Gelembung
air mata sanak famili sontak pecah tatkala jasad Suriyanto (24) dan Rizal (18)
tiba di rumah duka. Isak tangis dan jeritan anggota keluarga memilukan batin setiap
warga yang mendengar. Pasalnya, mereka benar-benar tak menyangka bahwa sepasang
kawan akrab itu harus menemui ajalnya lantaran jerat narkoba.
Semalam,
Suriyanto dan Rizal kompak berpamitan. Mereka hendak menghadiri pesta ulang
tahun salah seorang teman di sebuah kafe. Sayangnya, mereka kebablasan. Laporan
polisi menyebutkan bahwa mereka kejang-kejang selepas mengonsumsi pil koplo dan
menenggak miras. Meski sempat dilarikan ke Rumah Sakit Nene Malommo, nyawa
keduanya tetap tidak tertolong.
Bagi
keluarganya, kematian dua pemuda asal Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, itu menyisakan
rasa malu dan kepedihan yang amat mendalam. Bagi Indonesia, lagi-lagi, ini
adalah sebuah narasi kekalahan yang patut dijadikan pelajaran. Ya, kekalahan kita
melindungi masa depan anak bangsa dari ancaman narkoba.
***
Prolog di atas hanyalah
salah satu dari sekian banyak kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Kita pun
paham, sebagian besar kisahnya pasti berujung mengenaskan. Kalau tidak menjadi
pesakitan di panti rehabilitasi atau mendekam di hotel prodeo, maka pelakunya akan
terancam kehilangan masa depan. Tidak sedikit pula yang harus merenggang nyawa akibat
overdosis. Jelas, ini merupakan tamparan keras bagi kehidupan berbangsa.
Bila kita tilik datanya,
nyatanya memang demikian. Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan jumlah
pengguna narkoba di Indonesia telah mencapai 5,1 juta orang—paling banyak
dibandingkan negara lain di Asia. Sayangnya, sekitar 40% di antaranya adalah
pemuda. Umumnya dari kalangan pelajar tingkat SMA dan mahasiswa.
Lantas, mengapa pemuda
sangat rentan mengonsumsi narkoba? BNN dalam Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2018 menjelaskan
alasannya.
Sebagian besar (64%) mengaku
hanya ingin tahu atau sekadar coba-coba. Sedangkan 16,80% di antaranya menjawab
ingin bersenang-senang dengan narkoba. Menuruti bujukan teman (6,60%) dan stres
menghadapi masalah pribadi (5,60%) menjadi alasan berikutnya mengapa generasi
milenial tertarik mengonsumsi narkoba.
Data di atas menyajikan seutas
benang merah di hadapan kita: narkoba tidak ubahnya penyakit menular.
Penyalahguna narkoba tidak menggunakan barang haram sendirian. Persis seperti
kasus Suriyanto dan Rizal, narkoba pada umumnya dikonsumsi secara
beramai-ramai. Pencandu biasanya mengajak serta Pemula, sedangkan Pemula menghasut
mereka yang belum pernah mencoba. Awalnya sekadar ikut-ikutan, lama-kelamaan
menjadi kebiasaan.
Jika boleh jujur, ada dua faktor
utama mengapa jerat narkoba sulit dibendung oleh generasi muda. Pertama, harga yang terjangkau. Beberapa
jenis narkoba dijual dengan harga yang sangat murah. Tidak perlu menjadi anak
orang kaya untuk mengonsumsi narkoba. Bahkan, beberapa di antaranya dibanderol
setara dengan harga gula-gula. Bukankah sudah sering kita mendengar berita peredaran
narkoba yang menyerupai permen di kalangan pelajar?
Kedua,
mudah didapat. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Kriminal 2018 menyatakan bahwa penyalahgunaan/pengedaran
narkoba merupakan jenis tindak kriminal yang perkembangannya paling pesat. Pada
2018, pangsa jumlah desa/kelurahan yang memiliki tindak kriminal narkoba
mencapai 14,99%, atau meningkat dua kali lipat dibanding 2014 yang tercatat
7,22%. Bandingkan dengan tindak kriminal umum lainnya. Kasus pencurian,
misalnya, pangsanya ‘hanya’ meningkat 3,96% pada rentang periode yang sama.
Seperti tidak pandang bulu,
penyebaran narkoba juga relatif merata di seluruh provinsi. Masih bersumber dari
data yang sama, ada lima provinsi yang memiliki tindak kriminal
penyalahgunaan/pengedaraan narkoba tertinggi, yakni Sumatra Barat (37,73%),
Riau (36,43%), DKI Jakarta (34,46%), Kalimantan Selatan (33,62%), dan Sumatra
Utara (29,27%). Hal ini membuktikan minimnya hambatan para penyalahguna untuk
memperoleh barang haram tersebut.
