Baru-baru ini oknum Ketua RT di Kampung Pulo, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, dilabrak oleh warganya sendiri lantaran meminta jatah uang rokok dari dana bantuan langsung tunai (BLT).
Warga geram karena uang sebesar Rp600 ribu per bulan yang semestinya mereka terima untuk menyambung nyawa selama pandemi korona, malah disunat oleh tetuanya sendiri dengan dalih ingin sebat.
Sudahlah berdosa, cepat mati pula. Ada-ada saja.
***
Kabar menggelikan sekaligus menyedihkan itu diunggah Detik pada Sabtu, 2 Mei 2020 lalu. Saya sebut menggelikan karena rupanya masih ada saja pengayom masyarakat yang berperilaku jahat meskipun paham betul nasib warganya tengah melarat.
Saya merasa geli lantaran kata Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam sesi #CloseTheDoor Corbuzier Podcast, pandemi korona itu ibarat peperangan atau pertempuran. Dalam situasi menegangkan, bagaimana mungkin seorang pemimpin yang tugasnya pasang badan malah tega berganti jubah menjadi seorang lawan?
Atau jangan-jangan, oknum Ketua RT Kampung Pulo sedang lelah dirundung pusing melihat warganya yang bersikap ogah-ogahan saat diminta menerapkan protokol kesehatan. Daripada pening, mending ngudud sekalian. Dua kalimat tadi jangan diambil hati, Kawan! Guyon saja.
Meski begitu, berita di atas juga terdengar begitu menyedihkan. Betapa tidak? Saya sedih melihat fakta bahwa ternyata kebutuhan pokok kita adalah rokok. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang pemuka kampung mengorupsi duit rakyat jelata hanya demi menyulut batang asap?
Yah, memang seperti itulah elegi bangsa kita. Hanya karena urusan sebat sampai tega mengambil hak warga yang sedang tertimpa derita. Apa pun kausanya, rokok atau bukan, hukum perlu ditegakkan dengan seadil-adilnya.
Sekarang, mari kita berandai-andai atau menduga-duga. Jika dana BLT diterima warga secara penuh atau utuh, apakah pasti digunakan untuk membeli kebutuhan pokok atau obat-obatan dalam rangka menjaga kesehatan tubuh? Sayang sekali, jawabannya tidak.
Fakta miris itu diungkap oleh Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkana, seperti dikutip Okezone (24/08). Menurut Mukhaer, masih banyak dana BLT, terutama yang diterima oleh kepala rumah tangga, digunakan untuk mengonsumsi rokok.
Bukannya membeli beras, susu, atau popok, eh, malah dibelikan rokok. Sudah susah-payah dibantu, uangnya malah digunakan untuk meracuni paru-paru. Ajaib, kan?
Fenomena ini, kata Mukhaer lagi, berkaitan erat dengan fakta bahwa 70 persen perokok di Indonesia berasal dari barisan masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Bagi mereka, makan nomor dua, udud nomor satu. Ini jelas keliru!
Senada dengan riset Mukhaer, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengungkap hal yang sama. Dalam rilis BPS bertajuk Profil Kemiskinan di Indonesia edisi Maret 2020, disebutkan bahwa rokok kretek filter menjadi penyumbang garis kemiskinan tertinggi setelah beras.
Kalau beras, kita mafhum. Kawan saya pernah berseloroh, katanya, kalau belum makan nasi sama saja belum makan. Saya paham. Karena saya juga begitu.
Tapi kalau rokok? Ini yang membuat saya geleng-geleng kepala.
Di perdesaan, masih kata BPS, kontribusi rokok kretek filter terhadap garis kemiskinan mencapai 10,98 persen. Sedangkan di perkotaan, sumbangsihnya lebih besar lagi, yakni sekisar 12,16 persen.
Apa artinya? Jika ada sepuluh orang warga berpenghasilan rendah menghentikan kebiasaan merokoknya, maka dapat dipastikan ada satu atau dua orang di antara mereka yang berhasil keluar dari garis kemiskinan.
Hanya saja, tampaknya saudara kita lebih betah hidup di bawah garis kemiskinan, asalkan tetap merokok. Padahal, pada tiap-tiap bungkus rokok sudah terpampang kalimat mengerikan: merokok membunuhmu.
