Masih
lekang dalam ingatan kisah manis mudik Lebaran beberapa bulan silam. Lewat
gambar dan cuitan di media sosial, warganet girang bukan kepalang lantaran
waktu tempuh mudik yang jauh berkurang.
Bila pada
tahun-tahun sebelumnya pemudik mesti “tersiksa” berhari-hari, kini dalam
hitungan jam mereka sudah tiba di kampung halaman untuk merayakan Idulfitri. Ya,
itu semua berkat tol Trans Jawa dan Trans Sumatra yang sudah beroperasi.
***
Kendatipun tahun ini saya
tidak tergabung dalam barisan pemudik, cerita tentang lancarnya perjalanan
mudik Lebaran akhirnya sampai juga ke telinga. Selain dari viralnya berita di
media sosial, adalah paman saya yang menceritakan pengalamannya menikmati mudik
Lebaran lewat jalan tol Trans Jawa.
Bertolak dari Jakarta, ia
hanya membutuhkan waktu sekitar 7 jam untuk sampai di Semarang. Itu pun sudah
termasuk dua kali istirahat dan isi bensin di rest area. Menurutnya, jalan terasa lebih lengang. Kepadatan
kendaraan pun terasa jauh berkurang.
Apa yang dialami paman saya,
ternyata juga dirasakan oleh mayoritas pemudik di Pulau Jawa. Heru Sadmiko,
misalnya. Kepada Detik (30/5/2019),
ia mengaku hanya membutuhkan 9 jam untuk tiba di Magetan, Jawa Timur.
Berangkat dari Jakarta pada
pukul 14.30, Heru sudah bisa keluar tol Ngawi pada pukul 22.30. Kepadatan hanya
terjadi sesaat di ruas Tol Cikunir. Selepas itu, ia bisa memacu laju mobilnya
hingga 100 km per jam. Ia pun bersyukur bisa berkumpul dengan keluarga tercinta
dalam kondisi tubuh yang lebih fit.
Heru tidak salah. Ia memang
pantas bersyukur. Sebab apa yang ia alami sangat jauh berbeda dengan apa yang
terjadi pada mudik Lebaran tahun 2016.
Seperti dilaporkan Tribunnews, waktu tempuh yang dibutuhkan
pemudik untuk melintasi rute Jakarta—Surabaya bisa mencapai lebih dari 30 jam karena
macet parah di sepanjang jalan. Dalam kondisi normal saja, setidaknya
dibutuhkan 18 hingga 21 jam perjalanan.
Kondisi itu serupa dengan
apa yang dirasakan oleh pemudik yang bertolak menuju Sumatra. Sebelum tol Trans
Sumatra dibuka, rata-rata lama tempuh rute Lampung—Palembang mencapai 10 sampai
dengan 12 jam. Pada mudik Lebaran kemarin, jarak tempuhnya bisa dipersingkat
hingga 2 kali lipat.
Sekarang, pemudik bisa
bernapas lebih lega. Dengan adanya tol Trans Jawa dan Trans Sumatra, aktivitas mudik
menjadi lebih lancar, nyaman, dan menyenangkan.
Dan yang paling penting, tidak
ada lagi kemacetan parah yang menelan korban jiwa seperti halnya tragedi kelam
yang terjadi di pintu keluar gerbang tol Brebes tiga tahun silam.
Enam Gagasan Bangun Infrastruktur
dan Transportasi untuk Masa Depan
Tol Trans Jawa dan Trans
Sumatra hanyalah dua dari sekian banyak proyek infrastruktur dan transportasi
yang dibangun Pemerintah. Ada ratusan proyek lain yang sudah diresmikan maupun
akan beroperasi dalam beberapa tahun mendatang. Mulai dari jalan raya, kereta
api, bandara, hingga moda raya terpadu (MRT).
Infrastruktur dan
transportasi memang menjadi fokus pembangunan Pemerintah selama lima tahun
terakhir. Sebab sudah bukan rahasia lagi bahwa untuk menjadi bangsa yang maju
dan berdaya saing, pembangunan kedua sektor tersebut haruslah ditempatkan pada
prioritas nomor wahid.
Bila diibaratkan dengan
tubuh manusia, infrastruktur bagaikan urat nadi. Tugasnya menjadi saluran penghubung
seluruh bagian tubuh. Melalui urat nadi, sari pati nutrisi bisa ditransfer secara
utuh, sehingga membuat badan sehat dan kuat. Tatkala urat mampat atau terhambat,
maka tubuh pun akan sakit dan menderita.
Transportasi juga sama
pentingnya. Apabila infrastruktur adalah urat nadi, maka transportasi adalah
darah yang berfungsi sebagai kendaraan yang mengalirkan zat-zat penting yang
dibutuhkan tubuh. Tatkala aliran darah tidak lancar, maka tubuh pun tidak akan mampu
beraktivitas normal.
Dalam konteks pembangunan
bangsa, infrastruktur dan transportasi memiliki peran yang sangat penting. Oleh
karena itu, melalui artikel ini, saya akan mengurai enam gagasan mengenai pembangunan
infrastruktur dan transportasi untuk masa depan Indonesia.
Saya berharap, gagasan ini tidak
hanya berguna bagi kemajuan bangsa, tetapi juga akan membuat aktivitas
keseharian kita menjadi lebih mudah dan nyaman.
Apa saja? Tanpa berpanjang
lebar, mari kita kuliti satu per satu.
1. Jalan Tol demi Pembangunan
Ekonomi yang Lebih Merata
Harus diakui, ketimpangan pembangunan ekonomi
adalah tantangan yang mesti dihadapi oleh bangsa ini. Sebab sejak dulu kala,
pembangunan memang selalu difokuskan di Pulau Jawa. Itulah mengapa, kita pun
mengenal dengan istilah Jawa sentris.
Alhasil, ekonomi bangsa selalu bertumpu
pada pulau Jawa. Faktanya memang demikian. Data terkini menyebutkan, pada
triwulan pertama 2019, sumbangsih Pulau Jawa terhadap capaian Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional mencapai lebih dari setengahnya, yakni 59,03 persen.
Kondisi tadi tentunya menimbulkan
kesenjangan. Kita pun bisa merasakan dampaknya secara nyata. Kalau boleh jujur,
sarana dan prasarana penunjang di Jawa tentu lebih lengkap dibandingkan dengan kawasan
timur Indonesia. Mulai dari jalan raya, transportasi, pendidikan, hingga wahana
hiburan dan rekreasi.
Maka, satu-satunya cara untuk mengatasi
ketimpangan tersebut adalah pembangunan infrastruktur dan transportasi yang lebih
merata. Pembangunan Jalan Tol Manado—Bitung di Sulawesi Utara, misalnya.
Ketika sudah beroperasi nanti, arus
orang maupun barang antara Manado dan Bitung akan semakin lancar. Dengan
begitu, geliat ekonomi antardaerah akan semakin berkembang, sehingga menjadikan
daerah yang tadinya tertinggal berubah menjadi sumber pertumbuhan
ekonomi baru.
Kesenjangan antara Jawa dan daerah
lainnya pun akan semakin terpapas. Dengan demikian, saudara kita yang tinggal
di daerah terluar juga bisa menikmati manisnya buah pembangunan yang lebih adil
dan merata.
2. Kereta Api untuk Menghemat
Waktu dan Biaya Ekonomi
Sebagaimana kita ketahui, pertumbuhan
kendaraan yang tidak terkontrol adalah penyebab utama kemacetan. Di Jakarta
saja, setidaknya ada 1.500 unit kendaraan baru yang mengaspal di berbagai ruas
jalan ibukota. Fakta tersebut diungkap oleh Kepala Dinas Perhubungan DKI
Jakarta, Andri Yansyah, kepada Kompas
(13/9/2018).
Kemacetan membawa dampak negatif bagi
kita semua. Mulai dari waktu tempuh yang lebih lama, pencemaran udara, memburuknya
kesehatan akibat stres, hingga biaya ekonomi yang lebih tinggi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, sebagaimana
dilansir Bisnis Indonesia, mengatakan
bahwa total kerugian yang harus dialami oleh warga Jakarta akibat kemacetan
mencapai Rp 100 triliun per tahun. Angka tersebut terutama berasal dari
banyaknya energi kendaraan yang tersia-siakan akibat kemacetan.
Pembangunan infrastruktur dan
transportasi adalah salah satu solusi mengatasinya. Mari kita ambil contoh
pembangunan MRT Jakarta. Proyek senilai Rp 16 triliun tersebut menghemat waktu puluhan
ribu warga yang beraktivitas di ibukota. Dari stasiun bundaran HI hingga Lebak
Bulus yang berjarak 16 kilometer, dapat ditempuh dalam waktu sekitar 17 menit
saja.
Dari sisi biaya, keberadaan MRT juga akan
sangat menghemat biaya transportasi warga. Untuk rute yang sama, warga hanya
perlu mengeluarkan uang senilai Rp 14.000 saja. Bila dibandingkan dengan
kendaraan umum lainnya, ongkos MRT jauh lebih terjangkau.
Agar bangsa Indonesia semakin maju, kesuksesan
MRT Jakarta harus ditiru oleh daerah padat penduduk lainnya. Misalnya Surabaya,
Semarang, Bandung, bahkan Sulawesi. Keberadaan kereta api yang menghubungkan
antardaerah dalam provinsi di kota-kota tersebut, tentu akan meningkatkan
mobilitas dan mengurangi waktu tempuh, sehingga struktur biaya pun akan semakin
efisien.
3. Meningkatkan
Konektivitas Antardaerah di Papua
Di beberapa daerah, khususnya di
kawasan timur Indonesia, konektivitas masih menjadi masalah. Minimnya jalan
beraspal, kurangnya jembatan, hingga kontur geografis yang tak seragam,
seringkali menjadi penyebab terhambatnya distribusi barang dan transportasi orang.
Lagi-lagi, pembangunan infrastruktur
dan transportasi adalah satu-satunya cara untuk meningkatkan konektivitas
antardaerah.
Di Papua, misalnya. Sebelum jalan Trans
Papua beroperasi, warga Papua di Merauke harus mengarungi jalan berlumpur dan
berbukit untuk bisa sampai ke Boven Digul. Waktu tempuhnya pun bisa
berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Dengan adanya jalan Trans Papua, kini waktu
tempuh menjadi hanya 8 jam saja. Jarak yang ditempuh juga relatif lebih pendek,
yakni menjadi 422 kilometer. Ketimbang harus mengitari bukit dan gunung yang
berliku, tentu warga Papua akan semakin mudah beraktivitas dengan hadirnya jalan
Trans Papua.
Namun demikian, jalan Trans Papua tidak
bisa berdiri sendirian. Ia harus didukung dengan pembangunan jalan penunjang
yang menghubungkan antardistrik yang masih terisolasi oleh hutan dan pegunungan.
Dengan adanya jalan penunjang,
simpul-simpul isolasi pun akan terbuka. Warga yang tinggal di pegunungan atau
lereng perbukitan menjadi lebih mudah berpindah tempat dalam rangka memenuhi
kebutuhannya. Alhasil, tiada lagi daerah tertinggal atau terbelakang.
4. Tingkatkan Kualitas
Jalan dalam rangka Menekan Laju Inflasi
Salah satu penyebab naiknya harga
barang dan jasa, atau dengan kata lain inflasi, adalah ketidakseimbangan antara
permintaan dan penawaran. Dalam banyak kasus, ketidakseimbangan tersebut adalah
buah dari kelangkaan barang.
Ketika distribusi barang terhambat
akibat kendala infrastruktur dan transportasi, harga pun bisa menjadi lebih
mahal. Contohnya seperti ini. Akibat jalan Trans Sulawesi rusak, distribusi cabai
rawit dari Gorontalo ke Palu menjadi terhambat. Alhasil, harga cabai rawit di Palu
akan menjadi lebih mahal akibat kekurangan pasokan.
Nah, kenaikan harga cabai rawit akan
memicu kenaikan harga makanan lainnya di Palu. Misalnya ayam goreng, nasi
goreng, ataupun ragam kudapan lain yang berbahan baku cabai rawit. Kalau sudah berlaku
masif, harga barang nonmakanan juga akan meningkat dan memicu inflasi.
Untuk mengatasi kelangkaan barang,
pembangunan infrastruktur dan transportasi mesti menjadi yang terdepan. Sebab semakin
baik kualitasnya, maka akan semakin lancar pula jalur distribusi barang
sehingga tidak terjadi kenaikan harga akibat kelangkaan pasokan.
5. Bangun Infrastruktur
dan Transportasi sebelum Berinvestasi
Investasi adalah salah satu
komponen penggerak ekonomi. Salah satu dampak positif yang dihasilkan dari kegiatan
investasi adalah terciptanya lapangan pekerjaan.
Pembangunan smelter di Kolaka, Sulawesi Tenggara misalnya. Kegiatan investasi
ini akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi warga sekitar ataupun daerah
lainnya. Adanya pekerja smelter baru akan
menimbulkan kebutuhan ekonomi baru di Kolaka, misalnya perumahan, rumah makan,
hingga hiburan.
Kebutuhan tadi membuka peluang ekonomi
bagi warga sekitar. Mereka akan membuka usaha untuk memenuhi kebutuhan para
pekerja smelter di daerahnya. Dalam
kerangka yang lebih luas, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara pun akan
semakin meningkat.
Nah, pembangunan infrastruktur dan
transportasi sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan investasi tadi. Sebab smelter tidak akan beroperasi optimal apabila
kondisi jalan berantakan. Tidak akan ada investor yang berani membangun kawasan
permukiman bila tiada moda transportasi yang memadai.
Sebaliknya pun demikian. Tatkala kondisi
jalan sudah beraspal dan moda transportasi beragam, maka investor pun akan dengan
senang hati berinvestasi tanpa harus diminta berkali-kali.
6. Infrastruktur Tapal
Batas Menjaga Kedaulatan Bangsa
Ada cerita kelam yang harus kita telan
lantaran kurangnya memerhatikan pembangunan infrastruktur dan transportasi di
masa lalu. Cerita itu adalah berpisahnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari
pangkuan Bumi Pertiwi.
Pada 17 Desember 2002, International Court of Justice (ICJ)
memutuskan dua pulau yang terletak di selat Makassar tersebut menjadi daerah
teritorial Malaysia. Apa sebab? Dibanding Malaysia, kita kurang memerhatikan
pembangunan di daerah tersebut. Ukurannya sederhana. Ringgit lebih dicintai oleh
warganya ketimbang Rupiah.
Bila tidak ingin terulang
kembali, pembangunan infrastruktur dan transportasi, khususnya di daerah
terluar, haruslah menjadi prioritas utama. Untungnya, Pemerintah sadar akan hal
ini.
Sebagai contoh, Pemerintah
telah mengoperasikan bandara Miangas di Sulawesi Utara sejak 12 Maret 2017.
Asal tahu saja, Miangas adalah sebuah pulau kecil yang terletak di ujung paling
utara Nusantara. Berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina.
Bandara yang menelan biaya
hingga Rp 275 miliar tersebut tidak hanya berperan sebagai penghubung antara
Manado dan Miangas, tetapi juga sebagai pos lintas batas yang senantiasa dijaga
oleh pasukan pertahanan kita.
Apa yang dilakukan Pemerintah
di tapal batas utara mesti dilakukan juga di bagian lainnya. Misalnya di Pulau
Sebatik, Kalimantan Utara. Pasalnya, pulau ini benar-benar terbagi menjadi dua
bagian.
Seluas 246,61 km2
menjadi bagian Indonesia, sedangkan 187,23 km2 sisanya menjadi
wilayah Malaysia. Bila tidak ingin bernasib sama dengan Sipadan dan Ligitan, pembangunan
infrastruktur di Sebatik harus diutamakan. Tujuannya tentu saja bukan hanya untuk
kepentingan ekonomi semata, melainkan untuk menjaga kedaulatan bangsa.
Jadilah Heroes of The Nation Bersama DJPPR
Kemenkeu RI
Keenam gagasan di atas, sejatinya
menjelaskan betapa pentingnya pembangunan infrastruktur dan transportasi bagi kemajuan
bangsa Indonesia. Dalam membangun keduanya, Pemerintah pun tidak tinggal diam.
Melalui payung hukum Peraturan
Presiden (Perpres) No.56/2018, ada 227 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang
mesti diselesaikan. Mulai dari pembangunan jalan tol, bandara, perumahan,
energi, air minum, irigasi, hingga telekomunikasi. Dari sekian banyak proyek
tersebut, lebih dari setengahnya merupakan proyek infrastruktur dan
transportasi.
Lantas, dari manakah sumber
pembiayaan pembangunan infrastruktur dan transportasi
tersebut? Jawabannya, bisa dari Pemerintah, swasta, kerja sama keduanya, atau peran
dari individu warganya.
Dari sisi Pemerintah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah salah satu instrumen utama
yang digunakan untuk membangun bangsa, termasuk di bidang infrastruktur dan
transportasi. Bila kita tilik datanya, infrastruktur memang menjadi prioritas
utama pembangunan.
Di dalam struktur APBN
2019, anggaran infrastruktur mencapai Rp 415 triliun, atau setara dengan 17
persen anggaran belanja negara. Setiap tahun anggaran infrastruktur meningkat.
Sebagai gambaran, jumlah anggaran infrastruktur tahun ini meningkat hampir dua
kali lipat dibandingkan anggaran infrastruktur pada APBN 2015, yang tercatat sebesar
Rp 256,1 triliun.
Untuk merealisasikan pembangunan
infrastruktur dan transportasi yang masif, cepat, dan tepat sasaran, Pemerintah
tidak bisa bertumpu pada anggaran penerimaan negara (terdiri dari pajak,
penerimaan negara bukan pajak, dan hibah) saja, tetapi juga harus bertumpu pada
pembiayaan anggaran, yang sebagian besarnya berupa utang negara.
Meski dibiayai dari utang,
kita tidak perlu khawatir. Sebab pengelolaan risiko utang
Pemerintah sangat baik. Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
(DJPPR) selalu mengedepankan prinsip kehatian-hatian
dalam mengurus utang negara.
Artinya, utang Pemerintah benar-benar
dimanfaatkan untuk mengakselerasi kegiatan produktif, salah satunya yakni pembangunan
infrastruktur. Bukan kegiatan konsumtif yang tidak memberikan dampak bagi pertumbuhan
ekonomi bangsa.
Nah, agar tidak salah paham
dalam memahami konsep utang Pemerintah, silakan tonton video yang diambil dari
saluran YouTube milik DJJPR ini, ya!
Selain pengalokasian utang yang
selektif, keseimbangan utang Pemerintah pun terus dijaga. Salah satu ukurannya
adalah rasio utang terhadap PDB yang selalu berada jauh di bawah batas maksimal
60 persen sebagaimana amanat UU Keuangan Negara.
Pada akhir Juni 2019, rasio
utang Pemerintah terhadap PDB berada di angka 29,50 persen. Bila dibandingkan
dengan negara berkembang lainnya, rasio utang terhadap PDB kita juga masih jauh
di bawah.
Jika kita kupas lebih dalam
lagi, komponen utama utang Pemerintah adalah Surat Berharga Negara (SBN). Sampai
dengan medio Juni 2018, pangsanya mencapai 81,4 persen dari total utang
Pemerintah.
Nah, sebagai warga negara
yang baik, kita pun bisa jadi pahlawan bangsa (heroes of the nation) dalam mendukung pembangunan negeri dengan
berinvestasi melalui SBN. Seperti baru-baru ini, Pemerintah menerbitkan SBN
bertajuk Saving Bonds Retail (SBR)
Seri 007.
Melalui SBR007, kita sudah bisa
berinvestasi dengan nominal kecil, yakni mulai Rp 1 juta saja. Selain aman karena
dijamin oleh negara, tingkat pengembalian SBR007 juga sangat menguntungkan. Dan
yang paling penting, kita juga bisa turut serta membangun infrastruktur dan
transportasi.
Apabila tidak sempat
berinvestasi di SBR007, jangan khawatir. Sebab panggilan untuk berkontribusi lewat
SBN akan selalu datang kembali. Dikutip dari Bisnis.com, DJPPR menyebutkan akan ada lima instrumen SBN Ritel lagi
yang akan terbit pada sisa tahun ini, yakni Sukuk Tabungan Seri 005 (ST005),
SBR008, Obligasi Republik Indonesia Seri 016 (ORI016), dan ST006.
Jadi, tunggu apa lagi? Segera
berinvestasi di SBN dan jadilah pahlawan dalam pembangunan bangsa ini. Sebab
kalau bukan kita, lantas siapa lagi? [Adhi]
***
Artikel ini diikutsertakan
dalam Kompetisi Blog DJPPR bertema Heroes of The Nations yang
diselenggarakan oleh DJPPR.
Setiap gambar yang
ditampilkan dalam artikel ini diolah secara mandiri oleh penulis. Seluruh
sumber foto telah dicantumkan pada masing-masing gambar. Sedangkan video bersumber
dari saluran YouTube milik DJPPR.
Nah ini, yang teriak-teriak bahwa pemerintah utang ke luar negeri melulu coba dibantu dengan membeli SBN. Saya sendiri awalnya tahu tentang SBN dari Instagram Jouska. Tapi tentu saja saya lebih pro ke yang syariah (sukuk). Semoga kelak Indonesia bisa maju dan mandiri dengan cara dari masyarakat, untuk masyarakat kembali.
ReplyDeleteBenar, Kak. Setuju. Terima kasih sudah mampir. Salam hangat.
Delete