Dekik alarm ponsel membuka mataku tepat pukul tujuh pagi. Meski “berangkat ke kantor” tidak termasuk ke dalam daftar agendaku hari ini, aku tetap menyeret langkah kakiku menuju kamar mandi. Sebab aku tahu, selain santap sahur subuh tadi, guyuran air dingin bakal menjadi api semangatku saat bekerja dari rumah sepanjang hari.
***
Sudah hampir dua bulan berlalu, sejak pertama kalinya aku bekerja dari rumah. Ya, meluasnya pandemi Covid-19 di dunia—termasuk Indonesia—memaksa Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan work from home (WFH) untuk sebagian besar pegawainya.
Kebijakan yang ditempuh BI tersebut selaras dengan seruan Pemerintah. Pada awal Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengimbau agar setiap kementerian dan lembaga negara mengambil kebijakan WFH untuk menekan angka penyebaran dan penularan virus Korona. Aku termasuk salah satu di antara ribuan pegawai BI yang berpindah meja kerja dari kantor ke rumah.
Tentu saja ada nuansa yang jauh berbeda. Jikalau di kantor aku bisa bertegur sapa dan berdiskusi langsung dengan rekan sejawat, kini nyaris seluruh bentuk komunikasi dilakukan dari balik layar laptop atau ponsel. Jikalau di kantor aku bisa serta-merta mendatangi meja senior atau masuk ke ruang atasan untuk meminta arahan saat mengerjakan tugas sulit, kini aku harus putar otak dua kali lebih keras—sebisa mungkin menyelesaikan tugas secara mandiri.
Ibarat pepatah, alah bisa karena biasa. Awalnya sulit dan butuh penyesuaian. Namun ketika dijalani dengan ikhlas dan sabar, segala hal yang semula menjadi tantangan, kini berubah seratus delapan puluh derajat menjadi peluang. Peluang yang bisa menjadikan setiap pekerja dari rumah patut bersyukur. Dan semestinya, rasa syukur itulah yang mendorong siapa pun yang bekerja dari rumah agar tetap menjalankan tugasnya dengan aktif dan produktif.
Yang kumaksud peluang di sini, paling tidak ada tiga hal. Pertama, dengan bekerja dari rumah, kita bisa mengatur jadwal dan ritme bekerja secara mandiri. Suatu keunggulan yang boleh jadi tidak bisa kita dapatkan ketika bekerja dari kantor. Sebab di kantor; jam kerja, istirahat, dan pulang sudah ditata sedemikian rupa. Ketika di rumah, Anda-lah yang memegang kendali penuh atas itu semua.
Gagal mengatur jadwal dengan baik, gara-gara enggan beranjak dari kasur misalnya, bisa berakibat pekerjaan menumpuk. Ujung-ujungnya, waktu bekerja malah lebih lama saat di rumah dibandingkan di kantor. Oleh karena itu, setiap pekerja dari rumah mesti mengatur jadwal dan ritme bekerja dengan cermat bila ingin tetap produktif.
Kedua, peluang mengasah kemampuan berkomunikasi, baik secara tertulis maupun verbal. Dengan bekerja dari rumah, banyak hal yang perlu didiskusikan atau dikoordinasikan lewat dunia maya. Sebab mayoritas komunikasi akan dilakukan secara tertulis. Entah via Whatsapp (WA) ataupun lewat surel.
Nah, seorang pekerja dari rumah yang enggan mengasah kemampuan menulis pasti berujung tidak produktif. Sebab ketika berkomunikasi lewat aksara, salah memilih dan memilah kata bisa berujung keliru makna. Salah menyapa atasan bisa jadi kena omelan. Padahal, selesai atau tidaknya tugas yang kita kerjakan akan dinilai atau diperiksa oleh atasan. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mengasah kemampuan menulis selama bekerja dari rumah.
Bahkan, seorang pekerja dari rumah tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan menulis dengan baik, tetapi juga keahlian presentasi secara apik. Seringkali ketika bekerja dari rumah kita diminta presentasi atau mengikuti rapat melalui video conference. Bila tidak pintar berkomunikasi, maka akan berdampak pada kecepatan penyelesaian tugas. Inilah pentingnya mengasah kemampuan berkomunikasi.
Terakhir, peluang mensyukuri amanat yang diberikan kepada kita. Kawan, jikalau Anda masih mengeluh saat bekerja dari rumah, cobalah baca berita sepekan terakhir. Atau tengoklah topik pemuncak (trending topic) dari lini masa yang berseliweran di sejumlah akun media sosial.
Berapa banyak pekerja yang terpaksa di-PHK atau dirumahkan karena pemberi kerja atau perusahaannya terdampak ombak Korona? Berapa banyak pengemudi ojek daring yang mesti kehilangan pendapatan gara-gara minimnya aktivitas di luar rumah? Dan, berapa banyak orang yang, dengan sepenuh hati dan segenap jiwa, mendambakan posisi yang kita emban saat ini?
Maka dari itu, sudah sepatutnya kita bersyukur dengan kondisi kita yang masih punya pekerjaan di saat banyak orang lain kehilangan pekerjaan. Dan, rasa syukur itu tidak cukup kita ejawantahkan dengan menyebut “alhamdulillah” semata, tetapi juga harus diwujudkan dengan kerja keras. Dengan karya yang tidak hanya sekadar memenuhi tugas belaka, tetapi juga punya makna dan manfaat bagi bangsa.
Dengan berbekal rasa syukur itulah, aku tetap menjalani hari-hari bekerja dari rumah dengan produktif, sekaligus inovatif. Selama bekerja dari rumah, paling tidak ada beberapa hal yang sudah kulakukan.
Menyelesaikan Tugas Tepat Waktu
Sebagai seorang pegawai, tentu saja prioritas nomor wahid adalah menyelesaikan tugas yang diamanahkan lembaga kepada kita. Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kuncinya, seperti yang telah kuulas di awal, terletak pada kesungguhan mengatur jam kerja dengan cermat dan baik.
Catat tugas apa saja yang ingin diselesaikan atau dipenuhi setiap hari, termasuk agenda yang melibatkan orang lain seperti presentasi daring maupun rapat virtual. Dari sana, buatlah skala prioritas. Tugas mana yang paling penting dan tenggat waktunya paling pendek. Kerjakan satu per satu dengan tekun dan ikhlas.
Setiap akhir hari, evaluasi kembali tugas apa yang belum diselesaikan dan mengapa tidak bisa diselesaikan tepat waktu. Karena boleh jadi, kita keliru membuat urutan prioritas. Memang benar, tidak ada pekerja yang sempurna. Akan tetapi, pekerja yang paling baik adalah pekerja yang mampu mengoreksi dan meningkatkan kapabilitas diri dari kekeliruan atau kesalahan yang pernah dibuat.
Sedikit cerita, di awal-awal masa WFH, aku pun sering kepayahan karena belum terbiasa mengatur jadwal secara mandiri. Alhasil, aku mesti bekerja hingga larut malam untuk menyelesaikan semua tugas. Namun setelah terbiasa dan rajin mengevaluasi diri, kini aku bisa mengatur ritme bekerja hingga seluruh pekerjaan bisa diselesaikan secara tepat waktu.
Dari sekian banyak tugas, yang paling menantang adalah menyusun bahan Rapat Evaluasi Ekonomi dan Keuangan Daerah (REKDA), sebagai bahan informasi dan asesmen kondisi terkini perekonomian daerah bagi seluruh Anggota Dewan Gubernur (ADG).
Biasanya, penyusunan bahan REKDA yang dilakukan setiap triwulan sekali dilakukan secara konsinyasi. Ekonom terpilih dari seluruh Kantor Perwakilan BI di setiap daerah berembug di satu lokasi, agar bisa fokus menyusun bahan. Dengan adanya kebijakan pembatasan sosial, maka penyusunan bahan dilakukan dari rumah masing-masing.
Tantangan terbesar ketika menyelesaikan bahan REKDA adalah koordinasi. Bila biasanya bisa dilakukan secara tatap muka, kini harus dilakukan secara virtual. Apalagi, bagiku ini adalah pertama kalinya menyusun bahan REKDA setelah dimutasi dari Kantor Pusat di Jakarta menuju Kantor Perwakilan di Sumatera Utara.
Sulit, sudah pasti. Akan tetapi, rasa syukur yang membuat rasa sulit tersebut tidak kuhiraukan. Meski tergopoh-gopoh dan berulang kali meminta arahan senior, akhirnya bahan REKDA bisa kuselesaikan juga. Tepat waktu pula.
Bagiku pribadi, menyusun bahan REKDA adalah tugas tersulit selama WFH sejauh ini. Karena paling sulit, maka rasa puas dan bangga setelah mengerjakan jauh melebihi tugas lainnya. Jadi, seandainya boleh berbagi saran, jadikanlah rasa syukur akan amanat yang sudah diberikan lembaga kepada kita sebagai pemicu semangat bekerja agar tetap produktif selama WFH.
Tanda Tangan Digital
Bukan BI namanya bila tidak selalu berinovasi. Untuk menjaga kelancaran alur dan kelajuan alir serta memenuhi prinsip tata kelola baik (governance) dokumen selama masa WFH, BI tengah menyiapkan aturan mengenai pemberlakuan tanda tangan digital. Sebelumnya, dokumen di BI mesti ditandatangani secara langsung (dengan menggunakan tinta).
Jadi, setiap pegawai yang bertugas menandatangani dokumen, entah berupa surat, memorandum, laporan, atau lainnya, nantinya bisa membubuhkan tanda tangan secara digital. Tentu saja, inovasi ini akan memudahkan pegawai selama WFH sekaligus mendukung upaya pembatasan dan interaksi sosial untuk menekan daya penyebaran virus Korona.
Sebagai pegawai, peranku adalah mendukung dengan cara mengikuti tata cara dan aturan yang sudah dibentuk oleh BI. Beberapa hari yang lalu kami baru saja uji coba pemberlakuan tanda tangan digital ini. Alhamdulillah, seluruh prosesnya bisa aku lakukan dengan baik dan lancar.
Rencananya, pada 11 Mei 2020 mendatang, sebagian besar dokumen di BI sudah menerapkan tanda tangan digital. Ketika saat itu tiba, tentu saja aku akan memastikan inovasi ini berjalan dengan baik dan lancar, dengan cara membubuhkan tanda tangan secara digital pada setiap dokumen yang aku tanda tangani. Dengan demikian, bekerja dari rumah bukan lagi hambatan bagi proses bekerja di BI.
Menulis Opini di Surat Kabar
Kalau Anda tanya apa hobiku, pasti kujawab “menulis”. Di luar jam kerja, aku menulis dan mengirim artikel opini ke berbagai surat kabar nasional. Selain untuk kepuasan pribadi karena berhasil menyalurkan hobi, tulisanku di surat kabar juga berperan sebagai diseminasi kebijakan BI agar membantu masyarakat dalam memahami peran dan upaya BI dalam menjaga perekonomian negeri.
Ya, sebagai seorang pegawai, sudah seyogianya kita mendukung setiap kebijakan yang ditelurkan oleh lembaga. Sebagai wujud rasa syukur dan bentuk cinta kepada lembaga, maka salah satu karyaku ketika bekerja dari rumah adalah menulis opini di surat kabar.
Sebagai seorang ekonom, topik opiniku di surat kabar pasti tidak jauh-jauh dari ekonomi. Salah satu tulisanku (gambarnya bisa Anda lihat di bawah) bercerita tentang pentingnya melanjutkan industri 4.0 yang sempat digagas Pemerintah dua-tiga tahun silam.
Apalagi, pada masa pandemi seperti sekarang ini, banyak sektor ekonomi yang terdampak dan berimbas pada maraknya kebijakan PHK dan merumahkan pekerja. Mau tidak mau, pelaku ekonomi dan pekerja harus mengubah cara berpikir (mindset), dari konvensional menuju era digital. Dengan demikian, dampak pelemahan ekonomi akibat Korona dapat diminimalisasi.
Seperti yang kubilang tadi, bekerja dari rumah seharusnya tidak membuat kita terpaku pada tugas utama semata. Di luar itu, masih banyak yang bisa kita lakukan, termasuk menulis opini di surat kabar. Dengan begitu, buah pikir kita dapat menjadi inspirasi dan berguna bagi pemangku kepentingan, terutama dalam mengambil kebijakan di tengah masa sulit seperti ini.
Menulis Buku
Selain menulis opini di surat kabar, masa bekerja dari rumah juga kumanfaatkan untuk menulis buku. Biasanya, buku yang kutulis bertema selain ekonomi, seperti teknologi, inspirasi hidup, maupun cerita sosial. Sejak 2018 hingga saat ini, aku sudah menerbitkan tiga buah buku.
Buku pertama, Innovation for All (2018), bercerita tentang potensi kulit cokelat menjadi sumber alternatif energi terbarukan, untuk mengatasi ketergantungan kita terhadap energi fosil yang jumlahnya terbatas. Buku kedua, Inspirasi untuk Indonesia (2019), bercerita tentang kisah hidup Tung Desem Waringin, seorang motivator yang mengajarkan pentingnya berhemat untuk ketenangan hidup.
Buku terbaru, Impianku untuk Indonesia (2020), bercerita tentang mimpiku melihat Indonesia menjadi negara maju dan upaya yang harus kita tempuh untuk mewujudkannya. Sebagai informasi, buku ini baru saja rilis pada bulan lalu, ketika Indonesia sudah terdampak virus Korona. Karena itu, penting bagi kita untuk terus bermimpi dan berupaya keras mewujudkan mimpi itu, agar kelak Indonesia bisa menjadi negara maju saat era pandemi berakhir.
Ya, menulis buku adalah salah satu caraku menuangkan gagasan atau buah pikir, sekaligus tetap produktif dan inovatif selama bekerja dari rumah. Dengan berbagi tulisan, mana tahu ada pembaca yang terinspirasi atau mengambil manfaat dari tulisanku. Terlepas dari itu semua, paling tidak, aku tidak berdiam diri saja melihat negeri yang kucintai sakit diterpa Korona. Itu saja.
Mengajar Kelas Menulis Daring
Satu lagi upayaku untuk tetap produktif dan inovatif selama bekerja dari rumah adalah mengajar kelas menulis. Sebagai seorang penulis, aku kerap diminta oleh penyelenggara ataupun komunitas menulis untuk mengajar. Topiknya tentu saja tidak jauh-jauh dari menulis.
Dalam setiap sesi mengajar, aku selalu menekankan kepada muridku bahwa banyak manfaat yang bisa kita raih dengan menulis. Paling tidak, ada empat kepuasan. Puas ketika berhasil menyelesaikan tulisan, puas ketika menerbitkan tulisan, puas ketika tulisan kita dibaca dan direspon oleh pembaca, dan puas ketika kita bisa menghasilkan prestasi selama menulis.
Dan juga, aku selalu menekankan tentang pentingnya menggunakan bahasa Indonesia dengan benar. Sebab bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan dan salah satu simbol negara yang patut kita jaga. Beberapa salah kaprah dalam berbahasa mesti dihentikan.
Misalnya, semestinya kita menulis “sekadar” alih-alih “sekedar”, karena bahasa Indonesia hanya mengenal kata dasar “kadar”, bukan “kedar”. Kita juga harus berhenti menulis “jaman”, karena itu bentuk takbaku dari kata “zaman”. Kita pun harus terbiasa menggunakan kata “mengubah” alih-alih “merubah”, bila yang dimaksud adalah “menjadi lain dari bentuk semula”. Kira-kira seperti itu.
Tentu saja, kisahku menjadi pengajar kelas menulis daring tidak dimulai dari kebetulan. Aku menduga, mungkin karena orang lain melihat prestasi menulisku yang hingga kini jumlahnya di atas 50, sehingga mengundangku sebagai pengajar. O ya, rincian prestasi menulisku dapat dilihat di sini.
Meskipun menulis adalah proses yang tidak kenal kata “pensiun”, dan hingga kini aku pun masih terus mengasah kemampuan menulis, tetapi berbagi ilmu tidak akan pernah keliru. Termasuk ilmu menulis. Oleh karena itu, inilah upayaku untuk tetap produktif dan bermanfaat bagi orang lain ketika bekerja dari rumah.
Karena Berkarya Bisa dari Mana Saja
Seperti yang telah kusinggung di awal, bekerja dari rumah semestinya tidak mengurangi produktivitas kita dalam berkarya. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan dari rumah.
Lima hal di atas adalah caraku tetap produktif dan inovatif selama bekerja dari rumah. Anda mungkin punya cara yang serupa, bisa juga berbeda. Yang pasti, selama bekerja dari rumah, kita harus tetap bersyukur dengan rezeki, anugerah, dan karunia yang diberikan Tuhan kepada kita. Dan, rasa syukur itu sudah sepatutnya kita buktikan dengan karya.
Bukankah tugas kita di dunia semata-mata untuk beribadah? Tentu saja bentuk ibadah itu bisa kita wujudkan, salah satunya dengan tetap produktif dan inovatif selama bekerja dari rumah. Jangan lupa, ucapkanlah “bismillah” sebelum Anda bekerja. Mungkin dengan kata itulah pahala dan berkah akan mengalir selama kita berkarya.
Akhir kata, selamat bekerja dan berkarya dari rumah. [Adhi]
***
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Perpustakaan Bank Indonesia 2020. Gambar dan olah grafis diambil dan dilakukan secara mandiri oleh penulis. #perpustakaanbankindonesia #worldbookday #shareamillionstories #digitallearning
duluu waktu awal awal diterapkan WFH, aku pikir bisa lah curi waktu buat ngerjain yang lain lain, lahh ternyata pernah satu hari duduk manis di depan laptop ngerjain tugas, karena aku pikir kalo aku tunda, nggak bakalan selesai-selesai. dan besoknya kerjaan akan ketumpuk sama yang lainnya
ReplyDeletemanage waktu penting juga
Benar sekali, Kak. Mangatur jadwal bekerja itu penting, sepenting pekerjaan itu sendiri. Terima kasih sudah mampir. Salam hangat.
DeleteWah, akhirnya setelah sekian lama nulis lagi Mas :)
ReplyDeleteGoodluck
Alhamdulillah. Iya, Mas. Kemarin baru pindah tugas, jadi masih kesulitan mengatur jadwal menulis di blog. Terima kasih sudah mampir. Salam hangat.
DeleteTerima kasih sudah berbagi,mensyukuri sehat untuk berkarya mantab,bhs yang mudah,menarik dan bermanfaat.Selamat sukses
ReplyDelete