Apa yang terbetik di benak Anda tatkala
mendengar kata sawit? Biar saya tebak. Pasti minyak goreng, bukan? Ya, sawit memang
umum diolah menjadi minyak goreng—salah satu bahan yang wajib tersedia di dapur
para ibu ketika hendak memasak.
Namun, tahukah Anda bahwa manfaat sawit tidak
terbatas pada minyak goreng saja? Bahkan, sebenarnya hampir semua produk yang kita
temukan di pasar swalayan mengandung sawit. Mulai dari cokelat, mi, roti, mentega,
lipstik, hingga sabun mandi—semuanya ditopang oleh kebaikan minyak sawit.
Tanpa minyak sawit, selai cokelat akan cepat
mencair. Tiada minyak sawit, lipstik akan kehilangan daya pikat lantaran urung
mengilap. Sawit jugalah yang menjadikan tekstur mentega lebih padat dan tidak encer.
Nah, seluruh keutamaan tersebut menjadikan
sawit kian penting bagi kita. Apalagi, sejak dulu kala tanah Indonesia sudah
terkenal akan kesuburannya. Tidak kurang dari 14 juta hektare kebun sawit terhampar
dari Sabang sampai Merauke. Dari sanalah seluruh kearifan sawit bermula.
Melimpahnya produksi sawit nasional menjadikan
sawit tidak hanya menyuplai kebutuhan dalam negeri, tetapi juga seluruh dunia. IndexMundi
memproyeksi produksi sawit nasional akan mencapai 43 juta metrik ton pada 2019.
Asal tahu saja, jumlah itu setara dengan 56,94% suplai minyak sawit dunia.
Oleh karenanya, tidak ada satu pun negara di
dunia yang mampu menandingi produksi sawit Indonesia. Adapun Malaysia, yang
berada pada urutan kedua, produksi sawitnya tidak mencapai setengah produksi
sawit nasional. Makanya, tidak heran apabila sawit kemudian menjadi tulang
punggung ekspor nasional.
Sepanjang 2018 saja, pundi-pundi devisa yang
dihasilkan minyak sawit mencapai 16,53 miliar Dolar AS, tertinggi kedua setelah
batubara (23,97 miliar Dolar AS). Sumbangsih kelapa sawit terhadap ekspor
nonmigas juga tidak main-main, yakni mencapai 10,13%.
Tingginya produksi sawit nasional turut
membawa berkah pada penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Bappenas
menyebut setidaknya ada 16,2 juta penduduk yang menggantungkan rezekinya dari
industri kelapa sawit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata
lain, sekira 11,90% total tenaga kerja Indonesia bergantung pada sektor kelapa
sawit.
Itu berarti, pasang-surut industri sawit sangat
memengaruhi kondisi ketenagakerjaan nasional. Andai sawit kita diterpa isu
negatif, seperti kampanye hitam yang dilakukan Uni Eropa tiga tahun belakangan
ini, ekspor sawit berpotensi terhambat dan jutaan petani sawit terancam
kehilangan mata pencahariannya.
Oleh karena itu, upaya merawat kebaikan sawit
nasional perlu kita lakukan. Salah satunya dengan mendukung penggunaan
biodiesel B20 (bahan bakar dengan kandungan energi terbarukan sebesar 20%) untuk
menggenjot hilirisasi produk sawit, meningkatkan konsumsi dalam negeri, dan
mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
Langkah ini sejalan dengan amanat PP
No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam beleid tersebut, pemerintah
menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) ditingkatkan menjadi 23% pada
2025 nanti. Supaya dampak negatif energi fosil (polusi, efek gas rumah kaca,
hujan asam, dan pemanasan global) dapat diminimalisasi.
Hanya saja, upaya membangkitkan sawit nasional
juga perlu dilakukan secara cermat. Sebab kita tahu, besarnya potensi sawit
menjadikan sebagian kecil korporasi sawit gelap mata. Pembukaan lahan sawit dengan
cara membakar hutan, adalah contoh tindakan melanggar hukum dan harus kita
kecam.
Untung saja, pemerintah bertindak cepat. Melalui
Inpres No.8/2018, pembukaan lahan baru dihentikan untuk sementara waktu. Selain
itu, perizinan yang dikantongi korporasi sawit dievaluasi kembali. Langkah ini
tepat dan perlu kita dukung bersama.
Oleh karena itu, pilihan yang tersisa tinggal
satu: intensifikasi lahan sawit. Produktivitas sawit kita masih berada di
kisaran 2—4 ton per hektar. Padahal, jika dikelola dengan baik, potensinya bisa
dua kali lipat, yakni mencapai 8 ton per hektar.
Salah satu caranya adalah dengan melakukan
program penanaman kembali (replanting)
dan peremajaan sawit rakyat (PSR). Plasma sawit dan petani lokal juga harus
terus dibina agar target produksi bisa dicapai dalam waktu dekat.
Apabila dilakukan dengan optimal, maka #SawitBaik bukan lagi sekadar semboyan, melainkan sebuah keniscayaan. [Adhi]
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog
#BicaraSawit.
Foto dan gambar yang ditampilkan dalam
artikel ini bersumber dari koleksi pribadi, Pixabay, dan Gapki. Olah grafis
dilakukan secara mandiri oleh penulis.
Setuju...seperti yang sudah dipraktekan di Desa Dosan, saya juga sepakat kalau sawit yang sustainable iru bisa. Semoga #SawitBaik tetap berjaya ya Mas..amiin..
ReplyDeleteJangan lupa melipir ke blog ku ya ������
Desa Dosan keren banget ya, Mba. Bisa merawat kebaikan sawit tanpa mencederai lingkungan. Salam hangat.
DeleteIsu kebakaran hutan kemarin banyak yg mengaitkan dengan pembukaan lahan untuk kebun sawit, tp kalau menilik dr banyak kebaikan sawit rasanya gak boleh memandang semuanya dari sisi negatiif. Keputusannya diserahkan ke konsumen dengan memilih produk yg rspo sebagai sertifikasi produk yg mendukung sustainable palm oil dengan salah satu prinsipnya bertanggung jawab pada lingkungan
ReplyDeletedan konservasi kekayaan alam serta kanekaragaman hayati.hehehe
Kok jd panjang ya komennya. Mantaap mas alasannya semoga masing" dari kita bisa merawat kebaikan sains nasional. Suksesss lombanya mas 😁
Setuju sekali, Mba. Bukan sawitnya yang negatif, tetapi perilaku beberapa pihak yang mencederai lingkungan yang tidak baik. Karena itu kita wajib merawat kebaikan sawit nasional, tulang punggung ekspor Indonesia. Salam hangat.
DeleteTetangga-tetangga saya dan juga saudara saya di Kalimantan, kabarnya makmur karena sawit
ReplyDeleteKalimantan gudangnya sawit dan batubara. Terima kasih sudah mampir kemari, Mas. Salam hangat.
Delete