Kalimat tadi bukan dipasang secara kebetulan atau asal-asalan. Kata-kata itu dilekatkan dengan tujuan memberi peringatan kepada perokok bahwa produk olahan tembakau itu sesungguhnya mematikan. Lebih mematikan ketimbang virus korona, bahkan!
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengungkap sekitar 90 persen penyakit kanker paru disebabkan oleh paparan asap rokok. Mula-mula batuk-batuk, lama-lama sesak napas akut. Mula-mula serak-serak, lama-lama mati mendadak.
Peluang sembuh dari kanker paru juga sangat tipis, Kawan! Kata IDI lagi, hanya ada satu dari lima penderita kanker paru yang sembuh dan bertahan hidup. Sementara sisanya terpaksa menjumpai batu nisan lebih cepat dari kebanyakan orang.
Kalaulah fakta di atas belum juga membuatmu jera, coba baca kalimat di bawah pelan-pelan:
Setiap tahun ada 225.700 orang Indonesia yang mati sia-sia gara-gara merokok. Andakah berikutnya?
Kalimat yang disampaikan World Health Organization (WHO) pada peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei 2020 lalu, mungkin perlu dilekatkan juga pada bungkus rokok. Termasuk nomor urutnya sekalian. Supaya perokok kapok, atau minimal, tidak mempengaruhi orang lain untuk merokok dan mengembuskan asap rokok sembarangan.
Namun sebelum itu, seyogianya kita pahami terlebih dahulu, faktor apa yang menyebabkan perokok sulit menghentikan kebiasaan buruknya. Bahkan sampai rela mengorbankan kebutuhan pokoknya hanya demi mengulum batang rokok.
Dari sana, barulah kita bisa menentukan langkah, solusi dan upaya apa yang tepat dan cepat untuk mencegah bahaya merokok.
Pernyataan itu dilontarkan oleh peneliti Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Nurul Nadia Luntungan, dalam talkshow Ruang Publik KBR bertema “Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok” pada 26 Agustus 2020.
Itulah mengapa, lanjut Nurul, perokok beranggapan, daripada menyantap mi instan, lebih baik mengisap rokok. Selain itu, zat adiktif dalam rokok juga bisa memberikan efek kenyang sesaat, sehingga perokok lebih tahan lapar ketimbang mereka yang tidak merokok.
Mengapa Rokok Bisa Mengalahkan Bahan Pokok?
“Faktor yang utama adalah harga. Biaya membeli sebatang rokok lebih murah ketimbang sebungkus mi instan.”
Pernyataan itu dilontarkan oleh peneliti Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Nurul Nadia Luntungan, dalam talkshow Ruang Publik KBR bertema “Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok” pada 26 Agustus 2020.
Itulah mengapa, lanjut Nurul, perokok beranggapan, daripada menyantap mi instan, lebih baik mengisap rokok. Selain itu, zat adiktif dalam rokok juga bisa memberikan efek kenyang sesaat, sehingga perokok lebih tahan lapar ketimbang mereka yang tidak merokok.
Faktor kedua, yang menurut Nurul tidak kalah penting, ialah lingkungan. Fakta mengatakan, tujuh dari sepuluh pria dewasa di Indonesia adalah perokok. Artinya, laki-laki yang tidak merokok bisa dikategorikan sebagai kaum minoritas. Cadas!
Pengalaman Nurul membuktikan, tantangan terbesar bagi perokok insaf yang tengah berupaya berhenti merokok adalah godaan. Keluar rumah, lihat orang merokok. Pergi ke kantor, bertemu orang merokok. Rokok lagi, rokok lagi.
Lingkungan seperti itu, kata Nurul, adalah lingkungan toxic. Dengan kata lain, lingkungan beracun yang sangat tidak bersahabat bagi mereka yang tengah melepaskan diri dari jerat candu rokok.
Faktor terakhir adalah penetrasi iklan. Meski sekarang sudah jauh berkurang, dalam kerak-kerak ingatan kita masih terngiang betapa jantannya sosok pemeran bintang iklan rokok tempo dulu.
Itu sebabnya, hingga saat ini rokok masih diasosiasikan banyak orang sebagai produk jempolan yang melambangkan maskulinitas pria dewasa. Anggapan ini sebenarnya salah kaprah jika bercermin pada fakta begitu banyak jenis penyakit yang ditimbulkan asap rokok.
Meski diliputi banyak tantangan, tidak semestinya kita angkat tangan. Kita harus menyadarkan pencandu rokok, bahwa kebutuhan pokok itu bebas asap rokok, bukan rokok!
Untungnya, semboyan itu dipegang teguh oleh M. Nur Kasih selaku Ketua RT 1/RW 3 Kampung Bebas Asap Rokok dan Covid-19, Kebun Pala, Cililitan, Jakarta Timur. Nur, bersama segenap perangkat kampung, gigih berperang melawan asap rokok.
“Sejak 18 Juli 2020, kami mendeklarasikan Kampung Bebas Asap Rokok. Di sini, kami mengimbau sekaligus melarang warga merokok di dalam rumah,” ujar Nur.
Kepedulian terhadap generasi masa depan adalah alasan Nur menciptakan Kampung Bebas Asap Rokok. Bukan apa-apa, menurut Nur, anggota keluarga di rumah, khususnya anak-anak, semestinya berhak menghirup udara segar, bukan asap rokok.
Ketika, katakanlah, kepala keluarga merokok di dalam rumah, maka risikonya tidak ditanggung oleh dirinya saja. Anak-anak rentan menjadi perokok pasif, yang menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), berpotensi mengidap kanker empat kali lebih tinggi dibanding orang yang tidak terpapar asap rokok.
Apa yang menjadi perhatian Nur memang bukan tanpa alasan. Data terkini milik Global Youth Tobacco Survey (2019) menunjukkan bahwa 40,6 persen remaja berusia 13-15 tahun, 2 dari 3 anak laki-laki, dan 1 dari 5 anak perempuan; mengaku sudah pernah mengisap rokok.
Hal itu senada dengan udaran Kementerian Kesehatan yang menyatakan tingkat prevalensi merokok remaja berusia 10-19 tahun terus meningkat. Pada 2018, tingkat prevalensinya mencapai 9,1 persen, atau meningkat dibanding 2013 yang mencatat angka 7,2 persen.
Jika tidak ada upaya pembatasan yang terstruktur, masif, dan sistematis untuk membatasi peredaran rokok; bukan tidak mungkin angka-angka tersebut akan jauh lebih memprihatinkan pada masa depan. Dan, upaya itu mau tidak mau harus kita lakukan sekarang juga!
Upaya Membatasi Peredaran Rokok
“Rokok memang barang legal, tetapi peredarannya wajib dikendalikan,” ujar Nurul.
Apa yang Nurul katakan memang benar. Cara terbaik yang bisa kita lakukan untuk memitigasi dampak negatif yang ditimbulkan rokok ialah dengan membatasi peredarannya. Rokok tidak boleh didapatkan dengan begitu mudah, apalagi dikonsumsi oleh anak-anak.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Pemerintah tidak tinggal diam. Dalam Buku Nota Keuangan RAPBN Tahun 2021, Pemerintah terus melakukan penyesuaian tarif cukai rokok. Pada tahun depan, target penerimaan cukai rokok dicanangkan naik sebesar 3,6 persen dibanding 2020.
Hanya saja, apakah kenaikan tarif cukai rokok saja cukup? Jelas tidak! Meskipun tarif cukai ditingkatkan setiap tahun, jumlah perokok aktif masih saja bertambah. Tahun ini saja, tarif cukai rokok sudah dinaikkan hingga 23 persen.
Namun, apa yang terjadi? Jangankan uang tabungan, dana BLT saja digunakan untuk membeli rokok, bukan kebutuhan pokok. Ini yang patut kita garis bawahi.
Kenaikan tarif cukai rokok memang perlu. Akan tetapi, kebijakan itu harus dibarengi dengan upaya pembatasan peredaran rokok. Menurut hemat saya, ada tiga cara yang dapat ditempuh oleh Pemerintah.
Pertama, membatasi akses rokok dengan menerapkan rezim perizinan kepada penjual rokok. Dengan kata lain, pedagang mesti mengajukan izin kepada Pemerintah terlebih dahulu sebelum beroleh tiket menjual rokok. Sama seperti minuman keras, misalnya, tidak semua orang bisa menjual barang haram itu kepada masyarakat.
Hal ini bertujuan agar peredaran rokok di masyarakat dapat diminimalisasi. Bukan seperti saat ini, ketika semua orang bebas mengakses dan membeli rokok. Rokok hanya dijual oleh pihak atau pedagang tertentu saja, bukan sebebas-bebasnya.
Mengapa demikian? Karena satu-satunya hal yang mendorong anak-anak untuk merokok adalah bebasnya perederan rokok di pasaran. Belanja ke warung sebelah, jual rokok. Pergi ke minimarket, ada rokok. Di mana-mana ada rokok.
Kondisi seperti inilah yang mesti diubah oleh Pemerintah, dengan cara menerapkan izin penjualan rokok tadi. Cara seperti ini sudah diterapkan oleh Afrika Selatan selama pandemi korona. Mau jual rokok, izin dulu!
Nah, jika landasan hukum sudah diketok palu, maka langkah yang kedua adalah memperberat syarat untuk mendapat izin penjualan rokok. Tujuannya tentu saja supaya penjual rokok diberi disinsentif sebesar-besarnya, agar berpikir dua kali ketika ingin menjual rokok.
Misalnya, begini. Pedagang yang berhak memperoleh izin penjualan rokok adalah mereka yang memiliki lokasi usaha jauh dari pemukiman warga. Selain itu, produk rokok juga tidak boleh dipamerkan di rak kaca atau etalase yang bisa terlihat oleh pembeli.
Cara seperti ini sudah lebih dulu dilakukan oleh negara tetangga kita, Singapura. Penjual rokok menyimpan produknya di tempat tertutup, agar pembeli tidak terpancing dan terpantik hasratnya untuk membeli rokok.
Pedagang rokok juga tidak diperkenankan memberi tanda atau papan berkalimat “di sini menjual rokok”. Pembeli rokoklah yang harus bertanya kepada penjual, “apakah di sini menjual rokok?”
Langkah ini akan memantik budaya “malu merokok”, seperti lazim ditemukan di berbagai negara maju. Mereka sadar, rokok itu berbahaya dan berdampak buruk, sehingga orang yang ingin merokok pun seakan harus mengasingkan diri terlebih dahulu. Kalau sudah seperti ini, lama-lama juga bosan sendiri.
Cara yang terakhir adalah melarang iklan rokok, baik melalui televisi, media daring, maupun papan reklame. Tanpa terkecuali!
Generasi muda kita tidak boleh lagi tertipu oleh kegagahan atau kejantanan yang kerap diasosiasikan dalam setiap materi iklan rokok.
Sebab anggapan itu sungguh berbahaya. Mereka pikir merokok itu gagah, padahal salah. Mereka pikir merokok itu jantan, padahal penyakitan. Mereka pikir merokok itu keren, padahal cemen.
Jika salah kaprah itu tertanam lekat-lekat di alam bawah sadar generasi muda, habislah bangsa kita. Maka jangan heran apabila ada oknum ketua RT yang tega memalak dana BLT warganya sendiri, seperti yang dikisahkan di awal artikel ini, hanya gara-gara kecanduan nikotin. Sungguh menggelikan dan mengerikan.
Jika ketiga langkah itu diterapkan, bolehlah kita optimis menatap masa depan. Sekali lagi, kuncinya adalah mengendalikan peredaran. Sebab kita tidak ingin generasi emas yang digadang-gadang menjadi macan dunia pada 2045 kelak, malah penyakitan gara-gara asap rokok gagal kita kendalikan.
Lalu, bagaimana dengan nasib perokok? Ah, sudahlah, Kawan. Percayalah, rokok itu ibarat mantan. Enyahkanlah dari perasaan, pikiran, dan pandangan. Anda tidak ingin mendiami liang lahat cepat-cepat, bukan? [Adhi]
***
Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
Tautan artikel ini sudah ditayangkan di Twitter dan Facebook penulis.
Senarai Rujukan:
[1] Talkshow “Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok”, akun YouTube Kantor Berita Radio (2020);
[2] Media Informasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Banyak yang Tidak Tahu, Perokok Pasif Ternyata 4 Kali Lipat Berisiko Terkena Kanker (2019);
[3] Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik Indonesia: Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2020 (2020);
[4] Okezone.com, Dana BLT Banyak Dipakai untuk Beli Rokok, Gimana Nih? (2020);
[5] Detiknews.com, Ketua RT di Tangerang Minta Jatah Rokok dari Bansos yang Diterima Warga (2020);
[6] World Health Organization Indonesia: Pernyataan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2020 (2020)
0 komentar: