Manusia pada dasarnya ialah makhluk
kinestesis. Kita harus terus bergerak bila ingin maju dan berkembang. Dalam
konteks yang lebih luas, kemajuan suatu bangsa sangat bergantung pada mobilitas
penduduknya. Oleh karenanya, pembangunan infrastruktur transportasi menjadi
kunci pemerataan pembangunan bangsa.
***
Indonesia adalah negara besar. Sangat besar
malah. Tidak ada satu pun negara di dunia yang punya lebih dari 17 ribu pulau,
selain Indonesia. Di satu sisi, kebesaran itu patut kita syukuri. Beragam
kekayaan alam terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote hingga
Miangas. Menjadi sumber rezeki bagi siapa pun anak bangsa yang berdiri di
atasnya.
Koes Plus, grup musik kenamaan pada era 70-an,
bahkan menyebut tanah kita adalah tanah surga. Sebegitu suburnya sampai-sampai tongkat
kayu dan batu bila ditanam pasti tumbuh jadi tanaman. Saya yakin kita semua
pasti hafal liriknya. Tak bisa dinafikan, tembang Kolam Susu ialah sekelumit bukti bahwa negeri kita memang dianugerahi
kekayaan alam yang melimpah oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Namun pada sisi lain, situasi itu juga
menjadi tantangan bagi pemerataan pembangunan bangsa. Sebab kita tahu, sejak
era penjajahan dahulu ekonomi Nusantara terpusat pada tanah Jawa. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) terkini menyatakan pangsa Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) pulau Jawa sekitar 60 persen dari nasional. Artinya, lebih dari setengah
ekonomi Tanah Air ditopang oleh pulau Jawa.
Untuk mengalirkan capaian ekonomi dari pulau Jawa
hingga ke seluruh daerah di Nusantara, mau tidak mau dibutuhkan interaksi
antarpelaku ekonomi. Hanya saja, menjalin konektivitas antardaerah, antarpulau,
antarkota bahkan antarkecamatan, tidak semudah membalik telapak tangan.
Membangun gedung sekolah di pulau Miangas, Kabupaten
Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, misalnya. Dibutuhkan semen, kayu, genting,
dan rupa-rupa bahan bangunan lainnya. Sementara kita tahu, di Miangas—pulau
paling utara di Indonesia dan berbatasan langsung dengan Filipina itu—tidak ada
industri bahan bangunan.
Maklum saja, jumlah penduduk pulau Miangas hanya
sekitar 678 jiwa. Sehari-hari, mayoritas warga yang mendiami pulau berukuran
3,15 km2 itu mengais rezeki sebagai nelayan. Jangan tanya soal bahan
bangunan. Mereka hanya tahu kapan laut surut dan bilamana laut pasang. Oleh
karena itu, material pembangunan gedung sekolah wajib didatangkan dari daerah
lain.
Nah, untuk mendatangkan bahan bangunan ke
Miangas, dibutuhkan infrastruktur dan moda transportasi yang memadai. Jika
tidak, anak-anak Miangas tidak bisa bersekolah dengan baik, sebaik mereka yang
berada di pulau Jawa. Akibatnya, pembangunan di sana tidak akan maju dan semakin
jauh tertinggal.
Untung saja, Pemerintah tidak tinggal diam.
Pada 12 Maret 2017, bandara Miangas resmi beroperasi setelah lima tahun
dibangun. Dengan nilai proyek sekitar Rp275 miliar, bandara ini menjadi tumpuan
sekaligus sumber pemerataan pembangunan di Miangas.
Selain aliran barang yang lebih lancar, pembangunan
bandara anyar membuka sumber ekonomi baru bagi warga Miangas. Belum lama ini,
satu-dua rumah makan lokal dikabarkan mulai beroperasi, menjajakan ikan bakar bumbu
rica bagi pelancong yang berani menjejakkan kaki ke daerah perbatasan. Hasil
laut yang semula dijual mentah, kini diolah dan diberi nilai tambah. Artinya,
kapasitas ekonomi warga Miangas perlahan mulai meningkat.
Ya, beroperasinya bandara Miangas membuka sumber
ekonomi baru bagi warganya. Dari semula menangkap ikan, kini menjamu kedatangan
wisatawan. Dari hanya menjual barang, sekarang mulai menawarkan beragam jasa
unggulan.
Proses pertukaran informasi dan ilmu
pengetahuan akibat interaksi antara kaum pendatang/pelancong dan warga lokal
juga semakin intens. Dengan begitu, pembangunan manusia dan pemerataan
pembangunan di Miangas akan berlangsung semakin cepat.
Ke depan, tentu kita berharap warga Miangas
bisa mendulang potensi yang lebih besar lagi. Pembangunan akomodasi dan kawasan
wisata, misalnya. Tidak perlu langsung hotel bintang lima, cukup dimulai dari
penginapan sederhana saja. Sebab siapa pun yang pernah ke Miangas pasti setuju,
pantai pasir putih di sana lebih indah dan asri ketimbang pantai Pandawa di Bali.
Kalau tidak percaya, silakan kalian tengok
foto-foto di atas. Itu adalah salah satu pantai di Kepulauan Talaud, yaitu
Pantai Sara Besar. Pasirnya putih, seputih tepung. Keasriannya masih terjaga
sebab pulau berukuran 2,4 km2 ini tidak berpenghuni. Penerbangan ke
Miangas, selain menambah daftar tujuan berlibur bagi para pejalan, juga
menghidupkan potensi sektor pariwisata bagi warga lokal.
Pembangunan bandara Miangas adalah salah satu
contoh keseriusan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Perhubungan (Kemenhub), dalam menata sektor transportasi selama lima
tahun terakhir. Arah pembangunannya jelas: paradigma Jawa sentris harus diubah
menjadi Indonesia sentris. Itu semua demi mengatasi ketimpangan di daerah.
Selama lima tahun terakhir, Pemerintah telah membangun
banyak infrastruktur transportasi di daerah 3TP (Terluar, Terdepan, Tertinggal,
dan Perbatasan). Dilansir dari laman resmi Kemenhub, pembangunan tersebut berupa penyediaan
sarana dan prasarana di 18 rute tol laut.
Selain itu, ada pula 891 trayek angkutan
perintis (angkutan jalan, kereta api, laut, dan udara), serta pembangunan dan pengembangan
131 bandara di daerah rawan bencana, perbatasan, dan terisolir. Untuk
meningkatkan konektivitas logistik, 39 titik Jembatan Udara juga dibangun di wilayah
Indonesia bagian timur.
Asal tahu saja, laju pembangunan infrastruktur
transportasi 2014—2019 adalah yang tercepat sejak Indonesia merdeka. Kalau mau dikalkulasi,
pembangunan bandara Miangas ataupun infrastruktur transportasi di sejumlah daerah terpencil lainnya bukan semata-mata diukur dari untung-ruginya saja. Di antara sekian banyak
investasi transportasi, boleh jadi ada yang belum atau tidak akan pernah balik
modal.
Akan tetapi, lebih dari sekadar balik modal,
pembangunan infrastruktur transportasi adalah wujud nyata pemerintah dalam
memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Simpul-simpul akses di
daerah harus dibuka.
Warga di daerah terpencil tidak boleh lagi merasa
kesulitan mendapat pasokan barang gara-gara ketiadaan sarana transportasi
memadai. Itulah esensi pembangunan transportasi yang sebenarnya. Jika tidak
dimulai, peningkatan kapasitas ekonomi dan pemerataan pembangunan hanyalah
tinggal wacana.
Selain itu, pembangunan infrastruktur
transportasi juga ditujukan untuk mengejar ketertinggalan. Sebagai contoh
pembangunan Mass Rapid Transportation,
atau yang sudah diberi padanan menjadi Moda Raya Terpadu (MRT), di Jakarta. Setelah
sekian lama direncanakan, akhirnya pada 10 Oktober 2015 pembangunan sarana transportasi
massal ini dimulai juga.
Pepatah bilang, di mana ada kemauan, di situ
pasti ada jalan. Benar saja. Tidak sampai lima tahun, sejak 24 Maret 2019 warga
Jakarta bisa menikmati kemudahan bertransportasi lewat MRT. Dari bundaran Hotel
Indonesia hingga bilangan Lebak Bulus dapat ditempuh dalam waktu 30 menit saja!
Tak pelak, beroperasinya MRT membuka harapan
tinggi bagi warga ibukota dan sekitarnya. Terutama bagi mereka yang bekerja di kawasan perkantoran. Selama ini, jalan raya di Jakarta memang terkenal dengan
kemacetannya. Saya yang bekerja dan tinggal di Jakarta, harus menyisihkan
banyak waktu bila tidak ingin terlambat masuk kerja.
Dengan menggunakan MRT, waktu perjalanan akan
terpangkas. Selain itu, ongkosnya juga lebih murah. Untuk rute terjauhnya saja,
Hotel Indonesia—Lebak Bulus, kita cukup menyediakan saldo di kartu uang elektronik
sebesar Rp14 ribu. Lantaran pembayarannya menggunakan uang elektronik, tidak
ada lagi risiko membawa uang tunai seperti kehilangan uang, tidak ada
kembalian, ataupun uang palsu. Sekali tap
langsung melaju.
O ya, bagi saya pribadi, naik MRT itu lebih
sehat. Paling tidak, kita jadi terbiasa jalan kaki dan naik-turun tangga di
stasiun. Potensi stres di perjalanan juga menghilang. Sebab tidak ada lagi kemacetan,
seperti yang biasa kita rasakan ketika mengendarai mobil atau sepeda motor.
Pada tataran yang lebih luas, MRT akan
mengurangi kemacetan di Jakarta. Warga diberi pilihan moda transportasi yang
lebih cepat dan hemat. Alhasil, penggunaan kendaraan pribadi dan kemacetan akan
semakin berkurang. Itu berarti, polusi udara akibat asap kendaraan bermotor
juga semakin menurun.
Dalam konteks ekonomi, MRT akan mengurangi
kerugian akibat kemacetan. Asal tahu saja, kajian Bappenas pada 2017 menyebut dampak
kerugian akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp67 triliun per tahun. Sebagian besar
berupa penggunaan BBM yang sia-sia ketika kendaraan kita terjebak macet. Singkat
kata, dengan menggunakan MRT, bujet bensin kita pun akan semakin berkurang.
Manfaat yang sama juga dirasakan oleh warga
Palembang sejak Lintas Rel Terpadu (LRT) dioperasikan pada 1 Agustus 2018 silam. Ke depan, mobilitas dan konektivitas warga antardaerah juga akan semakin
cepat seiring dengan pembangunan proyek kereta cepat Jakarta—Bandung, LRT
Jabodebek, dan kereta semi-cepat Jakarta—Surabaya.
Lantas, apa dampaknya bagi pemerataan
pembangunan? Tentu saja ada. Ketika ongkos transportasi lebih murah, kita bisa
menyimpan uang lebih banyak. Nah, kelebihan uang itu bisa kita belanjakan untuk
keperluan lain yang lebih produktif. Membeli obligasi negara, sedekah, menyantuni
anak yatim, dan sebagainya.
Kalau kalian hobi traveling, tabungan tadi bisa juga untuk liburan ke Miangas atau
daerah wisata lainnya di Indonesia. Semakin banyak warga yang berwisata ke
pelosok daerah, semakin laju geliat ekonomi di sana. Artinya, semakin cepat juga
proses pemerataan pembangunan di daerah. Benar, kan?
Pembangunan transportasi yang gencar
dilakukan Pemerintah selama lima tahun terakhir, tentu tidak akan sukses dan
lestari tanpa peran serta warganya. Sebagai warga negara yang baik, tugas kita
ialah menjaga dan mendukung segala upaya pembangunan. Oleh karena itu, ada tiga
hal yang wajib kita lakukan.
1. Membayar Pajak Tepat Waktu
Dana pembangunan infrastruktur transportasi sebagian
besar berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Data Kominfo memaparkan bahwa sepanjang
2015—2019, anggaran infrastruktur kita mencapai Rp5.519 triliun.
Dalam lima tahun ke depan, kebutuhan
pendanaan untuk pembangunan infrastruktur akan lebih tinggi lagi, yaitu mencapai
sekitar Rp6.455 triliun. Untuk mendukung rencana tersebut, kita harus membayar
pajak tepat waktu. Dengan begitu, ketertinggalan infrastruktur di daerah akan
semakin cepat dikejar.
2. Menjaga Sarana dan Prasarana Transportasi
Ketika menggunakan sarana atau moda transportasi,
entah itu kereta api, busway, ataupun
kapal laut, seyogianya kita memperlakukannya sebagaimana milik kita sendiri. Stasiun,
pelabuhan, dan bandara pun harus kita jaga. Jangan mengotori, mencoret-coret, apalagi
merusaknya. Supaya awet dan lestari.
Jika tidak, Pemerintah terpaksa harus mengeluarkan
anggaran perbaikan untuk memperbaiki kerusakan sarana transportasi. Mubazir, kan?
Lebih baik dananya digunakan untuk membangun bandara, pelabuhan, jembatan, atau
trotoar ramah difabel.
3. Menaati Tata Tertib
Sering tersiar kabar perilaku iseng oknum penumpang
yang latah mengatakan “bom” di pesawat atau bandara. Perilaku ini sangat
merugikan penumpang lainnya karena penerbangan terpaksa ditunda. Bayangkan
apabila penumpang itu adalah warga yang ingin berobat, menikah, menghadiri
rapat yang tak bisa ditunda, atau perkara penting lainnya. Tentu nasibnya akan
sengsara.
Oleh karena itu, sebagai pengguna moda
transportasi yang baik, kita harus senantiasa menaati tata tertib yang berlaku.
Ingatlah selalu bahwa tata tertib ada untuk menjaga keamanan dan kenyamanan
kita selama menggunakan moda transportasi. Hormatilah hak pengguna sarana
transportasi lainnya selama perjalanan.
Dengan melakukan ketiga hal di atas, artinya kita
sudah turut serta mendukung pembangunan transportasi yang dilakukan Pemerintah.
Ingat, tanpa dukungan kita semua, pembangunan transportasi yang sudah
susah-payah dilaksanakan akan berakhir sia-sia.
Akhir kata, semoga dengan mengetahui peran pembangunan
transportasi bagi pembangunan bangsa, kita bisa lebih bijak dalam menggunakan
moda transportasi. Selamat berjalan-jalan! [Adhi]
***
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis
Blog Kemenhub bertema “Transportasi Unggul, Indonesia Maju”. Seluruh sumber
gambar yang ditampilkan dalam artikel ini telah dicantumkan pada masing-masing
gambar. Sedangkan olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.
Penasaran dengan MRT Jakarta. Moga bisa jajal naik pas ke Jakarta
ReplyDeleteDitunggu kedatangannya di Jakarta, Mas Amir. Salam hangat.
DeleteSatu kata "sujud" ane bang, mantabbbbbb
ReplyDeleteHahaha. Terima kasih sudah mampir, Bang. Salam hangat.
DeleteSelalu suka dengan tulisan Mas Nodi yang lugas namun cerdas. Semoga sukses untuk lomba kali ini ya, Mas :)
ReplyDeleteiya semoga aja trayek kapal itu diperbanyak. soalnya akomodasi negara kepulauan tidak cukup dengan memperbaiki akomodasi darat saja. agar menjadi indonesia sentris juga. semoga menang ya mas.
ReplyDeletePas ke Jakarta belum naik ini. Next mungkin mau mencoba kak
ReplyDeleteSebenarnya transportasi itu salah satu infrastruktur yang paling penting utk pembangunan negara.
ReplyDeleteSaat konektivitas lancar, otomatis ekonomi, pertukaran barang jasa, ilmu, dll akan maju dengan sendirinya.
akhirnya tulisannya jadi juara, selamat ya kak :)
ReplyDeletekereeen kak tulisannya. Selamat yaa atas kemenangannya.prestasi keberapa yaa ini?hehehe
ReplyDeleteKeren kak, gokil sih ini
ReplyDeleteMRT emang enak dan keren banget
ReplyDelete