Alhasil, kombinasi kedua
faktor di atas menjadikan narkoba tumbuh subur di Indonesia. Didukung oleh
permintaan yang seakan tiada habisnya, para pengedar narkoba seperti mendapat
angin segar untuk terus menunjukkan tajinya.
Faktanya, jumlah kasus
penyalahgunaan narkoba memang terpantau meningkat. BNN melaporkan, terdapat
64.378 tersangka kasus penyalahgunaan narkoba sepanjang 2017. Jumlah ini
meningkat 6,89% dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 60.226
tersangka. Data tersebut merupakan kombinasi dari seluruh kasus narkoba yang
ditangani oleh BNN dan Polri.
Setali tiga uang, jumlah
pelaku kejahatan narkoba dari kalangan pemuda juga turut meningkat. Pada 2017, jumlah
tersangka kasus kejahatan narkoba pada rentang usia 16—24 tahun mencapai 19,27%
dari total jumlah tersangka—meningkat 0,51% dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Artinya, generasi milenial tidak hanya ditargetkan menjadi konsumen,
tetapi juga dijadikan alat untuk menyebarkan barang haram tersebut.
Sajian fakta di atas seakan
mengonfirmasi pernyataan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
Putu Elvina. Ia mengatakan, anak-anak rentan dijadikan kurir oleh oknum
pengedar narkoba. Sepanjang 2017, KPAI mencatat setidaknya ada 22 kasus anak
yang menjadi kurir narkoba dan 46 kasus anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkoba.
Jelas, fenomena ini sangatlah
berbahaya dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab biar bagaimanapun, masa
depan bangsa berada di setiap pundak pemuda. Merenggut masa depan generasi muda
dengan narkoba sama halnya dengan menghancurkan masa depan bangsa.
Maka, peredaran narkoba di
kalangan pemuda harus segera dihentikan. Bukan saja dari sisi suplai, tetapi
juga dari sisi permintaan. Sebab Indonesia bebas narkoba adalah cita-cita kita
bersama. Surplus demografi pada 2045 yang diprediksi akan membawa Indonesia
menjadi macan dunia, tidak akan terwujud apabila borok narkoba masih mengaga.
Oleh sebab itu, ada satu
pertanyaan yang tersisa. Bagaimanakah cara membebaskan pemuda Indonesia dari
jerat narkoba? Artikel ini akan mencoba mengurai jawabannya.
Menumpas narkoba di
kalangan pemuda memang bukan pekerjaan rumah yang sederhana. Dibutuhkan
kegigihan, kesabaran, keseriusan, waktu, dan peran serta seluruh pemangku
kepentingan.
Penegakan hukum oleh Polri
dan BNN yang didasari Undang-Undang Nomor 35/2009 adalah satu hal. Di sisi
lain, upaya pencegahan dan rehabilitasi korban juga tidak bisa dikesampingkan. Maka,
saya berpendapat setidaknya ada empat hal yang patut kita lakukan.
Pertama, meningkatkan pelibatan keluarga. Sebagai pranata sosial dengan lingkup yang
paling sederhana, keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam upaya
menumpas narkoba. Bahkan, keluarga seharusnya menjadi benteng pertahanan
pertama dan paling utama dalam melindungi anak bangsa dari jerat narkoba.
Karakter anak sejatinya
dibentuk oleh anggota keluarga, khususnya orangtua. Kasih sayang, bimbingan, pengawasan,
dan didikan orangtua akan membentuk pola pikir seorang anak. Pola asuh yang
benar akan membentuk kepribadian anak yang benar pula. Sehingga meminimalisasi
risiko terjerumusnya anak ke dalam lembah hitam narkoba.
Sebaliknya, anak yang
dibesarkan dengan pola asuh yang kurang baik akibat perceraian atau kekerasan
dalam rumah tangga, misalnya, akan merusak karakter anak. Alhasil, anak menjadi
enggan tinggal di rumah, lantas mencari kasih sayang dan penghiburan semu di
luar rumah. Kalau sudah begini, anak menjadi rentan terkena risiko pergaulan
bebas. Pada kondisi inilah, berbagai barang haram, termasuk narkoba, akan berpotensi
masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan anak.
Maka, keseriusan orangtua dalam
mendidik anak menjadi hal yang utama. Mau tidak mau, suka tidak suka, orangtua
harus mempelajari seluk-beluk narkoba. Mulai dari jenisnya, sumber
peredarannya, dampak hukumnya, hingga bahayanya bagi anak-anak. Tujuannya hanya
satu, supaya para orangtua bisa mendidik anaknya untuk menjauhi narkoba, apa
pun alasannya.
Kedua, pendidikan antinarkoba harus
ditingkatkan. Kita patut bersyukur bahwa Kemdikbud dan BNN
telah sepakat untuk memasukkan materi bahaya penggunaan narkoba ke dalam
kurikulum di seluruh jenjang pendidikan. Kesepakatan itu dituangkan dalam Nota
Kesepahaman yang ditandatangani kedua belah pihak pada 19 Juli 2018.
Namun demikian, kita tidak
boleh puas sampai di sana. Sebab, belum semua sekolah bisa memasukkan materi
pendidikan antinarkoba ke dalam kurikulumnya.
Agar bisa diterapkan secara
lebih masif, maka dasar hukum pendidikan antinarkoba harus lebih ditingkatkan. Bukan
sekadar Nota Kesepahaman, melainkan produk hukum yang derajatnya lebih tinggi.
Seperti Peraturan Menteri Pendidikan, Peraturan Pemerintah, atau bahkan
Undang-Undang.
Jikalau upaya memberantas
narkoba adalah prioritas utama bangsa ini, maka cita-cita menciptakan
Undang-Undang Pendidikan Antinarkoba bukanlah isapan jempol semata. Sebab lingkungan
sekolah adalah hal yang terpenting setelah keluarga. Di sekolah, setiap anak
akan mempelajari segala hal. Di sekolah pula anak semestinya mendapatkan
pendidikan antinarkoba yang cukup dan memadai.
Ketiga, koordinasi lintas otoritas. Upaya
pemberantasan narkoba sejatinya bukan hanya menjadi tugas Polri dan BNN,
melainkan seluruh perangkat negara. Masing-masing otoritas tentu memiliki
segudang keterbatasan. Baik dari sisi sumber daya manusia maupun anggaran. Agar
hasilnya semakin optimal, seluruh otoritas harus bahu-membahu dalam memberangus
akar narkoba dari Bumi Pertiwi.
Di ranah sosialisasi,
misalnya. Peran Kominfo tidak bisa dikesampingkan. Sebagai otoritas komunikasi
di negeri ini, Kominfo bisa membuat konten mengenai bahaya narkoba untuk
seluruh penduduk Indonesia. Contohnya dengan cara mengirim pesan singkat ke setiap
nomor pengguna ponsel aktif.
Untuk menjangkau kalangan
milenial, iklan layanan dalam format video kekinian patut menjadi pertimbangan.
Mari kita bayangkan. Seandainya konten sosialisasi antinarkoba dibuat sedahsyat
iklan promosi Asian Games 2018—yang menampilkan Presiden Joko Widodo mengendarai
sepeda motor, maka sudah tentu akan menjadi viral. Cara seperti ini akan sangat
efektif untuk meningkatkan kesadaran (awareness)
setiap warga negara mengenai dampak negatif narkoba.
Di bidang penindakan dan
pemberantasan, koordinasi antara aparat desa atau kelurahan dengan kepolisian
menjadi kunci keberhasilan. Bila diperlukan, pembentukan satgas antinarkoba di
tingkat desa/kelurahan—yang beranggotakan warga dan anggota polisi, dapat
menjadi alternatif jawaban untuk menutup pintu peredaran dan transaksi narkoba.
Dengan begitu, tugas polisi dalam memetakan jaringan narkoba dapat lebih cepat
dan tepat.
Terakhir, optimalisasi upaya rehabilitasi. Tidak semua penyalahguna narkoba harus
mendapat hukuman pidana. Ada yang dipenjara atau dihukum mati karena berperan
sebagai pengedar, ada pula yang mesti direhabilitasi lantaran menjadi pencandu.
Jika tindakan represif terhadap narkoba dianggap penting, maka upaya
rehabilitasi pun semestinya serupa.
Sayangnya, jumlah pusat
rehabilitasi narkoba di Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 150 unit.
Padahal, jumlah pencandu narkoba diperkirakan mencapai 5,1 juta orang.
Sebagai gambaran, kapasitas
pusat rehabilitasi sekelas Balai Besar Rehabilitasi milik BNN di Lido Bogor
saja, hanya dapat menampung sekitar 450 pasien. Dengan demikian, pembangunan
pusat rehabilitasi narkoba harus tetap menjadi agenda sesuai dengan jumlah pencandu
narkoba di masing-masing daerah.
Selain jumlah yang
terbatas, stigma negatif yang beredar di kalangan masyarakat tentang pencandu
narkoba juga membuat pasien enggan dirawat di pusat rehabilitasi. Padahal, pencandu
narkoba berbeda dengan pengedar narkoba. Mereka sama seperti pasien atau
pesakitan biasa, yang membutuhkan sokongan batin dari berbagai pihak agar
sembuh total. Termasuk dari anggota keluarga dan masyarakat.
Ada juga yang enggan
mengunjungi pusat rehabilitasi lantaran takut biayanya mahal. Padahal, itu
salah besar.
Seluruh pusat rehabilitasi
yang dikelola oleh BNN bebas biaya alias gratis. Sejak hari pertama pasien
dirawat inap hingga dibolehkan rawat jalan atau sembuh total, seluruh biaya
menjadi beban anggaran negara. Informasi inilah yang tidak banyak diketahui
masyarakat sehingga proses penyembuhan pasien menjadi berjalan lambat. Korban pun
rentan menjadi pencandu aktif kembali.
Maka, sejalan dengan upaya
yang ketiga, sosialiasi mengenai pusat rehabilitasi juga harus dilakukan secara
masif. Mulai dari lokasi, fasilitas, rekam jejak (track record), hingga informasi bebas biaya harus disebarkan
seluas-luasnya. Lagi-lagi, untuk menjangkau kalangan pemuda atau kaum milenial,
konten yang kreatif, kekinian, dan jauh dari kata membosankan haruslah menjadi
prasyarat yang tidak boleh dialpakan.
Dengan melakukan keempat
cara tersebut, kita patut optimis memandang masa depan bangsa. Narkoba memang
seperti virus yang bisa menghinggapi diri setiap pemuda. Namun, haram hukumnya
apabila kita menyerah begitu saja. Gerakan pemuda antinarkoba sejatinya
merupakan perjuangan yang tidak mengenal kata akhir. Sebab tipu daya narkoba
bisa mengancam siapa saja dan dari mana saja.
Maka, sudah saatnya kita
bergandeng tangan dan menyatukan langkah kaki. Ingat, musuh kita hanya satu,
dan itu bukanlah Sang Pencandu. Lawan kita adalah segala jenis narkoba yang
melesap ke dalam sendi-sendi kehidupan dan mengancam masa depan. Saya, Anda,
dan kita semua, mesti lantang meneriakkan frasa berikut: “Bebaskan pemuda dari
jerat narkoba!”. Itu saja. [Adhi]
***
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel Gema Anti Narkoba 2019 yang diselenggarakan
oleh Bakesbangpol DKI Jakarta, dan berhasil meraih Juara Harapan 2.
Badan Narkotika Nasional. 2018. Executive Summary Survei
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2018. Jakarta: Badan Narkotika
Nasional.
Badan Narkotika Nasional. 2018. Indonesia: Narkoba dalam
Angka Tahun 2017. Jakarta: Badan Narkotika Nasional.
Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Kriminal 2018.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Detik.com. 2018. Intermeso Kepala Balai Besar
Rehabilitasi BNN Mohamad Ali Azhar: Tingkat Kambuhnya Kecil [daring]
(https://x.detik.com/detail/intermeso/20180409/Tingkat-Kambuhnya-Kecil/,
diakses tanggal 19 April 2019).
Fajar.co.id. 2018. Usai Konsumsi Pil Koplo, Dua Pemuda di
Sidrap Tewas Operdosis [daring] (https://fajar.co.id/2018/12/01/usai-konsumsi-pil-koplo-dua-pemuda-di-sidrap-tewas-operdosis/,
diakses tanggal 19 April 2019).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2018. KPAI Catat Anak
Dimanfaatkan Jadi Kurir Narkoba [daring]
(www.kpai.go.id/berita/kpai-catat-anak-dimanfaatkan-jadi-kurir-narkoba, diakses
tanggal 19 April 2019).
Koran Sindo. 2017. 40% Pengguna Narkoba Pelajar &
Mahasiswa [daring] (https://nasional.sindonews.com/read/1257498/15/40-pengguna-narkoba-pelajar-mahasiswa-1510710950,
diakses tanggal 19 April 2019).
Republika Online. 2018. Anak Muda Pengguna Narkoba
Terbanyak di 2018 [daring] (https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/12/20/pk106n430-anak-muda-pengguna-narkoba-terbanyak-di-2018,
diakses tanggal 19 April 2019).
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia.
8 komentar: