakhlukan (hlm.
2), seharusnya menaklukan. Sebab kata dasarnya bukan takhluk, melainkan takluk.
Kesalahan yang sama juga terjadi pada kata turunannya seperti penakhluk
(hlm. 196), dan menakhlukannya (hlm. 229).
-
Mesjid (hlm.
152), seharusnya masjid.
- Dipungkiri (hlm.
178 & 286), seharusnya dimungkiri.
Sebab kata dasarnya bukan pungkir, melainkan mungkir.
- Aktifitas (hlm.
245 & 269), seharusnya aktivitas. Sebab aktivitas
diserap dari kata berbahasa Inggris yaitu activity, bukan actifity.
b.
Kata
yang seharusnya ditulis terpisah:
-
Dimana (hlm. 2, 236, dan 237),
seharusnya di mana.
-
Diantaranya (hlm.
2), seharusnya di antaranya. Contoh yang benar ada di hlm. 6 & 95.
-
Kemana (hlm. 6), seharusnya ke
mana.
-
Diaplikasi (hlm.
7), seharusnya di aplikasi.
-
Satu persatu (hlm.
72, 88, dan 125), seharusnya satu per satu.
- Kapanpun (hlm.
91), seharusnya kapan pun. Partikel “pun” ditulis serangkai hanya pada 12 kata
berikut: adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun,
biarpun,
kalaupun,
kendatipun,
maupun,
meskipun,
sekalipun,
sungguhpun,
dan walaupun.
Selain 12 kata tadi, partikel “pun” harus ditulis terpisah.
c.
Kata
yang seharusnya ditulis serangkai:
-
Multi kultur (hlm.
7), seharusnya multikultur.
-
Para normal (hlm.
229), seharusnya paranormal.
-
Di undang (hlm.
268), seharusnya diundang.
-
Di jodoh-jodohkan (hlm.
270), seharusnya dijodoh-jodohkan.
d.
Kata
yang tidak perlu dicetak miring:
- Spontan (terjadi berulang kali,
contohnya pada hlm. 14 & 16). Kata “spontan” tidak perlu dicetak miring
karena merupakan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah atau asing.
e.
Kesalahan
akhiran –kan pada kata yang diakhiri huruf /k/:
-
Memantikan (hlm.
3), seharusnya memantikkan.
-
Ditampakan (hlm.
53), seharusnya ditampakkan.
-
Menunjukan (hlm.
53), seharusnya menunjukkan.
-
Menundukan (hlm.
60), seharusnya menundukkan.
-
Menyejukan (hlm.
71), seharusnya menyejukkan.
-
Menaikan (hlm.
161), seharusnya menaikkan.
-
Menampakan (hlm.
178), seharusnya menampakkan.
-
Menaikan (hlm.
182 & 197), seharusnya menaikkan.
-
Memabukan (hlm.
229), seharusnya memabukkan.
f.
Salah
tik (typo):
-
Speetboad (hlm.
17), seharusnya speedboat.
-
Setidakya (hlm.
29), seharusnya setidaknya.
-
Tersengal-senga (hlm.
117), seharusnya tersengal-sengal.
-
Menggganti (hlm.
267), seharusnya mengganti.
Mengingat cukup banyaknya
kesalahan yang terjadi, maka saya menyarankan agar novel ini diedit kembali
pada cetakan selanjutnya. Tujuannya ada dua, yaitu supaya lebih nyaman di mata
dan tidak menyesatkan pembaca. Sayang sekali apabila substansi novel yang sungguh
memikat, harus ternodai gara-gara kesalahan yang sangat sepele.
Akhir kata, semoga Mba
Kirana dan Key Almira bisa menerima kritik membangun ini dengan lapang dada. Tiada
maksud saya selain meningkatkan kualitas literasi di Negeri kita tercinta.
Ada satu pelajaran berharga
yang bisa kita petik dari novel ini, yaitu sifat Yorick yang tegar bak karang
di lautan. Semangat ini pantas ditiru oleh generasi milenial untuk meraih
kesuksesan. Supaya bangsa ini bisa terus maju dan disegani dunia. Oleh
karenanya, Yorick pantas dibaca oleh
siapa saja yang memerlukan suntikan motivasi.
Akhir kata, saya menilai Yorick pantas diganjar nilai 7 dari
skala 10. Mengapa tidak 8 saja? Alasannya sederhana. Apabila kesalahan
berbahasa Indonesia diperbaiki pada cetakan selanjutnya, jangankan 8, nilai 9
pun akan saya beri! Selamat membaca!
***
Artikel ini diikutsertakan
dalam lomba Blog Review Yorick yang diselenggarakan oleh Novel Yorick.
23 komentar: