Rokok ibarat
candu. Meski sudah tahu ragam penyakit yang ditimbulkannya, produk olahan
tembakau ini masih saja diburu. Celakanya, mereka yang berpenghasilan pas-pasan
justru lebih rentan menjadi pencandu. Bagi mereka, makan nomor dua, udud nomor
satu.
***
Merokok
membunuhmu. Dua kata yang kita jumpai pada kemasan rokok itu sepertinya
menjadi kalimat yang paling sering diabaikan di negeri ini. Sebab kalau tidak,
lantas mengapa masih ada 90 juta penduduk yang masuk ke dalam barisan ahli isap?
Otak saya hanya menemukan
satu kata yang cocok untuk menjawab pertanyaan di atas secara ringkas: candu. Ya,
semakin diisap, semakin melaju.
Candu pula yang menjadi
alasan perokok menafikan berbagai ancaman penyakit ketika mengulum batang rokok.
Kendatipun harus berhadapan dengan risiko tertinggi sekalipun: kematian.
Memang benar, perokok tidak
akan mati seketika lantaran mengisap sebatang rokok. Hanya saja, merokok itu
ibarat menabung penyakit. Zat-zat beracun yang dikandung rokok akan
terakumulasi di dalam tubuh. Nah, zat-zat itulah yang akan menyebabkan perokok
rentan terserang beragam jenis penyakit.
Mula-mula, perokok akrab
dengan batuk dan sakit tenggorokan. Bila terus diabaikan, lama-lama penyakit
kelas berat akan datang menerjang. Sebut saja kanker paru-paru, jantung, stroke, asma, diabetes, impotensi, dan
infeksi saluran pernapasan.
Celakanya, deretan penyakit
di atas adalah penyebab kematian utama di Indonesia. Survei The Lancet bertajuk
Global Burden of Disease Study 2016
menyebut penyakit jantung, stroke,
dan diabetes adalah tiga penyakit perenggut nyawa terbanyak di Indonesia.
Setali tiga uang, data The Global Cancer Observatory (2018) juga
menempatkan kanker paru-paru pada urutan pertama penyebab kematian di antara
jenis kanker lainnya. Yang menarik, hasil kajian RS Persahabatan menyatakan hampir
seluruh kasus kanker paru (87 persen) disebabkan oleh kebiasaan merokok.
Kalau uraian data di atas
belum juga membuat Anda tercengang dan berhenti merokok, maka baca baik-baik
kalimat berikut ini.
Rokok membunuh 230 ribu penduduk Indonesia setiap tahun.
Tentu saja, kalimat di atas
bukan opini saya, melainkan hasil kajian Badan Litbangkes 2015. Kalimat yang sebenarnya
sangat mudah dicerna, namun tidak serta-merta membuat perokok menjadi jera.
Andaipun bahaya merokok disuguhi
secara apik lewat infografis di bawah ini, belum tentu pula mereka lantas sadar
diri.
Akan tetapi, perokok aktif
memang sudah semestinya sadar diri. Sebab sebagaimana kita ketahui, bahaya rokok
tidak hanya mengancam perokok aktif saja, tetapi juga perokok pasif.
Asap rokok yang diembuskan
ke udara, tidak serta-merta hilang begitu saja. Butuh waktu sekira 2,5 jam
untuk membersihkan udara yang terpapar asap rokok hingga benar-benar steril.
Andaipun tidak terlihat, jangan
sangka asap rokok sudah minggat. Sering kali bekas asap rokok tidak terdeteksi
oleh hidung. Ini yang sangat berbahaya. Studi Kemenkes pada 2014 membuktikan, risiko
kanker paru pada perokok pasif 25—30 persen lebih tinggi dibanding mereka yang
tidak terpapar asap rokok.
Yang paling disayangkan,
jumlah perokok usia muda juga terus bertambah. Data Riskesdas 2018 menyatakan
prevalensi merokok pada remaja (usia 10—18 tahun) semakin meningkat, dari 7,2
persen menjadi 9,1 persen.
Padahal, kita tahu bahwa
generasi muda adalah cermin masa depan bangsa. Di pundak mereka tersemat
berjuta harapan dan cita-cita bangsa. Kalau generasi muda dinodai dengan budaya
merokok, lantas, mau dibawa ke mana nasib bangsa ini?
Makan Nomor Dua, Udud Nomor Satu
Upaya pembatasan konsumsi
rokok terus bergulir. Mulai dari peringatan pada bungkus rokok yang lebih
keras, iklan rokok yang semakin terbatas, ruang publik bebas asap rokok yang
semakin luas, hingga aturan larangan merokok yang lebih tegas.
Berbagai daerah di
Indonesia, telah menerapkan aturan resmi demi meminimalisasi efek negatif dari
rokok, salah satunya adalah Kabupaten Karawang.
Ya, sejak 2016, Kota
Pangkal Perjuangan itu telah menerapkan aturan bebas rokok melalui Perda
No.5/2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Bebas Rokok.
Hanya saja, untuk
menjadikan Karawang benar-benar bebas asap rokok, Pemkab Karawang tampaknya
harus memberikan perhatian ekstra pada kelompok masyarakat miskin.
Pasalnya, data Susenas
2016—2017 mengatakan prevalensi merokok kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah meningkat lebih cepat dibandingkan masyarakat berpenghasilan lebih
tinggi. Dengan kata lain, rokok lebih banyak diisap oleh mereka yang berkantong
pas-pasan.
Sejalan dengan hal
tersebut, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) baru-baru
ini juga menemukan sebuah fakta menarik.
“Penerima bantuan sosial (bansos) berkorelasi positif dengan perilaku merokok. Efek tertinggi terjadi pada penerima Program Keluarga Harapan (PKH),” kata Dr. Renny Nurhasana, Manajer PKJS-UI, pada serial talkshow #putusinaja edisi ke-6 besutan Ruang Publik KBR yang digelar di Mercure Hotel Karawang, Rabu (14/08).
Lebih lanjut, Dr. Renny
juga mengatakan penerima PKH memiliki peluang 11 persen lebih tinggi untuk
merokok dibandingkan dengan non-penerima PKH. Rumah tangga penerima bansos disebutkan
mengonsumsi lebih banyak batang rokok dibandingkan dengan bukan penerima bansos.
Penerima program beras
sejahtera (rastra), misalnya, mengonsumsi 4,5 batang rokok per kapita per
minggu lebih tinggi dibandingkan dengan non-penerima rastra.
Alhasil, asupan nutrisi,
pendidikan, dan kesehatan keluarga perokok penerima bansos jauh lebih rendah
dibandingkan dengan keluarga penerima bansos yang tidak merokok.
Temuan PKJS-UI tersebut ibarat
dua mata pisau. Di satu sisi, fakta yang diungkap sangat berguna bagi pemangku
kepentingan, khususnya Pemerintah (baik pusat maupun daerah) dalam merumuskan
kebijakan antirokok yang lebih tepat sasaran.
Namun pada sisi lain, data
PKJS-UI sesungguhnya memaksa kita meringis sambil mengelus dada. Mengapa? Sebab
ternyata, bansos bukan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, melainkan
dipakai untuk membeli rokok!
Itu jelas sangat
menyedihkan. Makan nomor dua, udud
nomor satu. Sungguh keliru!
Kalau terus menerus
dibiarkan, masa depan Karawang bisa terancam. Sebab sedikitnya, ada 60 ribu
keluarga penerima PKH di daerah Bung Karno mempersiapkan kemerdekaan Republik
Indonesia 74 tahun silam itu.
Di atas semua itu, yang
paling menyedihkan adalah masa depan anak-anak dari keluarga kurang mampu
menjadi terancam. Maaf, itu memang fakta. Sebab orangtua mereka lebih memilih rokok
ketimbang memberikan pendidikan yang layak dan menjamin hidup yang lebih sehat.
Selamatkan Generasi Emas
Karawang dari Bahaya Rokok
Untuk menyelematkan
generasi emas Karawang dari bahaya rokok, sebenarnya Pemkab Karawang tidak
tinggal diam. Berbagai upaya sosialisasi telah dilakukan ke berbagai pihak,
mulai dari pelaku usaha hingga sopir angkutan kota.
“Kami juga ada regulasi yang melarang jalan-jalan protokol di seluruh Kabupaten Karawang untuk dipasangi baliho yang berkaitan dengan iklan rokok,” ujar Samsuri SIP MM, Asisten Daerah I Pemkab Karawang, masih dari acara talkshow Ruang Publik KBR bertema Selamatkan Generasi Emas Karawang dari Bahaya Rokok.
Pada acara talkshow yang disiarkan langsung melalui
100 radio jaringan KBR di seluruh Nusantara tersebut, Samsuri juga mengatakan, regulasi
tersebut belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) baru
diterapkan di beberapa lokasi tertentu saja.
Di pusat-pusat keramaian
seperti pasar tradisional, tempat makan kaki lima, atau terminal penumpang, masih
banyak ditemukan perokok yang bebas ke sana kemari menyulut batang rokoknya. Area
bebas asap rokok baru tersedia di tempat-tempat ber-AC seperti mal dan hotel.
Padahal, kata Samsuri lagi,
beleid larangan merokok tersebut telah dilengkapi dengan sanksi berupa denda. Bahkan,
dendanya pun tidak main-main: maksimal hingga Rp5 juta.
Hanya saja, belum adanya
satgas penegakan aturan larangan merokok menimbulkan celah bagi Pemkab Karawang
untuk menindak para perokok yang tidak taat aturan. Hal ini yang menjadi
catatan terpenting bagi Pemkab Karawang.
Meski begitu, aturan
larangan merokok di Karawang sebenarnya menunjukkan perkembangan yang positif,
terutama dari sisi peningkatan jumlah KTR. Dibanding tiga tahun lalu, KTR tumbuh
menjamur di seluruh daerah di Karawang.
“Selama tiga tahun (aturan
larangan merokok) digarap, sudah tampak hasil yang cukup baik. Dari 519 lokasi,
sebanyak 92 persen telah menegakkan aturan KTR,” kata Nurdin Hidayat, Plt.
Kadis Kesehatan Karawang.
Namun demikian, sebagai
implikasi dari pembentukan aturan, pelanggaran peraturan pasti akan selalu ada.
Oleh karena itu, terlepas dari jerat pasal dalam larangan merokok, hanya
kesadaran kitalah yang akan membuat Karawang benar-benar bebas asap rokok.
Tiga Saran untuk Karawang
Berangkat dari diskusi
publik hangat tersebut, saya berpendapat ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk
meminimalisasi bahaya rokok sekaligus menyelamatkan generasi emas Karawang dari
jeratan rokok.
Pertama, membentuk satgas antirokok sesegera
mungkin. Perda Kawasan
Tanpa Rokok dan Kawasan Bebas Rokok di Kawarang sudah berjalan selama tiga
tahun. Artinya, waktu yang diperlukan masyarakat untuk memahami isi Perda relatif
sudah cukup. Kini saatnya melakukan penegakkan secara tegas.
Untuk tahap awal, tidak
usah memikirkan denda. Jalani saja dulu. Buat perokok yang masih merokok di
sembarang tempat jera. Tegur, kemudian hasilnya dilaporkan ke publik lewat
media. Supaya masyarakat paham, merokok itu ada tempatnya, bukan di sembarang
tempat.
Selain itu, publikasi hasil
penindakan oleh satgas juga diperlukan sebagai bagian dari tata kelola
pemerintahan yang transparan. Dari sisi pelanggar, ketimbang denda, pengumuman pelanggaran
di ranah publik—termasuk media sosial—semestinya lebih menimbulkan efek jera.
Kedua, persempit akses rokok. Suka
atau tidak, banyaknya jumlah perokok didukung oleh mudahnya akses masyarakat
dalam membeli rokok. Semakin mudah membeli rokok, semakin banyak pula pencandu
rokok. Jika konsumsi rokok ingin dibatasi, maka batasilah akses rokok.
Pembatasan akses rokok bisa
dilakukan dengan berbagai cara. Larangan menjual rokok di daerah miskin,
misalnya. Hal ini akan meminimalisasi masyarakat berpenghasilan rendah untuk
merokok. Buatlah mereka kesulitan mengakses rokok, sehingga mereka akan
berpikir dua kali ketika ingin merokok.
Selain itu, pembatasan
akses rokok juga bisa dikaitkan dengan instrumen fiskal. Pajak ekstra,
misalnya. Pedagang, toko, atau pasar swalayan yang menjual rokok dikenai pajak lebih
tinggi ketimbang mereka yang tidak menjual rokok. Aturan ini akan membuat pelaku
UMKM berpikir dua kali untuk menjual produk rokok.
Terakhir, membangun pusat rehabilitasi rokok.
Ketika aturan sudah ditegakkan, hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah
merangkul para perokok agar bebas dari jerat candu nikotin. Ini sangat penting.
Sebab pencandu rokok perlu didukung agar benar-benar bebas dari rokok.
Dengan begitu, perokok yang
ingin bebas dari asap rokok benar-benar merasa dihargai dan dipedulikan. Mereka
bukanlah orang asing yang harus dicampakkan, melainkan korban candu yang perlu
diselamatkan. Jangan keliru.
Pusat rehabilitasi rokok
juga akan meminimalisasi kemungkinan mantan perokok untuk kembali menjadi
perokok aktif. Dan, tentu saja, meningkatkan kesehatan mantan perokok sehingga
mereka bisa meraih masa depan yang lebih baik—masa depan yang bebas asap rokok.
Namun demikian, perlu
diingat kembali bahwa ketiga langkah di atas hanyalah upaya meminimalisasi
bahaya rokok dari luar. Sekuat apa pun usahanya, kalau tidak didukung dari
tekad dan niat yang kuat dari dalam hati, tentu semuanya akan berakhir sia-sia.
Oleh karena itu, menurut
saya, cara terampuh berhenti merokok adalah dengan mengucapkan bismillah. Ucapkanlah dari hati yang
paling dalam. Ibarat mantan, buang bungkus rokok Anda sekarang juga dan jangan
diingat-ingat kembali.
Sebab kita tidak ingin masa
depan terbuang sia-sia dan menjumpai batu nisan dengan segera, bukan? [Adhi]
***
Artikel ini diikutsertakan
dalam KBR Blog Competition Edisi ke-6
bertema Selamatkan Generasi Emas Karawang
dari Bahaya Rokok.
Sumber foto yang
ditampilkan dalam artikel ini telah dicantumkan pada masing-masing foto. Sedangkan
olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.
Referensi:
[1] Siaran Diskusi Publik "Selamatkan Generasi Emas Karawang dari
Bahaya Rokok", akun Facebook Kantor Berita Radio (2019);
[2] Incidence, Mortality and Prevalence by Cancer Site in Indonesia, The Global Cancer
Observatory (2018);
[3] Global Burden of Disease Study 2016, The Lancet (2018);
[4] Hasil Utama Riskesdas 2018, Kementerian Kesehatan (2018); dan
[5] Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan
Kawasan Bebas Rokok, Pemerintah Kabupaten Karawang (2016).
Saat baca, rasanya kayak baca koran
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir, Mas. Salam hangat.
Delete