Gedung tua itu menunggu mati. Catnya
mengusam, terkelupas di segala sisi. Dahulu berdiri megah, kini tercampak
payah. Padahal, ratusan pilar di dalamnya menyimpan banyak kisah dan tutur
sejarah.
Kendatipun warga Yogyakarta mengenalnya
sebagai bangunan nestapa, Gedung Thomas Jefferson semestinya menjadi Cagar
Budaya Indonesia yang dirawat anak bangsa. Supaya keberadaannya tetap lestari
dan tidak musnah ditelan kala.
***
Batinku pilu melihat bangunan tiga lantai itu
berdiri lesu di hadapanku. Ingar-bingar jalan raya dan lalu-lalang pengendara
tak bisa menutupi raut kesedihan warga Jogja setiap kali melintasi Gedung
Jefferson.
Pikiranku melayang, mencoba mereka-reka ulang
peristiwa naas yang terjadi tepat 54 tahun lalu. Kala itu, sebagaimana
diberitakan media massa, gejolak politik dalam negeri memaksa mereka berpisah dengan
orangtua, pasangan, bahkan buah hatinya.
Untuk selamanya….
Pasca Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965
meletus, tentara gencar memburu anggota, simpatisan, hingga rakyat jelata yang
diduga punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga ke pelosok
Nusantara.
Kaum buruh dan petani paling sengsara. Lantaran
dicap dekat dengan partai terlarang itu, banyak di antara mereka yang ditangkap
dan disiksa. Benar atau tidak, itu urusan nomor dua. Yang penting jebloskan
saja dulu ke dalam penjara. Kira-kira begitulah perintah yang diterima dan
dijalankan para serdadu Orde Baru.
Jumlah tahanan yang begitu banyak membuat
tentara kewalahan. Bukan apa-apa, ruang tahanan milik polisi dan militer
jumlahnya sangat terbatas. Alhasil, berbagai bangunan milik negara, umumnya
warisan era penjajahan dulu, terpaksa beralih fungsi menjadi bilik interogasi
sekaligus penjara dadakan.
Tak jarang, warga menyebutnya sebagai “ruang
penyiksaan” lantaran jeritan para tahanan kerap terdengar dari balik dinding
gendung. Di Kota Pelajar, Gedung Jefferson di Jl. Pangeran Diponegoro digunakan
sebagai salah satu ruang tahanan selain Benteng Vredeburg.
Hartiti (82), warga Jogja, adalah salah satu
saksi tragedi Gedung Jefferson. Kepada Beritagar,
ia mengaku harus berpisah dengan suaminya, Hartanto Simin, yang kala itu
menjabat ketua Serikat Buruh Kereta Api. Simin ditangkap dan ditahan di Gedung
Jefferson lantaran organisasi yang diketuainya berafiliasi dengan PKI.
Hari demi hari berlalu. Demi menyambung
hidup, Hartiti terpaksa menjadi kuli Pasar Kranggan yang berlokasi tepat di
depan Gedung Jefferson. Hatinya teriris tiap kali mendengar isak tangis dan jeritan
yang keluar dari balik gedung berwarna putih itu. Ibu empat anak itu pun hanya
bisa berdoa, semoga teriakan yang ia dengar bukan berasal dari mulut suaminya.
Hingga satu waktu, Hartiti diizinkan penjaga
gedung untuk menemui suaminya. Kesempatan langka itu tidak disia-siakan.
Sedikit pakaian dan makanan lantas ia berikan kepada pepuja hatinya. Pertemuan
itu memantik sebuah harapan. Ia mengira, kebaikan hati penjaga pada hari itu
ialah pertanda bahwa suaminya akan dibebaskan dalam waktu dekat.
Sayangnya, harapan Harititi bertepuk sebelah
tangan. Selang beberapa hari, truk-truk militer datang menjemput para tahanan Gedung
Jefferson, membawa Simin entah ke mana. Simin tak pernah pulang. Sejak saat
itu, Hartiti tak pernah lagi mendapat kabar keberadaan suaminya.
Kisah pilu pada awal masa Orde Baru sebenarnya
bukanlah satu-satunya cerita sejarah yang dimiliki Gedung Jefferson. Pada masa
awal kemerdekaan dahulu, gedung yang dibangun untuk mengenang jasa Presiden
Amerika Serikat (AS) ke-3, Thomas Jefferson, difungsikan sebagai Perpustakaan
Kongres AS di Indonesia.
Kalangan pelajar, budayawan, bahkan lingkar keraton
banyak menimba ilmu di sana, terutama untuk mengenal lebih jauh tentang budaya
dan paham AS. Bak langit dan bumi dengan kondisi saat ini, Gedung Jefferson
faktanya pernah menjadi sasana warga Jogja untuk menimba ilmu pengetahuan.
Hanya saja, kedekatan Presiden Soekarno
dengan Uni Soviet, rival AS yang kala itu sedang menyebarluaskan paham komunis,
membuat Gedung Jefferson dialihfungsikan menjadi kantor tentara, sebelum
menjadi ruang tahanan dadakan pasca Gestok meletus.
Setelah kondisi politik dalam negeri mulai
stabil, Gedung Jefferson selalu bergonta-ganti fungsi. Pernah digunakan sebagai
markas polisi, pernah juga dibeli oleh pengusaha media lokal sebagai lokasi
produksi surat kabar. Soemadi Wonohito tercatat menjadi pemilik terakhir
sebelum akhirnya terbengkalai. Sekarang, hanya ada satu-dua angkringan dan
pedagang asongan yang berjualan di depan gedung tak berpenghuni itu.
Lantas, mengapa gedung sarat sejarah yang beralamat
di Jl. Diponegoro No.19 itu dibiarkan begitu saja? Entahlah. Mungkin warga
masih trauma dengan tragedi 1965. Tiga tahun lalu, Komisi Nasional (Komnas)
Perempuan pernah melempar wacana untuk mengalihfungsikan Gedung Jefferson menjadi Museum Peringatan Tragedi 1965.
Hanya saja, warga Yogyakarta yang tergabung
dalam Ormas Gerakan Bela Negara (GBN) menolak keras wacana tersebut. Pada
akhirnya, rencana Komnas Perempuan terpaksa dibatalkan dan nasib Gedung
Jefferson kini ibarat hidup segan mati pun tak mau.
Padahal, melihat muatan sejarah dan fungsinya
di masa lalu, sudah sepantasnya Gedung Jefferson menjadi salah satu Cagar
Budaya. Kalaupun tidak dikelola Pemerintah Pusat, bolehlah sampai di tingkat
daerah saja. Sebab sejatinya, Gedung Jefferson telah memenuhi segala syarat
untuk menjadi bangunan Cagar Budaya.
Sesuai Undang-undang (UU) No.11/2010, Cagar
Budaya didefinisikan sebagai warisan budaya bersifat kebendaan yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Cagar
Budaya kemudian dibagi menjadi lima jenis. Ada Benda, Bangunan, Struktur,
Situs, dan Kawasan.
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa Gedung
Jefferson semestinya menjadi Bangunan Cagar Budaya lantaran sarat akan nilai
sejarah. Baik ketika difungsikan sebagai perpustakaan maupun digunakan sebagai
penjara dadakan.
Bahkan, tidak berlebihan jika kita
menyebutnya sebagai khazanah Nusantara atau kekayaan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya Gedung Jefferson kita rawat bersama agar nilai
sejarah yang dikandungnya tidak musnah begitu saja.
Ingat, banyak pelajaran yang akan dipetik
oleh generasi mendatang ketika mempelajari sejarah bangsa, sekalipun kisahnya tidak
selalu berujung manis dan bahagia. Gedung Jefferson adalah satu dari sekian
banyak bangunan yang menyimpan pelajaran berharga di balik sejarah pilu yang
melatarinya. Kedudukannya, baik ditinjau dari urutan peristiwa maupun muatan
nilai sejarah, semestinya setara dengan Museum Lubang Buaya di Jakarta.
Fakta bahwa Gedung Jefferson berada tepat di
pusat kota juga tidak kalah memilukan. Pasalnya, hanya berjarak sekitar 150
meter dari sana, kita bisa menjumpai monumen ikonik, cagar budaya, sekaligus
simbol Kota Gudeg: Tugu Yogyakarta.
Berbanding terbalik dengan Gedung Jefferson,
Tugu Yogyakarta adalah contoh Cagar Budaya yang selalu terawat. Selain menandai
pusat kota, tugu yang dibangun oleh pemerintah Belanda pada zaman penjajahan
itu dikenal sarat estetika, baik dari sisi tampilan maupun tata letak.
Pasalnya, monumen yang juga dikenal dengan
nama Tugu Pal Putih itu menjadi titik tengah dari Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Sumbu ini adalah garis lurus tak kasat mata yang menghubungkan Laut Selatan, Keraton
Jogja, hingga Gunung Merapi. Menggambarkan perjalan hidup manusia dari lahir
hingga menemui ajalnya. Begitu pentingnya bagi sejarah dan budaya Yogyakarta,
Sumbu Filosofi bahkan telah diajukan menjadi salah satu warisan budaya dunia
melalui UNESCO sejak 2017.
Tugu Yogyakarta dan Gedung Jefferson, meski
sama-sama berpredikat warisan budaya, memiliki dua sisi yang jauh berbeda. Yang
satu dipuja-puja, yang lain dicampakkan begitu saja. Letaknya berdekatan,
tetapi nasibnya bagai Yin dan Yang.
Situasi ini tentu saja memberi pelajaran
berharga bagi kita: enggan merawat warisan budaya, alamat musnalah khazanah
Nusantara. Maka dari itu, pilihan yang tersisa hanya tinggal dua: rawat atau
musnah. Sebagai anak bangsa yang menjunjung tinggi budaya Nusantara, sudah barang
tentu pilihan kedua tidak akan kita terima begitu saja. Setuju?
Agar khazanah dan warisan budaya Nusantara
tidak musnah begitu saja, sudah sepatutnya kita turut aktif merawat Cagar
Budaya. Yang dimaksud dengan kata “merawat” di sini tidak terpaku pada upaya menjaga
fisik benda-benda budaya saja.
Akan tetapi, mempromosikan dan mendaftarkan
warisan budaya kepada Pemerintah juga bagian dari upaya merawat cagar budaya.
Oleh karena itu, paling tidak ada empat hal yang bisa kita lakukan.
1. Mengunjungi
Tujuan pelestarian Cagar Budaya salah satunya
ialah mewariskan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia. Maksudnya,
Cagar Budaya ada dan dilestarikan agar pengetahuan tentang benda budaya dapat
diestafetkan dari generasi ke generasi. Oleh karenanya, upaya paling sederhana yang
dapat kita lakukan adalah mengunjungi Cagar Budaya.
Museum Bank Indonesia di kawasan Kota Tua Jakarta,
misalnya. Dengan mengunjungi Cagar Budaya tersebut, kita bisa belajar banyak
tentang sejarah bank sentral, uang, dan perekonomian dari masa ke masa. Kita pun
jadi paham bagaimana perjuangan senior kita dahulu dalam menggantikan Gulden,
mata uang era Belanda, dengan Rupiah.
Dari sana, informasi dan pengetahuan tentang itu
semua dapat diketahui dan melekat pada setiap anak bangsa. Dampaknya, rasa
cinta terhadap Tanah Air dan Negara akan senantiasa terjaga.
2. Melindungi
Dalam konteks luas, upaya pelindungan Cagar
Budaya dilakukan melalui perawatan dan penjagaan terhadap benda-benda budaya
agar kelestariannya dapat senantiasa terjaga. Pelindungan Cagar Budaya dilakukan
dengan pengelolaan oleh Pemerintah Pusat, Daerah, maupun pihak yang diberi
kuasa. Singkat kata, Negara sebagai penguasa dan pemilik Cagar Budaya memiliki
kewajiban melindungi setiap Cagar Budaya.
Dalam tataran pragmatis, sebagai warga negara
kita juga bisa turut serta melindungi Cagar Budaya dengan tidak merusak benda-benda
budaya. Sederhananya, ketika sedang mengunjungi museum, candi, atau monumen budaya,
tata tertib dan aturan di sana wajib kita patuhi. Tidak mencoret-coret dan
merusak benda budaya, adalah bagian dari upaya melindungi Cagar Budaya.
3. Mempromosikan
Ketika urgensi atau pentingnya merawat Cagar
Budaya sudah melekat dalam diri, maka tugas selanjutnya adalah mempromosikan
Cagar Budaya. Pada lingkup paling sempit, kita dapat mengajak serta buah hati, kerabat,
ataupun kawan untuk ikut mengunjungi Cagar Budaya yang ada di sekitar kita.
Dalam tataran yang sedikit lebih luas, upaya
mempromosikan Cagar Budaya bisa dilakukan lewat media sosial. Foto atau gambar Cagar
Budaya yang kita ambil dapat diunggah di media sosial, termasuk memberikan
keterangan atau narasi yang tepat. Dengan begitu, warganet jadi tahu mengenai
keberadaan dan kisah sejarah yang melatari Cagar Budaya yang telah kita unggah.
Pada tataran Negara, upaya mempromosikan
Cagar Budaya dilakukan dengan membuat program prioritas. Candi Borobudur,
misalnya. Keajaiban dunia itu telah dimasukkan Pemerintah pada Program 10
Destinasi Bali Baru. Selain meningkatkan devisa negara, program ini juga
bertujuan untuk memperkenalkan warisan budaya Indonesia kepada wisman. Sebagai
warga negara yang baik, tentu saja kita wajib mendukung keberhasilan program
tersebut.
4. Mendaftarkan
Tahukah Anda bahwa setiap orang yang memiliki
dan/atau menguasai Cagar Budaya wajib mendaftarkannya kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota? Ya, itu adalah bunyi dari Pasal 29 UU No.11/2010 tentang Cagar
Budaya. Artinya, bilamana Anda menguasai benda yang diduga merupakan Cagar
Budaya, Anda wajib mendaftarkannya kepada Pemerintah.
Data Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya mengatakan
jumlah pendaftaran Cagar Budaya meningkat setiap tahunnya. Sejak 2013 hingga saat
ini, sudah ada 96.378 Cagar Budaya yang didaftarkan oleh masyarakat kepada negara.
Fakta ini menjelaskan bahwa gairah masyarakat dalam melestarikan Cagar Budaya sangatlah
besar.
Lantas, apa peran kita? Mudah saja. Bilamana
kita mengetahui keberadaan benda yang diduga kuat merupakan Cagar Budaya, maka
kita bisa melaporkannya kepada Pemerintah Daerah setempat. Seperti Gedung
Jefferson, misalnya. Warga Jogja dapat meminta Pemerintah Daerah agar bangunan
tersebut didaftarkan sebagai Cagar Budaya.
Prosesnya pun tidak sulit. Bila Anda memiliki
atau menguasai benda yang diduga merupakan Cagar Budaya, maka Anda cukup
mendaftarkannya secara daring pada laman https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/.
Upaya merawat Cagar Budaya adalah tugas
setiap warga negara. Sebab Cagar Budaya adalah khazanah Nusantara bermuatan
sejarah dan budaya yang tak ternilai harganya. Oleh karenanya, kunci sukses upaya
merawat Cagar Budaya adalah peduli. Tanpa kepedulian kita, Cagar Budaya akan tercampakkan
begitu saja, persis seperti nasib Gedung Jefferson.
Pada akhirnya, semua kembali kepada diri
kita. Apakah kita sudah cukup peduli akan warisan budaya bangsa? Ingat, Gedung
Jefferson hanya satu di antara sekian banyak Cagar Budaya yang terancam musnah.
Jika tidak kita rawat dari sekarang, lantas budaya apa yang akan kita wariskan
pada generasi mendatang? Maka dari itu, ayo kita jaga Cagar Budaya mulai dari sekarang!
[Adhi]
***
Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi
Blog Cagar Budaya Indonesia bertema “Rawat atau Musnah” yang diselenggarakan
oleh Kemendikbud dan Komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis. Seluruh sumber gambar yang
ditampilkan dalam artikel ini telah dicantumkan pada masing-masing gambar.
Sedangkan olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.
Ayo turut berpartisipasi pada Kompetisi Blog Cagar
Budaya Indonesia bertema “Rawat atau Musnah” juga!
Baca ceritanya miris sekali, kak. Seharusnya, jika memang dari pihak cagar budaya belum mengesahkan gedung jefferson sebagai bangunan bersejarah yang butuh dirawat. Setidaknya dari kita sendiri ikut mengunjungi. Dengan mengunjungi kita telah mencintai. Kalau sudah mencintai, sudah tentu akan melindungi.
ReplyDelete