Infrastruktur ibarat urat nadi perekonomian bangsa. Semakin cepat dibangun, semakin cepat pula roda ekonomi berputar.
Karena itu, paradigma pembiayaan infrastruktur modern tidak boleh hanya mengandalkan APBN/APBD semata. Creative financing hadir sebagai solusi pendanaan tanpa membebani kas negara.
Pernahkah kita berpikir apa rasanya bepergian tanpa jalan tol, jalur kereta api, atau bandara? Sempatkah kita merenung apa jadinya aktivitas perdagangan tanpa pelabuhan? Atau sudahkah kita bertafakur bagaimana nasib petani tanpa aliran irigasi dari bendungan?
Tanpa kehadiran tol, jalur kereta api, dan bandara; kemacetan pasti merajalela. Perjalanan menuju kantor, sekolah, atau lokasi usaha bakal terhambat.
***
Pernahkah kita berpikir apa rasanya bepergian tanpa jalan tol, jalur kereta api, atau bandara? Sempatkah kita merenung apa jadinya aktivitas perdagangan tanpa pelabuhan? Atau sudahkah kita bertafakur bagaimana nasib petani tanpa aliran irigasi dari bendungan?
Tanpa kehadiran tol, jalur kereta api, dan bandara; kemacetan pasti merajalela. Perjalanan menuju kantor, sekolah, atau lokasi usaha bakal terhambat.
Tanpa peran pelabuhan, aliran barang dan logistik dari dan luar negeri pasti akan tersendat. Seperti halnya nasib petani tanpa bendungan. Tanaman pangan rentan terserang risiko gagal panen akibat kekurangan asupan air.
Kawan, itulah makna penting pembangunan infrastruktur. Dengan jalan tol, kereta api, atau bandara; ruang gerak dan aktivitas tentu menjadi lebih luas. Kita bisa melakukan lebih banyak hal produktif seperti menuntut ilmu dan bekerja.
Dengan pelabuhan, aliran logistik jadi lebih lancar sehingga hasil produksi bisa tersebar merata ke seluruh penjuru Nusantara. Begitu pula dengan keberadaan bendungan sebagai sarana irigasi. Petani bakal hidup sejahtera karena tanaman tumbuh subur dan produktivitas hasil pertanian meningkat.
Jadi, tidaklah berlebihan bila infrastruktur disebut sebagai syarat utama menuju bangsa sejahtera. Berkat infrastruktur, sumber pertumbuhan ekonomi baru di daerah akan tumbuh dan berkembang. Hasilnya bisa dirasakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Hanya saja, pembangunan infrastruktur kita belumlah sempurna. Kajian Global Infrastructure Hub (GIH) pada 2017 menyebut masih ada celah (gap) pembiayaan sebesar 140 miliar Dolar AS hingga 2040 mendatang agar Indonesia bisa meningkatkan kualitas infrastrukturnya hingga setara dengan negara-negara kelas menengah.
Studi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyodorkan hal senada. Menurut Bappenas, dibutuhkan belanja infrastruktur hingga Rp7.000 triliun pada 2020—2024 agar pertumbuhan ekonomi bisa optimal.
Sesuai namanya, creative financing ialah pembiayaan infrastruktur yang dananya tidak bersumber dari APBN/APBD. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur dibiayai melalui berbagai skema kerja sama antara pemerintah, BUMN, swasta, maupun masyarakat.
Creative financing adalah paradigma anyar dalam membiayai kebutuhan pembangunan. Dengan konsep ini, tanggung jawab pembiayaan infrastruktur tidak semata-mata dibebankan pada pundak pemerintah.
Sekarang, mari saya sodorkan satu contoh. Jalan tol Gempol—Pandaan, misalnya. Jalan tol yang beroperasi sejak 2019 ini tidak dibiayai APBN/APBD ataupun perbankan, melainkan dari dana investasi infrastruktur (DINFRA).
Dari contoh EBA di atas, kita bisa menarik kesimpulan. Manfaat creative financing tidak sekadar menuntaskan proyek yang sedang dibangun saja, tetapi juga punya efek berganda.
Kawan, itulah makna penting pembangunan infrastruktur. Dengan jalan tol, kereta api, atau bandara; ruang gerak dan aktivitas tentu menjadi lebih luas. Kita bisa melakukan lebih banyak hal produktif seperti menuntut ilmu dan bekerja.
Dengan pelabuhan, aliran logistik jadi lebih lancar sehingga hasil produksi bisa tersebar merata ke seluruh penjuru Nusantara. Begitu pula dengan keberadaan bendungan sebagai sarana irigasi. Petani bakal hidup sejahtera karena tanaman tumbuh subur dan produktivitas hasil pertanian meningkat.
Jadi, tidaklah berlebihan bila infrastruktur disebut sebagai syarat utama menuju bangsa sejahtera. Berkat infrastruktur, sumber pertumbuhan ekonomi baru di daerah akan tumbuh dan berkembang. Hasilnya bisa dirasakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Hanya saja, pembangunan infrastruktur kita belumlah sempurna. Kajian Global Infrastructure Hub (GIH) pada 2017 menyebut masih ada celah (gap) pembiayaan sebesar 140 miliar Dolar AS hingga 2040 mendatang agar Indonesia bisa meningkatkan kualitas infrastrukturnya hingga setara dengan negara-negara kelas menengah.
Studi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyodorkan hal senada. Menurut Bappenas, dibutuhkan belanja infrastruktur hingga Rp7.000 triliun pada 2020—2024 agar pertumbuhan ekonomi bisa optimal.
Sementara kapasitas APBN dalam mendanai infrastruktur hanya sekitar Rp5.000 triliun saja. Gap sebesar Rp2.000 triliun mesti dipenuhi dari luar kas negara. Di sinilah peran creative financing dibutuhkan.
Sesuai namanya, creative financing ialah pembiayaan infrastruktur yang dananya tidak bersumber dari APBN/APBD. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur dibiayai melalui berbagai skema kerja sama antara pemerintah, BUMN, swasta, maupun masyarakat.
Creative financing adalah paradigma anyar dalam membiayai kebutuhan pembangunan. Dengan konsep ini, tanggung jawab pembiayaan infrastruktur tidak semata-mata dibebankan pada pundak pemerintah.
Akan tetapi, semua pihak bersatu-padu dan bahu-membahu demi terciptanya Indonesia maju. Skema kerja sama ini sering disebut dengan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Lantas, apa saja jenis proyek infrastruktur yang dapat dibiayai melalui creative financing? Kementerian Keuangan telah membaginya ke dalam tiga jenis, yakni proyek yang: (i) layak secara ekonomi tetapi finansial marjinal dengan kapasitas fiskal terbatas; (ii) layak secara ekonomi tetapi finansial marjinal dengan kapasitas fiskal memadai; dan (iii) layak secara ekonomi dan finansial.
Dengan kata lain, jika proyek infrastruktur dinilai menguntungkan dan mampu menghasilkan pendapatan setelah beroperasi, maka sebaiknya tidak dibiayai melalui kas negara.
Lantas, apa saja jenis proyek infrastruktur yang dapat dibiayai melalui creative financing? Kementerian Keuangan telah membaginya ke dalam tiga jenis, yakni proyek yang: (i) layak secara ekonomi tetapi finansial marjinal dengan kapasitas fiskal terbatas; (ii) layak secara ekonomi tetapi finansial marjinal dengan kapasitas fiskal memadai; dan (iii) layak secara ekonomi dan finansial.
Dengan kata lain, jika proyek infrastruktur dinilai menguntungkan dan mampu menghasilkan pendapatan setelah beroperasi, maka sebaiknya tidak dibiayai melalui kas negara.
Apa sebab? Karena proyek seperti ini sudah menjadi keahlian BUMN dan Swasta. Dengan begitu, dana APBN/APBD bisa digunakan untuk proyek infrastruktur umum yang memang bersifat nirlaba, seperti jalan raya, fasilitas umum, dan kesehatan masyarakat.
Sekarang, mari saya sodorkan satu contoh. Jalan tol Gempol—Pandaan, misalnya. Jalan tol yang beroperasi sejak 2019 ini tidak dibiayai APBN/APBD ataupun perbankan, melainkan dari dana investasi infrastruktur (DINFRA).
DINFRA adalah wadah berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK) guna menghimpun dana dari masyarakat, yang selanjutnya digunakan Manajer Investasi untuk berinvestasi pada aset infrastruktur dalam bentuk utang atau ekuitas.
Jadi, skemanya seperti ini. PT Jasamarga Pandaan Tol sebagai pemilik konsesi jalan tol Gempol—Pandaan menjual sahamnya kepada Mandiri Investasi selaku Manajer Investasi.
Jadi, skemanya seperti ini. PT Jasamarga Pandaan Tol sebagai pemilik konsesi jalan tol Gempol—Pandaan menjual sahamnya kepada Mandiri Investasi selaku Manajer Investasi.
Kemudian, Mandiri Investasi menerbitkan DINFRA yang dapat dibeli oleh investor dan masyarakat di pasar modal, dengan potensi imbal hasil sekitar 9 persen per tahun. Hak imbal hasil ini akan dibayar dari pendapatan jalan tol itu sendiri.
Singkat kata, melalui DINFRA, masyarakat punya opsi investasi yang menguntungkan. Selain itu, masyarakat juga bisa berperan aktif dan turut serta menyukseskan pembangunan bangsa lewat infrastruktur jalan tol.
Selain DINFRA, contoh lain creative financing juga bisa kita temui dari skema pembiayaan efek beragun aset (EBA) atas ruas tol Jakarta—Bogor—Ciawi. PT Jasa Marga selaku operator jalan tol mengagunkan hak atas pendapatan ruas tol Jakarta—Bogor—Ciawi selama lima tahun ke depan.
Hak atas pendapatan itu kemudian dijual kepada masyarakat, melalui perantara Manajer Investasi, dalam bentuk surat utang yang disebut EBA.
Singkat kata, melalui DINFRA, masyarakat punya opsi investasi yang menguntungkan. Selain itu, masyarakat juga bisa berperan aktif dan turut serta menyukseskan pembangunan bangsa lewat infrastruktur jalan tol.
Selain DINFRA, contoh lain creative financing juga bisa kita temui dari skema pembiayaan efek beragun aset (EBA) atas ruas tol Jakarta—Bogor—Ciawi. PT Jasa Marga selaku operator jalan tol mengagunkan hak atas pendapatan ruas tol Jakarta—Bogor—Ciawi selama lima tahun ke depan.
Hak atas pendapatan itu kemudian dijual kepada masyarakat, melalui perantara Manajer Investasi, dalam bentuk surat utang yang disebut EBA.
Dengan membeli EBA, masyarakat bisa memperoleh imbal hasil hingga 9 persen per tahun. Dana hasil penjualan EBA itu nantinya akan digunakan PT Jasa Marga untuk membangun ruas jalan tol di daerah lain di seluruh Indonesia.
Dari contoh EBA di atas, kita bisa menarik kesimpulan. Manfaat creative financing tidak sekadar menuntaskan proyek yang sedang dibangun saja, tetapi juga punya efek berganda.
Dengan berinvestasi pada EBA, artinya kita tidak hanya ikut serta membiayai ruas tol Jakarta—Bogor—Ciawi saja, tetapi juga berbagai ruas tol lainnya milik PT Jasa Marga di seluruh Indonesia.
Dampaknya pun bisa dirasakan secara lebih luas. Saudara kita di luar daerah juga bisa merasakan kemudahan dan kecepatan bertransportasi melalui jalan tol. Konektivitas antar-daerah akan meningkat, sehingga roda perekonomian bakal berputar secara lebih cepat.
Contoh jalan tol di atas hanyalah dua di antara beragam proyek infrastruktur yang dibiayai melalui creative financing. Selain itu, ada pula proyek infrastruktur tanpa pembiayaan kas negara seperti pembangkit listrik milik PT Indonesia Power senilai Rp78,3 triliun, bandara Kulon Progo besutan PT Angkasa Pura I senilai Rp6,7 triliun, maupun tol Trans Jawa buatan PT Waskita Toll Road senilai Rp135 triliun.
Yang jelas, peran kita sebagai warga negara yang baik adalah mendukung rencana pembangunan infrastruktur yang ditetapkan pemerintah. Syukur-syukur bila mampu terlibat aktif dengan membeli produk investasi creative financing. Itu lebih baik.
Dampaknya pun bisa dirasakan secara lebih luas. Saudara kita di luar daerah juga bisa merasakan kemudahan dan kecepatan bertransportasi melalui jalan tol. Konektivitas antar-daerah akan meningkat, sehingga roda perekonomian bakal berputar secara lebih cepat.
Contoh jalan tol di atas hanyalah dua di antara beragam proyek infrastruktur yang dibiayai melalui creative financing. Selain itu, ada pula proyek infrastruktur tanpa pembiayaan kas negara seperti pembangkit listrik milik PT Indonesia Power senilai Rp78,3 triliun, bandara Kulon Progo besutan PT Angkasa Pura I senilai Rp6,7 triliun, maupun tol Trans Jawa buatan PT Waskita Toll Road senilai Rp135 triliun.
Yang jelas, peran kita sebagai warga negara yang baik adalah mendukung rencana pembangunan infrastruktur yang ditetapkan pemerintah. Syukur-syukur bila mampu terlibat aktif dengan membeli produk investasi creative financing. Itu lebih baik.
Sebab kita paham, tujuan pembangunan infrastruktur adalah untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Persis seperti tagar yang mengawali judul artikel ini: #IniUntukKita. [Adhi]
0 komentar: