Raut wajah Tomi tampak berseri. Setelah lama menanti, impiannya punya rumah pertama bakal segera terpenuhi. Berkat program rumah bersubsidi, akhirnya ia memiliki tempat berlindung dari deras hujan dan terik matahari usai menikah nanti.
***
Hunian adalah impian setiap insan. Siapa pun pasti bermimpi punya rumah sendiri. Alasannya bermacam-macam. Ada yang mempersiapkan tempat tinggal untuk berumah tangga nanti, ada pula yang berinvestasi supaya hartanya tak tergerus inflasi. Yang jelas, sejak dulu papan memang menjadi salah satu kebutuhan utama manusia selain sandang dan pangan.
Hanya saja, sebagian orang masih merasa kesulitan mewujudkan mimpinya. Selain harganya relatif mahal, dibutuhkan kesabaran dan kegigihan menabung untuk bisa membeli rumah. Inilah mengapa, sebagian kalangan milenial atau pekerja anyar sering mengeluh kesulitan ketika ditanya kapan punya rumah sendiri. Padahal, penghasilan pas-pasan semestinya tidak menjadi halangan dalam meraih rumah impian.
Kalau tak percaya, tengok saja kisah Tomi. Pemuda asal Medan ini bekerja sebagai seorang satuan pengamanan (satpam). Gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Boro-boro nongkrong tiap akhir pekan, ia harus membiayai keperluan hidup kedua orangtuanya setiap bulan. Kalaulah ada sisa uang, pasti ia tabung untuk modal membeli hunian.
Tomi memang berasal dari keluarga sederhana. Orangtuanya menggantungkan rezeki dari berjualan nasi padang pinggir jalan di bilangan Medan Johor. Ukurannya juga tidak terlalu besar. Hanya cukup untuk sekitar 20 pelanggan saja. Apalagi, tahun ini adalah periode yang sulit bagi keluarga Tomi. Sama seperti kebanyakan bisnis kuliner lainnya, usaha yang dilakoni orangtua Tomi juga terdampak badai Korona.
Omzetnya menurun gara-gara minimnya aktivitas warga di luar rumah. Tak seperti hari-hari sebelumnya, pelanggan Nasi Padang Uni Lis—sebutan rumah makan milik orangtua Tomi—lebih memilih memasak di rumah ketimbang santap di tempat. Alhasil, kini rumah makannya tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Karena alasan itulah, Tomi menjadi tulang punggung keluarga bersama kedua orang kakaknya.
Meski tantangan menghadang, Tomi tak pernah menyerah. Situasi sulit tidak membuatnya putus asa. Tomi tetap giat bekerja sembari berbakti kepada kedua orangtua. Tidak lupa, ia juga selalu menyisihkan sisa uang bulanan untuk menggapai mimpinya. Tak seperti kebanyakan milenial seusianya, dirinya memang punya visi jauh ke depan.
Sejak pertama bekerja dua tahun silam, ia sudah bercita-cita punya rumah sendiri. Padahal, usianya kala itu baru 24 tahun. Tatkala kawan sebayanya masih disibukkan dengan bermain gim online atau berburu kopi kekinian, ia malah rela mengencangkan ikat pinggang. Alasannya satu: supaya ketika menikah nanti tidak lagi numpang di rumah ortu.
Pernah suatu ketika, Tomi diajak kawannya bertamasya ke Berastagi. Kata kawannya, sekadar cuci mata sekaligus mempererat tali silaturahmi. Namun Tomi sadar, segala aktivitas di luar rumah berpotensi menimbulkan biaya tak terduga. Ia tidak ingin impiannya tertunda hanya karena alasan tenggang rasa. Tawaran kawan ditampiknya dengan sopan.
Akan tetapi, bukan rasa kepedulian yang ia dapatkan melainkan seloroh ejekan. “Sombong betul kau, Tom. Sudahlah, sadar diri saja. Kau tak akan sanggup membeli rumah dengan gaji satpam-mu,” ejek kawannya.
Meski kerap dicemooh, Tomi tetap bergeming. Keputusannya memiliki hunian sudah dipatok bulat-bulat. Ia tolak mentah-mentah ajakan kawannya dengan alasan ingin hidup hemat. Supaya pundi-pundi tabungannya tidak terbuang sia-sia hanya karena melakukan sesuatu yang tiada berguna dan tidak jelas hasilnya.
Lebih baik mengelus dada dan bersabar ketimbang mengubur impian yang sudah lama ia pendam. Skala prioritas sudah disusun dengan jelas. Ia mesti menunda kesenangan demi mewujudkan impian, sekalipun harus menolak ajakan bersenang-senang dari seorang kawan.
Lagi pula, tugasnya sebagai satpam membutuhkan fisik yang prima. Tidak jarang ia harus begadang karena kebagian jaga malam. Ia tidak ingin tanggung jawabnya jadi terbengkalai gara-gara tidak enak badan andai mengiyakan ajakan temannya. Ia juga tidak ingin dipecat gara-gara, misalnya, ketiduran saat bertugas. Saat lepas tugas, lebih baik beristirahat di rumah daripada susah beli rumah.
Setiap kegigihan dan kesabaran pasti membuahkan hasil yang menggembirakan. Betul saja, perjuangan Tomi tidak sia-sia. Setelah dua tahun lebih menanti, kini tabungannya cukup untuk membayar uang muka. Usai mencari ke sana kemari, akhirnya pilihannya jatuh kepada sepetak rumah bertipe 36 di perumahan Griya Permata Indah IV, Sunggal, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Griya Permata Indah IV merupakan salah satu permukiman bersubsidi. Dibangun oleh pengembang lokal, bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pembiayaannya disokong dari sejumlah bank pendukung. Target pasarnya jelas, yakni masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan per bulan di bawah Rp8 juta.
Tomi terlihat semringah ketika menunjukkan buah kesabarannya kepada saya. Rumah mungil bercat kuning itu tampak berdiri kokoh. Letaknya tepat di sudut kompleks, membuat Tomi punya sejengkal lahan tambahan dibanding penghuni lainnya. Ketika sudah ditempati nanti, ia berencana menjadikan lahan kecil itu sebagai media bercocok tanam. Supaya terasa lebih asri dan hijau, begitu kata Tomi.
Rumah seharga Rp132 juta itu memang belum ditempati Tomi. Ia baru melunasi uang muka sebesar Rp7 juta dan menandatangani akad pembiayaan pada Februari lalu. Pihak bank dan pengembang menjanjikan serah terima kunci pada September mendatang. Ketika sudah dihuni nanti, Tomi mesti membayar angsuran sebesar Rp1,05 juta per bulan selama sepuluh tahun ke depan.
Kalau tidak ada aral melintang, Tomi akan pindah bulan depan. Sekarang, ia tengah mempersiapkan kepindahannya. Barang-barangnya yang kini berada di rumah orangtuanya sudah dikemasi dengan rapi. Sebagian baju-bajunya juga sudah dimasukkan ke dalam tas. Pokoknya, siap angkut pada saatnya nanti.
Yang jelas, Tomi sangat bersyukur menjadi salah satu penerima manfaat program rumah bersubsidi. Meski berpenghasilan pas-pasan, impiannya punya rumah sendiri jadi bisa terpenuhi. Dengan begitu, calon istri dan anaknya bisa terlindungi dari deras hujan dan terik matahari ketika mengarungi kehidupan berumah tangga nanti.
Sejuta Griya bagi Warga Indonesia
Senyum Tomi kepada saya seakan merepresentasikan kebahagiaan yang dirasakan jutaan warga Indonesia lainnya. Program kepemilikan rumah bersubsidi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak 2015 nyatanya memang menjadi sarana pewujud mimpi warga pra-sejahtera untuk memiliki rumah pertama. Melalui program itu, warga yang berpenghasilan pas-pasan bisa memiliki rumah dengan harga dan angsuran yang terjangkau.Dalam mewujudkan mimpi warganya, pemerintah pusat tidak berjalan seorang diri. Kementerian PUPR menerapkan pola kerja sama dengan berbagai pihak. Selain dibangun oleh Kementerian PUPR sendiri, pembangunan rumah bersubsidi juga dilakoni oleh pemerintah daerah, pengembang lokal, maupun perusahaan swasta lewat dana tanggung jawab sosial. Untuk urusan pendanaan, sejumlah bank—baik BUMN maupun swasta—juga ikut andil.
Cita-cita pemerintah menyediakan rumah murah bagi warganya tergambar jelas dari semboyan yang diusung: Program Sejuta Rumah. Targetnya pun jelas. Selama program digelar, minimal ada sejuta hunian dengan harga terjangkau yang tuntas dibangun. Berkat kerja sama erat antar-pihak, sejak 2014 hingga 2019 sebanyak 4.800.170 unit rumah dilaporkan sudah berdiri dan dihuni.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar memang dikhususkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pada 2019 saja, sebanyak 1.257.852 unit rumah berhasil dibangun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 945.161 unit diperuntukkan bagi MBR. Sedangkan sisanya sebanyak 312.691 unit diperuntukkan bagi non-MBR. Dengan demikian, warga berpenghasilan rendah maupun generasi milenial yang baru bekerja bisa merasakan nikmatnya memiliki rumah sendiri.
Meski target terlampaui, pemerintah tetap melanjutkan program kepemilikan rumah. Tujuannya untuk mengatasi permasalahan kekurangan suplai rumah atau backlog bagi segenap warganya. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) 2020-2024, pemerintah telah menetapkan target pembangunan rumah rakyat sebanyak 5 juta unit.
Untuk mencapainya, sejumlah program baru pun disiapkan. Yang terkini, ada Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang diketok palu pada 20 Mei 2020 lalu, setiap pekerja diwajibkan menabung agar kelak bisa punya rumah sendiri. Melalui program ini, sebanyak 500 ribu unit rumah dicita-citakan rampung dibangun hingga 2024 nanti.
Tidak hanya pegawai instansi pemerintah atau kenegaraan saja, pekerja swasta pun diwajibkan menjadi peserta Tapera. Asalkan, pendapatannya paling tidak setara dengan upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Jadi, bukan hanya aparatur sipil negara, prajurit TNI, anggota kepolisian, atau pegawai BUMD saja yang diberi kemudahan memiliki rumah sendiri. Pegawai swasta maupun generasi milenial yang baru bekerja juga bisa menikmati fasilitas ini.
Besaran iuran Tapera pun sudah ditata agar tidak memberatkan pekerja. Hanya 3 persen dari penghasilan setiap bulan saja. Dari jumlah tersebut, sebesar 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja. Barulah sisa sebesar 2,5 persen ditanggung secara mandiri oleh pekerja.
Yang jelas, semangat menabung warga memang perlu dipupuk kembali. Apalagi, hasil Tapera memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer warga Indonesia. Dengan kewajiban menabung, para pekerja mau tidak mau harus menyisihkan pendapatan demi menggapai impian: memiliki rumah idaman. Sebab kalau tidak dipaksa dan dibiasakan, mustahil asa punya rumah pertama bakal terlaksana.
Semangat Tapera sejatinya persis dengan kisah Tomi di atas. Untuk menggapai mimpi memiliki rumah pertama, kita harus rela menyisihkan sebagian pendapatan. Kita harus ikhlas menunda kesenangan demi meraih griya idaman. Ini yang patut disadari oleh siapa pun yang bercita-cita memiliki hunian.
Apalagi, dukungan Program Sejuta Rumah dari pemerintah terbukti berhasil sejauh ini. Dengan harga rumah dan cicilan yang tidak menguras kantong, kalangan berpenghasilan rendah bisa memperoleh tempat tinggal yang layak dan bermartabat. Dalam konteks yang lebih luas, ekonomi bangsa akan berputar dan taraf hidup warga akan meningkat. Dengan begitu, kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila, pasti akan tercipta. [Adhi]
***
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Artikel yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR dalam rangka memperingati Hari Perumahan Nasional 2020. Pengambilan foto, gambar, dan olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.
0 komentar: