Minggu malam. Sudah satu jam lebih aku terpaku di depan meja kerja, menatapi layar laptop yang sebentar lagi kehabisan dayanya.
Tapi, awas! Jangan terburu-buru salah sangka. Aku tidak sedang menonton seri podcast terbaru Deddy Corbuzier di YouTube ataupun memandangi foto-foto terkini Anya Geraldine di Instragram. Sama sekali tidak.
Yang tengah kulakukan adalah menyusun agenda selama seminggu ke depan.
Bukan apa-apa. Sejak pandemi korona tiba di Indonesia delapan bulan lalu, sejak saat itu pula aku mesti bekerja dari rumah. Aku yang hampir sepuluh tahun bekerja di kantor, perlu me-restart ulang pikiran dan kebiasaan agar bisa bekerja secara optimal pada era adaptasi kebiasaan baru.
Dan, inilah secuil kisah hidupku…
***
Aku bekerja di Bank Indonesia. Lembaga negara yang bertugas menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Institusi bangsa independen yang berwenang dalam merumuskan dan menetapkan tiga kebijakan utama di bidang perekonomian: moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran.
Sebagaimana imbauan Presiden Joko Widodo kepada kementerian dan lembaga negara agar menerapkan kebijakan bekerja dari rumah bagi karyawannya untuk mencegah penularan virus korona, kantorku juga menerapkan hal serupa. Aku termasuk salah satu di antara ribuan pegawai Bank Indonesia yang berpindah meja kerja dari kantor ke rumah.
Kalau pembaca bertanya kepada diriku apa rasanya bekerja dari rumah, tentu nuansanya sangat jauh berbeda.
Jikalau di kantor aku bisa berdiskusi secara tatap muka dengan sejawat, kini segala bentuk komunikasi nyaris dilakukan di ranah virtual. Jikalau di kantor aku bisa bertanya kepada senior atau atasan tiap kali menemukan kendala di tengah pekerjaan, kini aku mesti memutar otak lebih keras lantaran ruang tanya jawab virtual begitu terbatas.
Sulit? Sudah pasti. Pusing? Tentu saja. Akan tetapi, bukan berarti mustahil dijalani.
Ibarat pepatah, alah bisa karena biasa. Ketika dijalani berulang kali dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, segala hal yang semula jadi tantangan kini berubah seratus delapan puluh derajat menjadi deretan peluang.
Yang kumaksud dengan “peluang” adalah kesempatan memiliki kebiasaan baru yang bernilai positif. Sebentar. Positif? Gak salah?
Iya, aku paham. Korona memang tidak menyenangkan banyak pihak. Kita tidak bebas pergi ke sana kemari lantaran khawatir terserang virus mematikan ini. Jangankan nongkrong bersama teman-teman, Lebaran tahun ini saja kita gagal pulang kampung. Benar, kan?
Well, itu kalau kita melihat pakai kacamata negatif. Hidup terus berjalan, Kawan. Di satu sisi, waspada itu penting dan sangat dianjurkan. Namun, jangan sampai kewaspadaan kita menghentikan semangat bekerja atau berkarya. Itu yang terpenting.
Kalau boleh jujur, pandemi korona memang menumbuhkan kebiasaan baru dalam diri setiap orang. Pada tataran yang paling sederhana, menerapkan protokol kesehatan 4M: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari keramaian.
Di bidang pekerjaan, ada beberapa hal positif yang bisa kukemukakan ke hadapan pembaca budiman. Yang kurasakan paling tidak ada empat hal.
Empat Hal Positif Selama Bekerja dari Rumah
Pertama, lebih pandai mengatur jadwal. Seperti yang kusebut pada tutur pembuka artikel, aku jadi terbiasa mengatur jadwal bekerja. Paling tidak selama seminggu ke depan.
Maklum saja, Kawan. Kita yang bekerja dari rumah pasti paham bahwa kuantitas agenda rapat atau seminar virtual melonjak tajam saat pandemi datang. Itu bisa kita lihat dari harga saham Zoom Communication Inc. di pasar modal yang meningkat hingga 200 persen dibanding saat pertama kali melantai di bursa.
Sejak bekerja dari rumah, aku sering dihadapkan pada agenda rapat virtual yang super padat. Bisa empat hingga lima kali rapat dalam sehari. Lebih-lebih dari jadwal minum obat, bahkan. Sekali rapat bisa memakan waktu satu hingga dua jam.
Kalau tidak diatur atau ditata dengan baik, bisa-bisa ada agenda rapat yang bertabrakan. Ini yang ingin kuhindari. Maka dari itu, saban Minggu malam, aku selalu mengecek kembali jadwal rapat untuk seminggu ke depan.
Jika ternyata ada yang bertabrakan, aku punya kesempatan untuk mengatur ulang. Dengan demikian, semua agenda kerja dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak ada satu pun yang terlewat.
Kedua, lebih pintar berkomunikasi. Ketika bekerja dari rumah, sebagian besar komunikasi dan koordinasi dengan rekan sejawat aku lakukan dalam bentuk digital. Entah itu lewat surel ataupun obrolan Whatsapp (WA).
Nah, seorang pekerja dari rumah dituntut untuk bisa mengomunikasikan ide dan gagasannya dengan baik lewat untaian aksara. Jangan lupa, salah memilih kata atau frasa bisa berujung keliru makna. Kalau yang merasa keliru adalah atasanmu, bisa-bisa kena omelan. Aih, jangan!
Maka dari itu, aku jadi terbiasa menyusun aksara dengan lebih cermat dan teliti. Caranya dengan mengasah kemampuan menulis dan berkomunikasi. Misalnya, jangan samakan mengetik pesan kepada bos dengan menyusun obrolan dengan sohib. Itu jauh berbeda.
Misal, Si Bos meminta kita menyiapkan laporan. Sayangnya, saat itu kebetulan kita sedang mengerjakan tugas lain yang bersifat lebih mendesak. Dari empat contoh jawaban di bawah, kira-kira mana yang lebih pantas kita sampaikan kepada atasan lewat WA?
[A] Yaaah… Ga janji ya, Bos… Lagi ngerjain yang lain, nih.
[B] Bentar. Lagi tanggung, nih.
[C] Jangan sekarang, Pak. Saya sedang ngerjain tugas yang lain, nih.
[D] Baik, Bapak. Tapi sebelum itu saya mohon izin. Permintaan Bapak akan saya kerjakan setelah saya menyelesaikan tugas yang lain, yang tenggatnya kebetulan jatuh pada hari ini.
Kamu bisa menebak, kan? Jika kita berada di posisi atasan, maka jawaban [D] yang paling enak didengar. Itulah pentingnya menguasai teknik berkomunikasi, Kawan!
Ketiga, lebih cerdas bersyukur. Kita yang masih bekerja saat pandemi korona melanda, sudah sepatutnya bersyukur. Mengapa? Karena jutaan saudara kita di luar sana tidak seberuntung kita.
Kalaulah sudi mengulik data, maka kita akan menganga. Kementerian Tenaga Kerja, sebagaimana dilansir Kompas (4/8), menyebut lebih dari 3,5 juta pekerja terpaksa di-PHK dan dirumahkan gara-gara korona. Sementara itu jutaan pelaku usaha dikabarkan tutup usaha atau sedikitnya mengalami penurunan omzet akibat minimnya aktivitas di luar rumah.
Maka dari itu, sudah sepatutnya kita bersyukur. Kita masih dipercaya menjadi karyawan di saat orang lain banyak kehilangan pekerjaan.
Dan, rasa syukur itu tidak cukup kita tunjukkan dengan menyebut “alhamdulillah” saja, tetapi juga harus dibarengi dengan bekerja keras. Semakin produktif, semakin baik. Kalau bisa, buah karya kita seyogianya tidak hanya diniatkan untuk memenuhi tugas kantor belaka, tetapi juga punya makna dan manfaat bagi bangsa.
Berbekal rasa syukur itu, maka tiba saatnya kuungkap hal positif yang keempat: bisa berkarya dari mana saja.
Segala hal dalam kehidupan memerlukan keseimbangan. Begitu pula dengan ihwal pekerjaan. Tidak baik bekerja siang-malam terus-menerus jika tidak diimbangi dengan melakukan hobi yang membuat kita senang.
Bicara soal hobi, aku sangat suka menulis. Bahkan lebih dari itu. Bagiku, menulis bukanlah sekadar hobi yang menyenangkan tetapi juga media untuk menyalurkan gagasan dan berprestasi.
Uniknya, dengan bekerja dari rumah, waktu bekerja jadi lebih fleksibel. Asalkan tugas sudah kelar, aku bisa menyalurkan hobi menulis dengan tenang. Aku pun bisa menulis dari mana saja, asalkan kuota internet masih tersedia.
Tidak seperti dulu saat bekerja dari kantor, aku mesti menunggu jam pulang kerja untuk bisa menulis. Sekarang, waktu menulis jadi lebih bebas. Sekali lagi, asalkan pekerjaan kantor sudah selesai dikerjakan.
Berbicara soal menulis, aku tidak pernah membatasi diri dalam berkarya. Apa pun medianya, asalkan sejalan dengan ide dan gagasan, semuanya aku gunakan. Nah, berkaitan dengan dunia tulis-menulis, ada empat media yang biasa aku pergunakan untuk berkarya.
Lantaran bekerja di bidang yang bersinggungan erat dengan ekonomi, aku terbiasa memiliki ide dan gagasan tentang ekonomi. Nah, supaya ide itu tidak terbuang sia-sia, makanya aku sering menulis di kolom opini surat kabar.
Selain kepuasan pribadi, tulisanku di surat kabar juga berfungsi sebagai media diseminasi kebijakan Bank Indonesia. Apalagi dalam kondisi pandemi, peran bank sentral begitu dibutuhkan dalam upaya pemulihan ekonomi. Salah satu karyaku bisa kamu baca di bawah ini.
Artikel yang tayang di harian Kontan pada 19 September 2020 di atas, adalah buah pikiranku tentang bagaimana memacu digitalisasi UMKM. Kita paham, bahwa UMKM adalah tulang punggung perekonomian.
Hanya saja, tidak banyak pelaku UMKM yang bisa mengadopsi teknologi digital. Padahal, pandemi korona memaksa pelaku usaha lebih banyak bertransaksi tanpa tatap muka. Berbekal isu tadi, aku mencoba menyodorkan gagasan bagi masyarakat Indonesia bagaimana cara memacu digitalisasi bagi pelaku UMKM.
Selain menulis opini di surat kabar, masa bekerja dari rumah juga kumanfaatkan untuk menulis buku. Biasanya, buku yang kutulis bertema selain ekonomi, seperti teknologi, inspirasi hidup, maupun cerita sosial. Sejak 2018 hingga saat ini, aku sudah menerbitkan tiga buah buku.
Buku pertama, Innovation for All (2018), bercerita tentang potensi kulit cokelat menjadi sumber alternatif energi terbarukan, untuk mengatasi ketergantungan kita terhadap energi fosil yang jumlahnya terbatas. Buku kedua, Inspirasi untuk Indonesia (2019), bercerita tentang kisah hidup Tung Desem Waringin, seorang motivator yang mengajarkan pentingnya berhemat untuk ketenangan hidup.
Dan, rasa syukur itu tidak cukup kita tunjukkan dengan menyebut “alhamdulillah” saja, tetapi juga harus dibarengi dengan bekerja keras. Semakin produktif, semakin baik. Kalau bisa, buah karya kita seyogianya tidak hanya diniatkan untuk memenuhi tugas kantor belaka, tetapi juga punya makna dan manfaat bagi bangsa.
Berbekal rasa syukur itu, maka tiba saatnya kuungkap hal positif yang keempat: bisa berkarya dari mana saja.
Berkarya dari Mana Saja
Segala hal dalam kehidupan memerlukan keseimbangan. Begitu pula dengan ihwal pekerjaan. Tidak baik bekerja siang-malam terus-menerus jika tidak diimbangi dengan melakukan hobi yang membuat kita senang.
Bicara soal hobi, aku sangat suka menulis. Bahkan lebih dari itu. Bagiku, menulis bukanlah sekadar hobi yang menyenangkan tetapi juga media untuk menyalurkan gagasan dan berprestasi.
Uniknya, dengan bekerja dari rumah, waktu bekerja jadi lebih fleksibel. Asalkan tugas sudah kelar, aku bisa menyalurkan hobi menulis dengan tenang. Aku pun bisa menulis dari mana saja, asalkan kuota internet masih tersedia.
Tidak seperti dulu saat bekerja dari kantor, aku mesti menunggu jam pulang kerja untuk bisa menulis. Sekarang, waktu menulis jadi lebih bebas. Sekali lagi, asalkan pekerjaan kantor sudah selesai dikerjakan.
Berbicara soal menulis, aku tidak pernah membatasi diri dalam berkarya. Apa pun medianya, asalkan sejalan dengan ide dan gagasan, semuanya aku gunakan. Nah, berkaitan dengan dunia tulis-menulis, ada empat media yang biasa aku pergunakan untuk berkarya.
1. Menulis Opini di Surat Kabar
Lantaran bekerja di bidang yang bersinggungan erat dengan ekonomi, aku terbiasa memiliki ide dan gagasan tentang ekonomi. Nah, supaya ide itu tidak terbuang sia-sia, makanya aku sering menulis di kolom opini surat kabar.
Selain kepuasan pribadi, tulisanku di surat kabar juga berfungsi sebagai media diseminasi kebijakan Bank Indonesia. Apalagi dalam kondisi pandemi, peran bank sentral begitu dibutuhkan dalam upaya pemulihan ekonomi. Salah satu karyaku bisa kamu baca di bawah ini.
Artikel yang tayang di harian Kontan pada 19 September 2020 di atas, adalah buah pikiranku tentang bagaimana memacu digitalisasi UMKM. Kita paham, bahwa UMKM adalah tulang punggung perekonomian.
Hanya saja, tidak banyak pelaku UMKM yang bisa mengadopsi teknologi digital. Padahal, pandemi korona memaksa pelaku usaha lebih banyak bertransaksi tanpa tatap muka. Berbekal isu tadi, aku mencoba menyodorkan gagasan bagi masyarakat Indonesia bagaimana cara memacu digitalisasi bagi pelaku UMKM.
2. Menulis Buku
Selain menulis opini di surat kabar, masa bekerja dari rumah juga kumanfaatkan untuk menulis buku. Biasanya, buku yang kutulis bertema selain ekonomi, seperti teknologi, inspirasi hidup, maupun cerita sosial. Sejak 2018 hingga saat ini, aku sudah menerbitkan tiga buah buku.
Buku pertama, Innovation for All (2018), bercerita tentang potensi kulit cokelat menjadi sumber alternatif energi terbarukan, untuk mengatasi ketergantungan kita terhadap energi fosil yang jumlahnya terbatas. Buku kedua, Inspirasi untuk Indonesia (2019), bercerita tentang kisah hidup Tung Desem Waringin, seorang motivator yang mengajarkan pentingnya berhemat untuk ketenangan hidup.
Buku terbaru, Impianku untuk Indonesia (2020), bercerita tentang mimpiku melihat Indonesia menjadi negara maju dan upaya yang harus kita tempuh untuk mewujudkannya.
Sebagai informasi, buku itu baru saja rilis pada April 2020, ketika Indonesia sudah terdampak virus korona. Karena itu, penting bagi kita untuk terus bermimpi dan berupaya keras mewujudkan mimpi itu, agar kelak Indonesia bisa menjadi negara maju saat era pandemi berakhir.
Ya, menulis buku adalah salah satu caraku menuangkan gagasan atau buah pikir, sekaligus tetap produktif selama bekerja dari rumah. Dengan berbagi tulisan, mana tahu ada pembaca yang terinspirasi atau mengambil manfaat dari tulisanku. Terlepas dari itu semua, paling tidak, aku tidak berdiam diri saja melihat negeri yang kucintai sakit diterpa korona. Itu saja.
3. Mengajar Kelas Menulis Daring
Tidak hanya menulis, beberapa kali aku juga mengajar kelas menulis. Permintaan itu berasal dari beragam penyelenggara, mulai dari instansi pemerintahan, komunitas menulis, ataupun perorangan. Topiknya tentu tidak jauh-jauh dari menulis.
Ada belasan kelas menulis yang telah aku narasumberi. Sebelum pandemi, biasanya kelas ditata dalam format tatap muka. Sekarang, seluruhnya mengandalkan aplikasi rapat virtual di ranah maya.
Uniknya, justru tawaran mengajar lebih banyak kuterima saat pandemi berlangsung. Sepanjang 2020 saja, sudah ada empat kelas atau acara yang saya narasumberi. Rinciannya bisa kalian temui pada gambar di bawah ini.
Tentu saja, kisahku menjadi pengajar kelas menulis virtual tidak dimulai dari kebetulan. Aku menduga, mungkin karena orang lain melihat prestasi menulisku yang hingga kini jumlahnya di atas 60, sehingga mengundangku sebagai pengajar. O ya, rincian prestasi menulisku dapat dilihat di sini.
Meskipun menulis adalah proses yang tidak mengenal kata “pensiun”, dan karenanya hingga kini aku pun masih terus mengasah kemampuan menulis, tetapi berbagi ilmu tidak akan pernah keliru. Termasuk ilmu menulis. Oleh karena itu, inilah sedikit upayaku bisa bermanfaat bagi orang lain ketika bekerja dari rumah.
Teruslah Berkarya Selama Hayat Masih Dikandung Raga
Pandemi korona memang tidak menyenangkan. Namun, sebagai karyawan kita tidak bisa melepaskan diri dari kata berkarya. Karena secara harfiah, “karyawan” sejatinya memiliki makna “orang yang berkarya”. Selama hayat masih dikandung raga, jangan pernah berhenti menyajikan karya.
Karena hanya dengan berkarya-lah kita bisa terus menafkahi hidup di era yang penuh tantangan seperti ini. Bahkan, syukur-syukur kalau karya kita bisa mengangkat beban saudara kita yang tengah dirundung kesulitan. Itu lebih baik.
Sebelum kuakhiri artikel ini, kutitipkan satu pesan kepada pembaca budiman.
Dalam hidup, susah dan senang akan datang silih berganti. Itu sudah pasti. Namun demikian, manusia terbaik adalah mereka yang bisa mengarungi segala kondisi dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.
Maka dari itu, jadikanlah pandemi korona sebagai momentum mengasah diri agar menjadi pribadi yang siap menghadapi era adaptasi kebiasaan baru. Selamat bekerja dari rumah, Kawan! [Adhi]
***
Website perusahaan tempat penulis bekerja: https://www.bi.go.id/
Artikel ini diikutsertakan dalam Blog Competition yang diselenggarakan Xsis Academy dan Xsis Mitra Utama. Foto bersumber dari koleksi pribadi penulis. Sedangkan olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.
0 komentar: